Chapter 10: Hanya Prioritas Kedua

527 67 74
                                    

"Haiden," Raja Syailendra mendekat dengan senyum sumringahnya yang pantas dicurigai. "Bagaimana acara malam ini? Kalau ada yang kurang, bilang padaku. Aku tidak ingin acara kita selanjutnya di Seiselensa terganggu karena ada detail yang tidak diperhatikan oleh anak buahku."

Haiden memandang pria muda itu, merasa harus menilainya sekali lagi.

"Aku tidak pernah mendengar perkataan apapun tentang Seiselensa," ia menyahut sarkastik, "apa ini sebuah undangan yang lain? Kalau iya, maaf, aku sudah banyak agenda sampai akhir bulan. Lain kali saja."

Raja bersumpah, jika saja ia punya sedikit keberanian untuk menentang ayahnya, ia pasti sudah menendang Haiden detik ini juga.

"Sebenarnya waktunya fleksibel," di dalam saku celana, jari tengah Raja diam-diam teracung, "kami bisa menyesuaikan dengan jadwalmu."

"Sudahlah, terang-terangan saja," Haiden yang mood-nya sudah hancur berantakan gara-gara tak diakui Shea di depan calon mertua, menolak menambah kuota kesabaran yang memang nyaris padam seperti gerhana bulan.

Pada saat seperti ini, makan mie pedas level 17 sampai otaknya kopong dan telinganya berdengung terdengar jauh lebih menggoda daripada berlayar ke Seiselensa.

"Sebenarnya ada apa kamu mengundangku?" cecar Haiden, mengabaikan konsep basa-basi sepenuhnya. "Kamu mau bikin pabrik baru? Manajemen limbahnya gimana? Sudah siap jatuh miskin kalau ternyata usahamu numpuk bahan pencemar lagi? Kalau yang dua itu saja belum bisa jawab, mending telan lagi niatmu itu."

Ampun, judesnya, ngalahin-ngalahin basreng kecelup sambal setan.

Kalau Haiden sudah mode begini, bisa dipastikan air rebusan pare pun kalah pahit dari lidahnya.

Raja Syailendra masih tersenyum karir.

Entah dibuang ke mana jatah emosinya untuk memaki-maki Haiden dan mengungsikannya ke Rapa Nui.

Anggap saja si ketus itu cuma melawak. Kecuali kalau nanti Haiden sudah menggonggong seperti biawak, baru Raja akan melempari jidatnya pakai biji salak.

"Kalau soal pekerjaan, itu bisa dibicarakan," Raja berusaha mengulur waktu. Ia adalah negosiator berpengalaman yang tahu kapan harus diam, kapan harus perang. "Tapi kudengar, kamu menyukai Shea."

Nama keramat itu membuat Haiden langsung melempar bombastic side eye.

"Terus kenapa?"

"Ya, siapa tahu aku bisa bantu"—Raja mengatakan ini tanpa firasat apapun—"aku sudah bersama Shea sejak dalam kandungan."

"Oh," Haiden mengangkat senyuman miring, "tapi kok beda, ya? Shea manis, mirip gula biang. Sedangkan kamu, mirip bakteri jahat."

Raja hampir berkata 'mulutmu itu sepertinya perlu dianyam pakai senar pancing ya, bro', tapi Haiden kembali berkata:

"Tapi kamu tahu nggak, apa persamaan gula biang dan bakteri jahat?"

Alis Raja terangkat, "Apa?"

"Sama-sama bikin sakit. Bikin menderita."

Raja hampir mengangkat suara untuk bertanya apa maksud kalimat itu, tapi Haiden bergegas angkat kaki dari rumah utama Syailendra.

Saat si sulung yang kehilangan targetnya berniat meminta Shea mencegah Haiden pergi, adik bungsunya yang berpapasan dengan si anak presiden hanya bisa membatu di teras tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Mas Ethan..."

Shea mencoba memanggil. Namun, nyalinya yang runtuh membuat suaranya menjelma jadi minus desibel; tak terdengar sama sekali.

Brothers Complex | ENHYPEN ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang