02. Symbols

175 22 25
                                    

20 tahun kemudian, Finlandia

Life goes on, it gets so heavy
The wheel breaks the butterfly
Every tear, a waterfall
In the night, the stormy night
She closed her eyes
In the night, the stormy night
Away she flied
She dreamed of paradise...

Beberapa lantunan lirik lagu berdengung menggetarkan gendang telinga bersamaan manik violet yang bergerak-gerak memandangi penampakan alam di luar kaca jendela mobil yang ia tumpangi. Semburat jingga langit sore berkaca pada jernihnya air danau yang dia lewati. Jajaran pohon pinus turut menjadi penyita perhatian yang mengalihkan benak dari lelahnya perjalanan panjang. Daratan Eropa memang begitu indah, sangat memanjakan mata sampai tak sadar jika tujuan sudah hampir dekat.

"How do you think about my hometown?" Keheningan lantas terpecah oleh suara dari pria yang sejak tadi sibuk di belakang kemudi.

"Amazing place," balasnya tanpa memalingkan atensi sedikit pun dari pemandangan.

"Oh ya? Bukankah kau pernah bilang bahwa tidak ada tempat yang lebih hebat lagi dari New York?"

Napas berembus panjang. "Memang. Tapi aku mengakui negara ini indah."

Pria itu tersenyum puas, lalu keheningan kembali berlanjut. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing hingga akhirnya mobil mereka sampai di depan sebuah rumah. Tidak besar, tapi terlihat bagus dan rapi dengan dikelilingi pohon pinus. Halamannya pun terlihat luas, akan sangat seru jika digunakan bermain lempar cakram di sana.

"Akhirnya sampai juga," desah si pria sambil melepas seat belt.

Keduanya kemudian turun dan bergegas menuju bagasi untuk mengeluarkan beberapa barang bawaan.

"Kau akan betah tinggal disini, Jeane. Mungkin bisa saja akan membuatmu tidak ingin kembali lagi ke New York."

"Kau sepertinya yakin sekali dengan tempat ini, Ayah."

"Oh jelas. Aku sangat menyukai kampung halamanku. Di sini kau tidak akan mengurung diri saja di kamar."

Gadis itu-Jeane Nuella, mendengus lucu mendengar ucapan sang ayah. Baginya, mengurung diri di kamar jauh lebih bisa melakukan banyak hal daripada berinteraksi dengan manusia-manusia merepotkan meski dia menyatakan bahwa New York adalah kota yang seru.

Jeane lantas berpikir apakah perkataan ayahnya itu benar atau tidak? New York yang penuh dengan keseruan saja tidak lebih menarik dari kamar, apalagi Finlandia yang sejak tadi lebih banyak pemandangan hijau daripada gedung-gedung tunggi. Dia akui negara ini indah, tapi jujur keindahan itu hanya nyaman untuk dinikmati dari kejauhan saja.

Mereka lalu menyeret koper menuju ke teras rumah. Memencet bel, kemudian terbukalah pintu oleh seorang pemuda tinggi berambut pirang.

"Wow, Dad!" teriak si pemuda, girang.

"Bagaimana kabarmu selama 2 tahun tinggal di sini?"

Keduanya saling berpelukan melepas kerinduan yang sepertinya sangat membelenggu. Maklumlah, sudah 2 tahun hanya berkomunikasi melalui ponsel.

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Dan apa-apaan ini," si pemuda melepas pelukannya dengan sang ayah kemudian beralih pada Jeane, "kau benar-benar ingin pindah kemari? Aku kira kau tidak bisa hidup dengan tempat tidur Cinderella-mu itu."

"Diamlah, Lucas. Lebih baik kau bantu aku membawa semua barangku ini." Jeane juga rindu Lucas. Pemuda itu terlihat lebih tinggi dan dewasa dari terakhir kali dia lihat dulu.

"Cih."

Gadis itu yang tadi berpura-pura menampakkan wajah dingin, kini sontak tertawa terbahak-bahak melihat wajah kusut Lucas. Dia pun memencet dengan keras hidung mancung si adik karena gemas.

Eternal Mate : Tricolor DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang