Marco terdiam semalaman di meja kerjanya, Navins sendiri memilih untuk berada dikamarnya seharian dan menimbulkan kekhawatiran dimana pemuda manis itu tak ingin makan sedikit pun nasi. Kesedihan terasa begitu menusuk hati Navins kala bentakan Marco tertuju padanya.
Pemuda dengan paras manis itu berdiri didepan balkon dan membayangkan tentang masa-masa indahnya dan Marco, hari-hari yang mereka lewati sebagai sepasang angsa yang bahagia. Ia berfikir menjadi seperti Jeevans akan membuat Marco akan sangat menyukainya. Ia berusaha, ia juga melakukan sebuah pengorbanan untuk cintanya, namun nyatanya sia-sia.
Ia membenci fakta bahwa ia lebih sempurna, ia benci fakta ia mencintai orang yang dicintai saudaranya. Navins membenci semua fakta yang membuatnya menjadi seburuk ini. Bahkan jika ia bisa mengulang waktu, ia hanya ingin hidup sebagai pangeran biasa bukan seorang putra mahkota yang memiliki tanggung jawab besar.
Keberadaan Jeevans adalah ancaman untuknya, mungkin sejak Marco bersama nya.. Navins tak tenang kala pemuda berstatus saudaranya itu ada disekitarnya, ia berusaha membuat Jeevans jauh untuk tak semakin menyakiti nya dengan menikahi lelaki yang ia cinta. Rasa bersalah akan menghantui Navins jika Jeevans berada di dekatnya.
Ia bersikap dewasa seolah ia tak pernah perduli dengan keberadaan Jeevans, namun saudaranya itulah yang membuatnya belajar bagaimana ia harus bersikap dewasa. Navins masih memiliki harapan pada cinta Marco kala itu, kala ia buta dan membuatnya menjadi seburuk ini didepan orang-orang yang dipimpinnya. Ia merasakan bagaimana tatapan kebencian diujarkan padanya.
Tangannya mencengkram sisian balkon, matanya menatap lurus kedepan dengan air mata yang mulai menetes tak henti. Sakit, hatinya begitu sakit seperti dunia membencinya sekarang. Cintanya merobohkan keyakinan dan menghilangkan kepercayaan orang lain kepadanya, mengapa ia sebodoh itu?
Navins terduduk ketika ia melihat kearah lukisan yang senantiasa terpatri didalam kamarnya, Lukisan dirinya dan Jeevans. Air matanya mengalir semakin deras meraung dan melukai hati siapapun yang mendengarnya, ia sudah melakukan banyak kesalahan dengan menyakiti saudara yang selalu mengalah darinya. Ia selalu meminta apapun yang Jeevans minta..
Bahkan Marco.. Navins tak memungkiri bahwa nantinya ia dan Marco akan berpisah, namun cintanya membuatnya buta dan egois untuk memiliki pemuda itu dengan cara apapun tanpa menyadari bahwa pihak yang akan ia sakiti adalah ia sendiri dan keluarganya. Matanya menatap kearah cincin pertunangannya dan melepas cincin itu sebelum berjalan menuju ruangan Marco.
Pintu terbuka dan Navins bisa melihat Marco terduduk di kursinya, tatapannya menatap langit mendung diluar sana. Apa keputusannya merebut Marco adalah benar? pemuda itu bahkan mulai tak meliriknya, apa ia tidak bisa seperti Jeevans yang selalu mendapatkan atensinya?
"Marco.. Beri aku waktu.. 3 bulan saja.. bersikaplah seolah-olah kau mencintaiku dan aku berjanji aku akan menceraikanmu.. kumohon.."
Nyatanya, ia hanya mengemis cinta dari pemuda tampan itu. Ia membuang harga dirinya dan bersimpuh, air matanya masih mengalir deras dan Marco hanya menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan tatapan apa itu. Marco tak bisa melakukan apapun, ia hanyalah orang baru di kastil yang membingungkan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The black swan ; markno
FanfictionThe Black Swan story of Markno Slight Markmin. Kapan terakhir kali jeevans tersenyum selebar ini? mungkin sudah sangat lama. Ketukan sepatu ber hak 3 centi itu menggema di lantai altar, ia hanya mengenakan setelah jas berwarna hitam pekat dan tersen...