Rasanya seperti mengulang pertemuan mereka beberapa hari yang lalu. Masih di tempat yang sama tetapi bedanya, kali ini Nadine yang menunggu Mahen untuk datang padanya.
Mahen datang tidak lama setelah Nadine sampai lebih dulu, setengah berlari menuju Nadine. Ketika ia berdiri dihadapannya, ia memberikan sebuah senyuman tetapi Nadine hanya menatapnya dengan pandangan datar.
Ekspresi wajah Mahen melembut, paham benar dengan sikap Nadine dan ia akan menggunakan kesempatan ini untuk membuat Nadine mengerti dengan situasi yang sedang mereka hadapi.
"Gue ngga ngerti sama sikap lo kak, dan gue juga ngga tau kenapa keadaan harus begini" kata Nadine.
Mahen diam dan membiarkan Nadine meluapkan emosinya terlebih dahulu. "Gue ngga paham kenapa lo tiba-tiba mau mengenal gue lebih deket. Satu hal yang lo harus tahu, gue ngga punya waktu buat hal-hal kaya gini. Gue ngga punya waktu buat main-main. Bilang ke gue niat lo sebenernya apa."
"Gue ngga main-main sama lo, Nadine," jawab Mahen dengan hati-hati, sebisa mungkin mengatur pemilihan katanya agar tepat dan tidak disalah artikan.
"Gue serius mau deket sama lo."
"Lo pikir gue gampangan, yaa? Atau lo mau coba deketin gue cuma untuk taruhan sama temen-temen geng motor lo itu?"
"Gue ngga serendah itu, Nadine," kata Mahen dengan suara rendahnya yang membuat Nadine sedikit berjengit.
Ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius dan tegas. Sorot matanya yang tajam menatap ke dalam mata Nadine, seolah-olah ia ingin menembus bagian terdalam jiwanya.
"Dan lo manusia. Bukan barang yang bisa gue jadiin taruhan atau semacamnya. Jangan sembarangan kalo bicara, Nadine."
Untuk beberapa alasan yang tidak bisa Nadine jelaskan, dadanya bergemuruh, tidak siap menerima aura dominasi yang tiba-tiba menguar dari Mahen yang terasa seperti ingin melingkupi dan menaklukkan nya. Ia mengepalkan tangan dan mengeraskan rahang, menjaga pertahanan dirinya.
"Dine, gue bukan orang yang bisa ngejelasin apa yang gue rasa secara gamblang," Mahen mulai dengan hati-hati, menjaga suaranya tetap lembut dan menjaga kontak mata mereka agar tidak terputus.
"Sejak pertama kali kita ketemu, gue ngerasa semua ngga mungkin terjadi secara kebetulan. Awalnya gue cuma berpikir kalo lo seseorang dengan kepribadian menarik. Tapi pertemuan kedua dan ketiga kita yang tidak disengaja bikin gue makin penasaran sama lo. Gue bukan sengaja cari tau tentang lo, tapi lo selalu muncul dihadapan gue disaat-saat krusial dan itu yang buat gue mau untuk deket sama lo. Gue mau kenal sama lo lebih dalam bukan cuma karena penasaran tapi karena gue ngerasa nyaman sama lo. Aneh, kan? Gue juga ngga bisa ngejelasin perasaan ini, Nadine. Kadang semua itu cuma bisa dirasakan dan ngga bisa buat gue jelasin. Tapi gue bisa tunjukin ke lo, apa yang gue rasain dan apa yang mau gue lakuin setiap kali gue liat lo."
Mahen berkata dengan tegas dan lugas, suaranya sama sekali tidak bergetar. Pandangan matanya tidak goyah dan Nadine dibuat tidak bisa berpaling.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat Nadine terdiam di tempat dan mendengarkan tanpa menyela.
"Emang apa yang mau lo lakuin setiap kali liat gue?" tanya Nadine dengan suaranya yang terdengar seperti bisikan.
Ia ingin sekali mengalihkan pandangan, malu karena tiba-tiba ia merasa seperti tidak dapat berkutik tetapi tatapan mata Mahen menguncinya.
"Mau gue lindungin," jawab Mahen tanpa jeda,suaranya menjadi lebih rendah tetapi terdengar begitu lembut hingga selama beberapa saat Nadine dibuat terhenyak dengan pernyataan yang tidak terduga itu.
Mahen melangkah lebih dekat dengan begitu hati-hati, menjaga jaraknya agar tidak melewati batas. Pandangannya berubah begitu teduh dan Nadine tidak siap dengan efek yang diberikan. Rasanya begitu asing.
Belum pernah ada seseorang yang menatapnya dengan pandangan seperti itu dan sekarang ini ia tidak dapat menerjemahkan maksud dari pandangan itu.
