28 | addicted

5.1K 440 101
                                    

Samudera

Most people probably hate working such a long hours, tapi buat gue itu nggak jadi masalah. Mungkin karena gue sudah biasa menggabungkan pekerjaan dengan kuliah—so, kesibukkan yang menyita waktu nggak pernah menjadi problem buat gue. Gue bisa tidur tiga jam dalam sehari dan tetap bangun tepat waktu keesokkan paginya.

Kebiasaan itu bertahan sampai sekarang. Tetapi selalu berbeda kalau gue sedang bersama Raline.

Matahari sudah tinggi karena teriknya terasa menjilati wajah gue—seolah menyuruh gue segera bangun. Gue membuka mata perlahan-lahan, menghalau cahayanya dengan tangan. Sampai pengelihatan gue akhirnya menjelas—seraut wajah cantik Raline yang masih tidur nyenyak di sebelah gue membuat bibir gue membentuk seulas senyum bahagia.

Gue memutar badan menghadap Raline sepenuhnya. Menjadikan satu lengan sebagai bantal sementara mata gue mengamati kesempurnaan Raline. Wajah damai yang terbingkai rambut panjangnya membuat Raline tampak seperti dewi. Cahaya matahari yang menyinarinya semakin menambah kedramatisan sosok Raline. Kulit putih mulusnya bersinar.

Pengamatan gue lantas berpindah ke leher jenjang serta bahu telanjangnya—dengan beberapa tanda merah yang gue tinggalkan.

Gue tahu jelas, sama seperti gue, Raline pun nggak mengenakan apa-apa di balik selimut. Sesuatu yang membuat otak gue meliar. Membayangkan apa yang kami lakukan semalam.

Apa yang terjadi semalam masih tergambar jelas di dalam kepala gue. Mungkin gue akan terus membayangkannya selama satu minggu ke depan. Terus mengingat bagaimana gue mencium seluruh tubuh Raline yang lembut dan hangat. Mencicipi rasa tubuh Raline manis, kemudian bagaimana tubuh kami yang menyatu dan menari—gue memejamkan mata, menahan erangan. Enough, Samudera! Jangan membuat sesuatu yang sudah bangun di bawah sana semakin berdiri tegak.

Sama seperti gue. Raline tipe morning person. Jadi mendapatinya masih tidur padahal waktu sudah menunjukkan pukul ... 7 pagi—mengartikan jika gue cukup membuat Raline kelelahan. Well, bukannya gue nggak merasa bersalah. Cuma memang nggak ada penyesalan soal apa yang kami lakukan semalam. Bagaimana mungkin? Tadi malam adalah malam terbaik dalam hidup gue—mengalahkan malam gue dan Raline berciuman untuk pertama kali. Gue nggak mungkin menyesalinya. Nggak akan pernah.

Tahu kalau gue akan tergoda menyapukan tangan di tubuh Raline dan merayunya mengulang kembali apa yang kami lakukan semalam—gue pun menarik badan dan turun dari tempat tidur sehati-hati mungkin. Mencegah suara apapun yang dapat membangunkan Raline. Memungut celana pendek gue dan memakainya dengan cepat.

Sebelum masuk ke kamar mandi, gue menarik gorden menghalau cahaya matahari masuk agar Raline bisa tidur tanpa gangguan.

Begitu selesai membasuh wajah dan menggosok gigi, gue keluar dari kamar dan berjalan ke dapur memeriksa kulkas. Memutuskan membuat toast dan scramble egg untuk sarapan pagi.

Nggak butuh waktu lama buat gue menyajikannya di meja. Gue kemudian berbalik untuk membuat kopi. Tepat ketika gue menuangkan kopi yang sudah mengeluarkan uap panas ke dalam gelas—sebuah lengan kecil melingkar di pinggang gue. Punggung gue dihimpit oleh tubuh lembut yang sudah gue ketahui pemiliknya siapa.

"Kok nggak bangunin aku?" suara itu terbenam di punggung gue. Membuat gue harus manahan gairah gue yang bangkit karena embusan napas Raline meyapu kulit gue. Yeah, gue jelas berkeliaran di dapur dengan keadaan topless karena terlalu malas memakai kaos gue yang tergeletak di lantai ruang TV.

"You're sleep like a baby," gue mengusap punggung tangan Raline di perut gue. "Aku nggak tega bangunin."

"Still," Raline mengeratkan pelukkannya. Suaranya yang merajuk membuat gue gemas setengah mati. "Aku nggak suka bangun tanpa kamu di samping aku."

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang