MALAM MINGGU

13 8 9
                                    

Mahen tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Bibirnya membentuk senyum penuh yang ceria, matanya berbinar dengan kehidupan, wajahnya sedikit memerah di bawah langit musim semi yang sepucat linen, dan ekspresi wajahnya yang bahagia membuat ia tampak lebih tampan.

Sementara itu Nadine duduk di depannya dengan posisi menyamping, kedua tangannya melingkar di pinggang Mahen sementara kepalanya bersandar di dada Mahen, membuat puncak kepalanya berada tepat dibawah dagu Mahen.

Angin yang berhembus menerbangkan rambutnya, membingkai wajahnya yang tampak damai.

Mahen mengayuh sepeda dengan pelan, menelusuri jalan taman yang luas dan lenggang. Rasanya begitu ringan seolah-olah ia telah memiliki dunia dan seisinya.

Dan ketika Mahen sedikit menunduk ke bawah untuk menatap Nadine, ia berpikir bahwa ia memang telah memiliki seisi dunia di dalam pelukannya.

"Kalau pegel bilang yaa, Dine." kata Mahen dengan lembut. "Pasti ngga nyaman duduk di besi kaya gini."

Nadine menggeleng pelan di dadanya, menggelitik Mahen. Meskipun mahen tahu bahwa posisi Nadine tidak begitu nyaman tetapi ia betul-betul merasa terharu karena gadis itu mau berkompromi. Mungkin saat ini Nadine belum bisa menunjukkan bentuk afeksinya secara verbal tetapi Mahen telah belajar begitu banyak tentangnya dan bisa merasakan perhatiannya yang lebih sering dilakukan secara tersirat.

Mahen mengusapkan dagunya di atas kepala Nadine, membuat anak itu memekik karena geli.

"Geli!"

Mahen tertawa. "Kamu gemes."

Nadine memundurkan kepalanya sedikit dan mendongak untuk menatap Mahen. "Aku ngga ngapa-ngapain, loh!"

Mahen menunduk, tersenyum teduh kepada Nadine. "Kamu diem juga udah gemes di mataku, sayang."

Wajah Nadine berubah garang sebelum membuang muka tetapi Mahen tidak akan pernah melewatkan semburat merah di pipinya.

"Jangan dilepas, Dine," kata Mahen tiba-tiba ketika merasakan pelukan Nadine melonggar di bagian pinggangnya.

Nadanya selalu berubah lebih rendah ketika ia mengucapkan sebuah perintah dan itu membuat gerakan Nadine seketika berhenti.

"Engga dilepas," kata Nadine pelan kemudian secara perlahan-lahan mengeratkan kembali pelukannya dan menyandarkan kepalanya di dada Mahen. "Sesak?"

"Pass," balas Mahen dengan ekspresi wajah seperti orang mabuk yang membuat Nadine mendadak merasa salah tingkah.

Mahen kembali mengayuh sepedanya, kali ini agak kencang dan membiarkan angin menyambut mereka. Ia mencuri satu kecupan ringan di atas puncak kepala Nadine, tidak tahu bahwa anak itu sadar dan wajahnya berubah merah karena itu.

"Sini," Mahen mengulurkan tangan kepada Nadine yang tampak ragu.

Setelah selesai bermain sepeda, mahen mengajak Nadine untuk bermain basket. Nadine sudah pikir Mahen akan mengajari cara bermain basket.

"Aku ngga bisa main basket," ucap Nadine

"Kamu bisa, percaya deh." kata Mahen dan Nadine mendapati dirinya menerima uluran tangan Mahen karena rasa percaya yang ia miliki untuk laki-laki di hadapannya.

Nadine belum pernah bermain basket sebelumnya yang ia tau caranya bermain basket adalah memasukkan bola ke dalam ring basket.

Mahen hanya memberitahunya untuk berdiri di hadapannya dan menuntun tangannya untuk memegang bola serta kakinya harus berpijak seperti yang ia contohkan. Sementara kedua lengannya berada di kedua sisi pinggang Nadine.

Butuh waktu beberapa saat hingga Nadine akhirnya bisa memasukkan bola ke dalam ring.

"Yes!" Nadine memekik kecil ketika bola yang ia lemparkan masuk kedalam ring basket.

MAHENDRA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang