Pagi itu, Haiden agak linglung.
Harusnya pergi di ruang makan, dia malah disorientasi ke kamar mandi.
Harusnya ngambil mobil di parkiran, dia malah nyelonong ke pagar sampai dilihatin sama para pengawal bapaknya yang lagi sarapan bubur di pinggir jalan.
Gara-gara kemimpiin Shea yang wujudnya sangat di luar nalar, Haiden jadi agak blank.
Ada rasa berdosa, sekaligus nagih.
Maksudnya, ketagihan karena masih penasaran.
"Mas Haiden, hari ini pulang jam berapa?"
Berhubung takut nyasar sampai ke kota sebelah, Haiden minta diantar kuliah.
Kalau otaknya masih dibawa Shea dan belum ter-install sempurna, bisa-bisa ia menyebabkan kerusakan tak terencana yang membuat bapaknya harus minta maaf pada publik satu negara.
"Nanti saya telepon, Pak. Saya banyak tugas kelompok hari ini"—bohong. Mana berani dosen ngasih tugas buat dia? Kehadiran Haiden di kelas saja antara ada dan tiada—"paling malam baru selesai."
"Baik, Mas. Berarti undangan dadakan yang ke stasiun radio itu, saya tolak saja ya?"
"Dia mau ngomongin apa, sih?" Haiden bertanya judes, "Ada kisi-kisinya?"
"Soal... anu, Mas." Anak buah bapaknya terlihat sedikit panik, "Soal gosip..."
"Penting emangnya sampai harus saya yang datang?"
Belum-belum Haiden sudah menggugat.
Pantang baginya mendengar latar belakang masalah dari topik yang level pentingnya cuma setara sampah.
"Ya udahlah tinggal bilang kalau omongan itu nggak benar. Fitnah. Strategi politik dari oposisi Ayah. Kelar kan urusan?"
"Tapi, Mas..."
"Tapi apa?"
"Ibu Negara..."
"Ibu kenapa?"
"Ibu bilang, Mas Haiden harus—"
Haiden tidak sempat mendengarkan kalimat selanjutnya karena ponselnya berbunyi.
"Sebentar, Ibu menelepon," dan Haiden segera berubah menjadi pemuda idaman bangsa saat berhadapan dengan Maharani Adhikara.
"Mas Haiden?"
"Dalem, Bu."
"Mas Haiden ada di mana?"
"Haiden sedang di kampus, Bu. Maaf ya kemarin Haiden tidak sempat mampir ke rumah sakit. Apa hari ini Ibu ada terapi lagi? Kalau iya, nanti Haiden ke sana ya, Bu."
Entah apa yang dikatakan oleh ibunya dengan napasnya yang sedikit terputus-putus itu, tapi ekspresi Haiden segera berubah.
Secepat itu, pikirannya dalam sekejap teralih.
Urusan kampus dan kerja kelompok gaib itu telah menghilang dari fokusnya.
Dengan suara serak, ia berkata, "Pak, kita tengok Ibu sekarang. Siang ini beliau kemoterapi lagi. Saya harus datang."
***
Shea duduk sendirian di kantin kampus, terlihat tak berminat menyentuh makan siangnya.
Ada perasaan menyesal karena telah memblokir nomor Haiden; seharusnya ia tidak kanak-kanakan seperti itu.
Sekarang, meskipun blokirnya telah dibuka, Haiden tidak menghubunginya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothers Complex | ENHYPEN ✅
RomanceKeluarga Syailendra punya tiga anak kembar: Raja, Jian, & Shea. Mereka kira, mereka akan akur selamanya. Namun, saat kedua kakaknya terang-terangan mengobarkan perang melawan Haiden, si anak presiden yang terus-terusan mendekati Shea, si bungsu just...