"Gue bisa ngelindungin diri sendiri," sela Nadine dari balik giginya yang terkatup rapat. Mahen mengangguk setuju.
"Gue ngerti. Gue cuma mau ngelindungin lo bukan berarti gue ngga percaya kalo lo bisa jaga diri sendiri, Nadine. Lo ini emang perempuan mandiri dan bisa ngelakuin semuanya sendiri. Tapi dapet perlindungan dari orang lain juga ngga ada salahnya, kan?" Nadine terdiam, tidak bisa menjawab.
Selain papanya, belum pernah ada orang yang tawarkan perlindungan padanya. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"Kalo cuma itu-"
"Banyak," Mahen dengan lembut menyela. "Masih banyak yang mau gue lakuin buat lo. Tapi ada satu yang paling mau gue lakuin," Jeda sejenak.
Mahen seperti sengaja mengulur waktu dan Nadine mulai tidak sabar.
"Apa?!" tanyanya dengan nada bicara yang kembali ketus. "Mau apa?!"
Mahen tersenyum, menatap Nadine dengan tatapan lembut yang lagi-lagi membuat Nadine merasa ingin kabur.
"Mau gue sayang,"
Begitu kata-kata itu terlontar dari mulut mahen, dunia Nadine rasanya berhenti bergerak selama sepersekian detik yang terasa seperti selamanya, dan otaknya seperti membeku, tidak sanggup mencerna maupun membalas ucapan mahen yang terdengar begitu asing bagi Nadine.
Apa tadi katanya? Disayang?
Kepala Nadine seketika langsung pening, lidahnya kelu,dan kata-kata tersangkut di tenggorokannya.
Pada akhirnya, Nadine hanya dapat menatap Mahen dengan pandangan linglung dan tidak mengucapkan balasan apapun.
"Gue ngga akan ganggu lo lagi kalo setelah ini lo masih nolak semua perlakuan gue, tapi kalo lo ngasih izin, gue mau minta waktu biar gue bisa buktiin ke lo soal perasaan gue ke lo.."
"Gue mau lo tau gimana cara gue ngelindungin dan menyayangi lo. Kalo lo ngga percaya sama kata-kata gue, izinin gue ngebuktiin pake tindakan."
Nadine masih membeku, mencoba memproses semuanya secara perlahan-lahan. Ini adalah kesempatan untuknya mengatakan tidak dan meminta Mahen untuk pergi dari kehidupannya untuk selamanya agar ia bisa kembali menjalani hidup normalnya.
Tetapi kalimat penolakan itu tidak mau keluar dari bibirnya yang masih tertutup rapat. Hatinya bergejolak, batinnya berperang, dan tekad awal Nadine lenyap entah ke mana.
Tidak, ia tidak jatuh hati kepada Mahen atau tertarik padanya. Ia bahkan masih belum bisa sepenuhnya percaya pada ucapan laki-laki itu. Tetapi ada bagian lain dari dirinya yang mempertanyakan ucapan Mahen.
Memangnya bagaimana rasanya di lindungi dan disayang?
Apakah rasanya seperti perlakuan mamanya? Apakah sama dengan rasa sayang papa kepadanya?
Nadine ingin tahu. Nadine ingin merasakan. Apakah laki-laki itu memang sanggup untuk membuatnya merasakan seperti itu atau ucapannya hanya omong kosong belaka? Nadine ingin bukti."Gue ngerti lo ngga akan mudah percaya tapi gue yakin, kalo gue bisa ngebuktiin ke Lo kalo gue-"
"Tiga bulan," Nadine menyela dengan pelan tetapi suaranya kembali terdengar tegas dan kesadaran dirinya telah kembali. "Tiga bulan ngga lebih."
Kali ini, giliran Mahen yang menatap Nadine seperti orang linglung.
"Tiga bulan?"
Nadine mendengus.
"Lo minta waktu kan, buat ngebuktiin semua omongan lo. Tiga bulan ngga lebih. Kalo sampe tiga bulan gue masih ngga suka sama lo, gue mohon dengan sangat buat stop ganggu gue lagi."
"Deal," mahen dengan cepat menyetujui, wajahnya berubah berseri-seri dan mata yang biasanya terlihat tenang kini menunjukkan sebuah binar.
"Tiga bulan dan selama itu lo ngga boleh tiba-tiba ngebatalin perjanjian kita. Deal?"
Nadine tidak tahu apakah keputusannya benar atau tidak tetapi ia mendapati dirinya mengangguk.
"Deal."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHENDRA [ON GOING]
TienerfictieJangan lupa vote ya teman-teman😉 Follow juga🫰🏻 Jadi pembaca yang bijak yaa😉 Kasih saran kalo kalian kurang suka sama alurnya🫰🏻 LIONROAR atau biasa di sebut Lions. Lions adalah nama geng besar di sekolahnya yang terdiri dari ikatan para murid n...