Chapter 14: Tiramisu Cake

454 62 64
                                    

"Kenapa kamu di sini? Sengaja menguntitku? Atau jangan-jangan kamu punya simpanan di sini yang membuat kamu harus bolak-balik untuk menafkahi anakmu?"

"Sam," Jian yang masih terengah-engah, menumpahkan separuh dari isi botol airnya ke muka. "Kuajari cara untuk berterimakasih pada orang yang menyelamatkanmu—dan caranya bukan dengan menuduhku seperti itu. Kamu ingin tahu gimana caranya?"

"Enggak," Sam menyilangkan lengan. Saat ini mereka berada di balik sebuah dinding kumuh, berbau seperti kandang anjing yang tidak pernah dibersihkan satu abad, lengkap dengan debu-debu bertebaran.

Namun, ini adalah tempat paling aman yang—kata Jian—pernah digunakannya untuk kopdar dengan seorang cewek Kovalia, dua tahun lalu.

Bagi Sam, kencan buta di kandang anjing pasti hanya terpikirkan oleh pria yang tidak waras.

"Jadi kenapa kamu mengejarku ke antah berantah?" Sam tidak mengambil botol minum yang ditawarkan Jian. Takut ada peletnya. "Setelah bercanda soal ngajak kawin, sekarang kamu mengejarku seperti ini... Apa salah kalau aku curiga padamu?"

"Nggak salah," Jian menjawab cuek, "curiga aja. Biasanya kalau terlanjur sayang, bawaannya emang begitu. Curigaaa melulu."

"Oh, please. Sejak kapan aku sayang padamu? Aku saja kenal kamu juga karena terpaksa. Kalau saja kamu bukan kakaknya Elsa, mana mau aku menyimpan kontak WhatsApp-mu."

"Hm, Sam."

"Ha?"

"Kita seiman dan seamin 'kan?"

Sam mengerutkan kening. "So far iya. Kecuali kalau kamu diam-diam berubah jadi atheis."

"Oke, syarat pertama aman. Syarat kedua, bapakmu yang pegawai kecamatan itu tidak memaksa harus punya mantu PNS 'kan?"

"Hah?"

"Jadi gini, kalau memang harus daftar CPNS karena tuntutan mertua dan demi kebahagiaan istri, aku akan melakukannya. Tapi kita sedang membicarakan situasi saat ini. Apa akan jadi masalah kalau aku buka bisnis sendiri?"

Sumpah, ini orang makin lama makin ngelantur omongannya.

"Nggak masalah, sih," Sam mengangkat bahu. "Yang penting dinafkahi. Yang penting setelah menikah, kamu nggak posting gambar sayur dan ikan tongkol dengan tulisan '20 Ribu di Tangan Istri yang Tepat'."

"Tidaklah, malu aku kasih 20 ribu. Minimal kasihnya 20 ribu dolar," Jian menatap Sam yang sekarang duduk berjongkok di sampingnya.

"Bentar, giliran aku yang nanya."

"Apa?"

"Kamu bakal poligami, nggak?"

Kali ini Jian yang melongo. "Poliklinik," dia menyahut asal-asalan. "Udah ngomong yang realistis aja. Syarat ketiga, kalau kuminta kamu jangan jadi Aris di film 'Ipar Adalah Maut', apa kamu mau melakukannya?"

"Aris siapa?" Sam mengerutkan kening.

Jujur, dia tidak menonton Aris.

Belakangan dia cuma menonton Sunjae.

"Aris yang selingkuh di Layangan Putus?"

"Sopo kuwi?" Seperti biasa, Jian selalu membuatnya bertempur dengan berbagai bahasa. "Intinya, bisa nggak kalau sudah nikah, jangan pakai handuk doang di depan Bang Raja?"

"Hah?" Sam benar-benar lost in translation, "Ngapain aku pakai handuk di depan dia?"

"Nggak bakal 'kan? Please. Itu mengundang syahwat."

"Ya enggaklah, anjir! Gila aja! Aku kalau ganti baju langsung di kamar mandi kali!"

"Mantap. Syarat terakhir, bisa nggak, sesibuk apapun kamu nanti—entah sibuk kerja, sibuk masak, sibuk liputan, sibuk menyusui, apapun itu—kamu tetap mau quality time setengah jam sama aku. Ngobrol saja setiap hari. Aku mau tahu semua yang kamu rasain di hari itu. Apa yang bikin hari kamu senang, apa yang bikin hari kamu sedih. