Hari - hari berlalu seperti biasa, hanya saja Navins tidak lagi memegang kekuasaan sebagai putra mahkota. Marco sendiri tetap melakukan kegiatannya sebagai keluarga Soul dan sibuk berkeliling kota. Navins menghabiskan waktunya di pengasingan dengan ditemani Ravin teman sang adik.
Toktok
"Pangeran.. apa pangeran sudah bangun?" Jeevans yang baru saja membuka matanya berjalan kearah pintu dan menemukan Marco berdiri didepan kamarnya dengan sebuket bunga mawar. "Kenapa datang ke kamarku sepagi ini? Bukannya tidak ada pertemuan?"
Yang lebih tua tersenyum dan menyerahkan bunga itu pada Jeevans sebelum mengusak gemas surai perak Jeevans. "Apa salahnya aku berkunjung kemari? bukankah seharusnya aku sering datang untuk menemui calon suami kecilku ini?" Jeevans menatap malas kearah Marco dan mendorong pemuda itu menjauhi pintu kamarnya dan menutup kembali pintu kayu itu.
Benar jika setelah tragedi itu Marco memutuskan untuk melanjutkan kerjasama kerajaan dengan keluarga Jeevans karna pemuda manis itulah yang sekarang mengurus kerajaan dengan kata lain Jeevans diangkat menjadi putra mahkota. Soul sendiri menyetujui hal tersebut karna bagaimanapun keluarga Marco sangat ingin Jeevans menjadi menantunya.
Pemuda manis yang sekarang bersurai perak itupun sebenarnya salah tingkah, lebih baik mengusir calon tunangannya itu dan menyembunyikan wajah memerahnya sendirian. Marco yang berdiri didepan pintu hanya tersenyum, ia berjalan menuju ruangannya dengan senyuman cerah.
Jeevans kembali hidup sebagai pangeran seperti sedia kala, tidak ada perbedaan lagi diantara dirinya dan angsa yang lainnya. Mengapa ia begitu takut ketika semua orang mulai memberinya atensi? Namun malam itu Marco meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia melirik kearah surat yang tergeletak diatas meja, surat dari Navins yang dikirimkan melalui Ravin yang sempat mampir ke kastil semalam. Ia duduk di balkon dengan secangkir teh didepannya, mawar yang Marco bawa sudah ia tata pada vas kecil didekat balkon. Ia membuka surat itu dan membaca perlahan pesan yang ditinggalkan adik kembarnya itu.
'sudah hampir satu tahun, bagaimana kabarmu? ravin pasti mengatakan bahwa aku frustasi tidak bisa bertahan disini. nyatanya dia yang membantuku jadi tenanglah, untuk saat ini aku hanya ingin bertahan bersama ravin lebih lama. jangan katakan ini padanya, dia akan marah besar seperti angsa cerewet yang bisa mengoceh sepanjang malam.
Marco sempat mengirim surat dan mengatakan kau jarang menemuinya, bukankah kalian akan menikah? kau masih sama, tetap menomor satukan kastil... seringlah datang dan menemui Marco, dia sangat membutuhkan pelukanmu. Jangan berdalih lagi hari ini aku meminta ayah tidak memberikanmu pekerjaan jadi datanglah ke ruangan Marco.
Jaga kesehatan mu, aku akan datang pada hari pernikahan mu.
Nav'
Jeevans melirik kearah balkon ruangan Marco, terbuka.. Mungkin pemiliknya sedang disana untuk mengerjakan berkas. Jeevans menyesap tehnya lalu berdiri dan membawa beberapa buku untuk pergi ke ruangan Marco. Pemuda bersurai perak itu mengerjapkan matanya saat melihat ruangan Marco berantakan.
"Apa yang terjadi? kenapa berantakan sekali?" Marco menoleh dan menunjukan senyumannya, ia mengangkat sebuah surat dan berjalan mendekati Jeevans "Surat dari ayah, terselip jadi kucari ternyata jatuh dibawah meja."
Keduanya saling menatap lantas tertawa kecil, Marco yang melihat sang tunangan tersenyum begitu terpesona pada paras pasangannya itu. Ia tak pernah melihat senyum itu ketika hari-hari terburuknya tiba dan hanya ada tatapan sendu. Namun Marco sekarang bisa melihatnya dengan leluasa.
Marco mengusap pipi Jeevans lantas menatap kedua maniknya yang cerah dan berkilau. "Berjanjilah padaku, tetaplah tersenyum seperti ini. cantik.." Jeevans menggenggam tangan Marco yang ada di pipinya dan tersenyum lebih lebar, ia mengangguk samar sebelum Marco mendekatkan wajahnya menyatukan bibir keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The black swan ; markno
Fiksi PenggemarThe Black Swan story of Markno Slight Markmin. Kapan terakhir kali jeevans tersenyum selebar ini? mungkin sudah sangat lama. Ketukan sepatu ber hak 3 centi itu menggema di lantai altar, ia hanya mengenakan setelah jas berwarna hitam pekat dan tersen...