Malam hari. Hellen berdiri di tengah rumah, nampak sedang menunggu seseorang melihat dari raut yang khawatir. Sejenak menengok jam di dalam rumah yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di tangannya, dia menggenggam ponsel yang sejak tadi diharapkan berdering.
Beberapa saat, akhirnya benda itu berbunyi. Dengan cepat dia menjawab panggilan tersebut.
"Halo, Frank?"
"Maaf, aku baru menghubungimu sekarang. Orang-orang tadi benar-benar merepotkan, padahal hanya akan membeli satu domba."
"Iya, tidak apa-apa."
"Apa Dave sudah pulang? Ponselnya sudah bisa dihubungi?"
"Belum."
"Ke mana anak itu ...."
Baik Hellen dan Frank sama-sama resah. Dave memang bukan anak kandung mereka, tapi kasih sayang dan perhatian selalu yang mereka miliki selalu diberikan layaknya pada anak sendiri.
"Aku sudah menghubungi Tuan Caiden. Kebetulan beliau tidak ada di rumah tadi pagi, jadi tidak tahu kalau Dave datang."
Terdengar helaan napas panjang dari Frank di seberang sana. "Kau sudah menghubungi Lucas?"
"Lucas bahkan mengatakan tidak tahu Dave ada di mana. Setelah selesai mandi, dia sudah tidak melihat anak itu lagi. Dia pikir Dave sudah pulang."
"Aku curiga ada yang tidak beres."
"Maksudmu?"
"Rumah Caiden, kan, ada di dekat hutan itu."
__****__
Pagi kembali. Luka-luka di tubuh Dave akhirnya telah teregenerasi sempurna dan kini dia sudah bergabung dengan Jeane serta Damian di pintu gerbang perbatasan. Damian masih nampak menyorotkan tatapan dendam di balik raut santainya dan seolah tak menganggap Dave ada. Sedangkan Jeane lebih memilih diam. Biasanya dia akan sok akrab, tapi kali ini dia menginginkan suasana aman meski tetap ada ketegangan di antara dua pria itu.
"Kau pucat sekali, Dave," kata Daniel memecah kecanggungan.
Ah, iya. Meskipun luka Dave sudah sembuh, pria itu masih nampak pucat seperti orang sakit. Agaknya Daniel lupa kalau yang diajaknya bicara adalah vampir. Namun, seharusnya Dave tidak nampak seperti vampir jika dia cukup meminum darah. Kebetulan dari kemarin dia tak mengonsumsi cairan itu sehingga aura vampirnya sangat terlihat.
"Aku tidak apa-apa," jawab Dave.
Tak berbasa-basi lagi Damian segera berganti shift. Setelah itu dia mendekati Jeane dan merendahkan tubuh tepat di hadapat gadis itu. Jeane tak mengerti, tapi kemudian Damian memberi isyarat untuk naik ke punggungnya.
"Berat badanku naik, kau kuat?" celetuk Jeane. Entahlah, gadis itu masih belum berhenti bersikap konyol. Bisa-bisanya mempertanyakan hal yang sia-sia.
Sebenarnya Damian ingin menggeram, tapi dia tak ingin membuat gadisnya takut. Perasaan jengkelnya pun diwakili oleh Daniel yang tiba-tiba menyahut, "kau meremehkan kekuatan serigala besar, Nona? Mau beratmu 100 kilo pun Damian juga kuat."
Terus terang Jeane takut. Saat menyentuh bulu Damian, rasanya sangat lembut, tebal dan licin. Bagaimana kalau dirinya jatuh lalu tertinggal di dalam hutan? Dia masih sangat takut jika bertemu dengan serigala liar. Ah, tidak, kan? Damian pasti akan selalu melindunginya.
Keraguan Jeane membuat kesabaran Damian habis. Serigala itu menggeram halus sampai membuat sang gadis tersentak.
"Iya iya! Jangan menggeram. Kau membuatku takut," sungut Jeane kemudian menaiki punggung Damian. Dia mencengkeram bulu Damian dengan erat, sebelum menoleh ke arah Dave untuk memastikan pria itu juga sudah siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Mate : Tricolor Destiny
Werewolf[Rewrite] "True love doesn't consider sincerity as sacrifice, but happiness." ~°°~ Demi menyelamatkan dunia malam yang terancam, Dewi Bulan harus menuliskan takdir dua insan yang seharusnya sudah tidak lagi berpijak di atas dunia ini untuk bersatu...