13. Escape

90 19 19
                                    

Hari semakin siang meskipun keadaan tidak secerah dunianya. Beberapa orang sedang berlalu-lalang di dalam koridor. Jeane bersembunyi di balik guci besar yang memang diletakkan di beberapa titik sepanjang koridor setiap dia hendak berpapasan dengan seseorang. Tenang, gadis itu tidak akan ketahuan sebab aromanya tidak bisa tercium oleh werewolf mana pun. Kecuali jika dia terlalu berisik, makan gagal sudah rencananya.

Langkah kaki pun berjalan mengendap-endap untuk bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini.

“Aku harus lewat mana?” Jeane mencoba mencari anak tangga terlebih dahulu untuk bisa pergi ke lantai bawah tanpa ketahuan.

“Tempat ini benar-benar membuatku pusing. Entah bagaimana para serigala itu membangunnya.” Bukan Jeane Nuella namanya jika tidak menggerutu. Gadis itu benar-benar tidak bisa menahan mulut untuk berbicara meski di tempat yang sepi.

Setelah mencari-cari, akhirnya dia menemukan tangga turun menuju ke aula utama. Seperti orang yang dikejar waktu, Jeane hampir berlari saat menuruni setiap anak tangga. Beruntung kakinya tidak ceroboh dalam melangkah.

Begitu sudah menginjakkan kaki di atas lantai aula, Jeane tidak langsung menuju pintu keluar padahal sudah di depan mata. Gadis itu malah terdiam, terpukau dengan suasana tempat ini yang baginya sangat luas dan terlihat mahal.

Lantai yang seluruhnya terbuat dari granit, empat pilar berornamen, lampu besar beserta hiasannya yang tergantung tepat di tengah-tengah atas lantai, beberapa guci besar di sudut dan juga lukisan. Benda-benda itu bukan benda sembarangan. Jeane yakin pasti harganya sangat mahal.

“Kalau dia benar-benar CEO, wajar saja jika kaya. Tapi perusahaan apa yang mampu dibangun oleh seekor serigala?” gumamnya bertanya-tanya.

Saat manik violetnya mengobservasi lokasi tersebut, tiba-tiba perhatian dicuri oleh sebuah lukisan besar yang cukup aneh terpanjang di tengah-tengah aula tepatnya berhadapan langsung dengan pintu utama. Lukisan yang hanya menggambarkan figur tanpa wajah. Terlihat ada pria, wanita yang menggendong bayi, dan seorang anak laki-laki. Rasa penasaran lantas membuatnya mendekati lukisan itu dan memperhatikannya lebih dekat.

Selain cerewet dalam lisan, Jeane juga terlalu berisik dalam benak. Saat ada sesuatu yang baru dia lihat, banyak sekali tanda tanya yang terlintas sehingga cukup menyita banyak waktu untuk menepis semua itu.

Apa ini foto keluarga Damian? Kenapa seperti itu? Kenapa tidak ada wajah? Kenapa malah dipajang di sini? Aneh sekali, kira-kira semacam itu isi pikirannya.

Sangat tidak penting. Tersadar cepat, Jeane pun menggeleng. Langkah kembali melangkah menuju pintu utama yang ukurannya lumayan besar.

Jeane membuka pintu dengan susah payah sebab berat dan akhirnya dia bisa melihat dunia luar dari kastil ini. Pemandangan yang pertama dia lihat adalah rumah-rumah penduduk dan beberapa orang yang sedang beraktivitas.

Orang? Ya, orang. Jeane melihat aktivitas manusia pada umumnya, tapi berbeda era. Ada anak-anak yang bermain dengan kayu dan batu, wanita yang sedang menjemur pakaian lalu ada beberapa pria yang sepertinya baru pulang berburu. Pakaian mereka sederhana. Terlihat tampan dan cantik. Tidak ada yang minus dari segi fisik, bahkan yang sudah tua pun masih terlihat menawan.

“Aku masih tidak percaya kalau mereka semua makhluk jadi-jadian,” ungkapnya sambil menuruni undakan di depan pintu kastil.

Kastil Damian tidak memiliki halaman depan yang luas sehingga setelah pintu utama, Jeane dapat langsung berjalan menuju jalan utama. Gerbang besar pun juga tidak ada, hanya sekadar pagar besi pembatas yang terbuka.

Ada satu jalur yang kanan kirinya berjajar rumah-rumah warga. Jeane cukup dibuat takjub dengan pemandangan mereka yang mana membuatnya merasa seperti di buku dongeng fantasi kesukaannya. Senyum tanpa sadar terukir saat ada seorang anak yang tidak sengaja bertemu pandang dengan violetnya.

Eternal Mate : Tricolor DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang