"Ayah!"
Lagi-lagi air mata meluncur tanpa aba saat manik menyoroti sebuah lukisan manusia tanpa wajah di tengah-tengah main hall. Sudah 30 menit lamanya Damian berdiri sambil mengenang hal yang sebenarnya tidak ingin dikenang dari benda tersebut. Bertahun-tahun dia berusaha memendam memori tidak menyenangkan itu agar tidak melemahkan jiwanya yang kini sudah bukan anak lemah lembut penuh senyum seperti dulu. Sekarang dia Alpha yang ditakuti dan disegani. Apa jadinya jika orang lain melihatnya sedang menangis?
Air mata yang tidak seberapa itu pun diseka. Damian mengambil napas kemudian mengembuskannya. Dia rasa hari ini dirinya terlihat sangat menyedihkan setelah kembali dari rumah Jeane.
"I met mommy again, Dad. She's still beautiful, you know. You have to meet her, maybe in a dream," monolognya dengan suara yang masih terdengar bergetar.
Kelopak mata masih terasa panas akibat air mata yang ingin sekali tumpah. Sesak di dada juga belum mereda.
"Ibu selalu terlihat cantik dan anggun. Suaranya bahkan masih terdengar begitu lembut seperti dulu."
Anak mana yang tidak merindukan ibunya? Damian sangat membenci Hellen, tapi dia tidak bisa membohongi diri bahwa kini rindunya pada wanita itu sangat menyiksa. Tangis yang membasahi wajah tidak hanya menyiratkan kesedihan, melainkan juga kekecewaan bercampur rasa ingin memeluk.
Damian menunduk, membiarkan air mata meluncur lagi dan jatuh ke atas lantai. Berusaha agar tidak terisak, kedua tangannya mengepal kuat bersama rahang mengeras. Mata pun terpejam beberapa kali demi memeras seluruh cairan yang ingin mengalir.
Pria itu masih sendiri, hingga akhirnya pintu mendadak terbuka dan datanglah satu pria lagi dari luar. Damian sontak mengangkat wajah dan berbalik.
"Damian," panggil orang itu sambil melangkah mendekat. Tatapannya begitu sendu melihat air mata di wajah Damian.
Kendati wajah basah karena menangis, rautnya seketika berubah setelah melihat kedatangan orang itu. Guratan bengis terukir bersama atensi yang menyorot tajam.
Orang itu menghentikan langkah setelah berada dekat di depan Damian. Meski mendapatkan atensi penuh kebencian, dia tetap mengukir senyum teduh di tengah sorotannya yang sendu.
"Aku seperti melihat Lysander dengan versi yang lebih tinggi."
Untaian kata itu hanya dianggap angin berlalu oleh Damian. Matanya yang masih berair dan memerah, mengutarakan seluruh emosi yang tak mampu diterjemahkan ke dalam berbagai ucapan. Hanya satu kata saja yakni kebencian.
"Aku tidak membutuhkan keberadaanmu lagi di sini, Frank. Pergilah atau mati di tanganku."
Ucapan Damian sangat menakutkan. Kalau serigala lain sudah pasti akan langsung kabur. Namun Frank tetap berdiri dan tak melunturkan senyumannya dari bibir. Dia masih melihat Damian dengan teduh seperti seorang ayah yang bertemu kembali dengan anaknya setelah bertahun-tahun pisah.
"Aku tidak masalah jika kau mau membunuhku. Aku ke sini hanya untuk menjelaskan sesuatu tentang Hellen."
Semakin mendidih kepalanya begitu Frank mengucap nama itu. Kedua tangannya mengepal erat, ingin sekali melayangkan pukulan tapi masih ditahan oleh sisi lembut yang sudah lama terkubur dalam.
"Melihat dari sorot matamu, kau sangat membenci ibumu. Karena kepergian Hellen, ayahmu kacau sampai melakukan kecerobohan yang berakhir hukuman mati. Aku mengerti, Damian."
Agaknya Damian sudah tidak mampu menahan sisi kerasnya. Kepalan tangan yang sejak tadi hanya ditahan, kini berhasil melayang keras ke wajah Frank. Tak hanya jatuh, tubuh itu bahkan sedikit terlempar karena saking kuatnya pukulan Damian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Mate : Tricolor Destiny
Werewolf[Rewrite] "True love doesn't consider sincerity as sacrifice, but happiness." ~°°~ Demi menyelamatkan dunia malam yang terancam, Dewi Bulan harus menuliskan takdir dua insan yang seharusnya sudah tidak lagi berpijak di atas dunia ini untuk bersatu...