Chapter 21: Keberatan untuk Berjanji

398 53 90
                                    

"Bunga di meja Ibu sepertinya baru diganti, apa karena yang kemarin sudah hampir layu?" Haiden bertanya saat baru tiba di ruang rawat ibunya. "Memangnya siapa yang datang, Bu?"

Haiden yakin perbuatan manis semacam itu tak mungkin dilakukan oleh ayahnya—jadi kalau bukan teman, paling juga saudara.

"Mas," ibunya memanggil tanpa menjawab pertanyaannya, "Mas Haiden apa jadi berangkat ke Eropa?"

Haiden mengangguk dengan berat hati, "Jadi. Malam ini berangkat. Alexander sudah nelponin terus dari London. Katanya, pihak kampus sudah nggak sabar ketemu langsung sama Haiden."

Ibunya tersenyum lembut, mengelus kepala Haiden dengan tangannya yang masih tersambung selang infus.

"Maaf ya, Mas. Ibu sudah coba ngomong sama ayahmu, tapi ternyata Ibu nggak bisa bantu. Ayahmu terlanjur mau kamu berangkat ke sana. Tapi tenang saja, itu bukan berarti Ayah nggak sayang sama Mas Haiden..."

"Bu," Haiden tahu suasana hatinya langsung berubah saat pembicaraan ibunya terus-terusan mengarah ke sana. "Serius, Haiden nggak mau tahu Ayah mau sayang apa enggak sama Haiden. Yang Haiden tahu, dia kejam sama kita. Menurut Ibu orang kayak gitu layak buat dimaafin?"

"Mas," ibunya menggenggam tangan Haiden erat. "Kalau Ibu yang minta maaf atas nama ayahmu, apa Mas Haiden mau maafin Ayah?"

"Bu-"

"Mas, ayolah. Nicky itu nggak sejahat yang kamu bayangin..."

"Kenapa tiba-tiba ngomongin Nicky, sih? Kita lagi ngomongin Ay—laki-laki jahat itu. Kenapa tiba-tiba Ibu jadi ngebahas Nicky?"

"Ibu ngomongin dia biar kamu sadar kalau nggak selamanya jadi 'yang satu-satunya' itu adalah takdir yang terbaik," tangan sang ibu menyentuh pipi Haiden yang berpaling, enggan menatapnya lebih lama.

"Kamu terbiasa jadi anak tunggal. Sekarang, saat Nicky datang dan status kamu yang 'anak satu-satunya' itu tergeser, kamu marah dan kesal. Ibu nggak bilang Mas Haiden kurang dewasa, tapi rasanya Mas perlu belajar lagi tentang bagaimana cara menerima keadaan..."

"Memangnya Haiden kurang nerima apanya, Bu?" anak laki-lakinya memotong, "Haiden memang nggak sekuat Ibu, tapi Haiden kurang nerima yang bagian mana? Haiden diam aja saat dulu semua orang nyerang keluarga kita; saat para haters bilang harusnya Ayah ngakuin dosa kalau punya anak di luar nikah sama orang lain. Haiden juga nggak ngomong apapun ke publik saat orang itu dibawa Ayah ke konferensi pers-"

"Mas, cukup."

"Selama ini Haiden udah banyak diam. Haiden bukannya nggak mau punya adik! Bukan! Haiden hanya nggak suka cara dia masuk ke keluarga kita! Kenapa Nicky baru masuk saat Ayah mau kampanye periode kedua? Kenapa nggak dari dulu aja pas Ayah belum jadi apa-apa?"

"Mas, hentikan."

"Bu, orang itu memang anak Ayah. Tapi bukan berarti dia adikku, Bu! Apalagi sekarang pas anak haram itu udah datang ke keluarga kita, Ayah malah nendang Haiden keluar dari rumah buat nyingkirin Haiden!"

"Mas! Nicky bukan anak haram!"

"Memangnya apa namanya kalau bukan anak haram, Bu?"

"Aku bukan anak haram," sebuah suara lain menyahut dari kejauhan. "Aku juga nggak pernah ada pikiran buat bikin kamu ditendang."

Nyonya Adhikara memejamkan mata agar tangisnya tak terjatuh detik itu juga.

Nicky Dante Adhikara yang siang ini datang dengan sebuah buket bunga yang baru, memotong amarah kakak tirinya dengan gelagat yang begitu tenang dan terhormat.

"Bu, saya sudah coba cari anggrek bulan. Tapi maaf, kata tukang bunganya, yang itu baru datang minggu depan." Nicky meletakkan buketnya di samping bunga dalam vas yang masih segar dan baru, "Ini saya bawakan sedap malam. Yang lama ini biar saya bawa pulang dan siram di rumah, ya."

Brothers Complex | ENHYPEN ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang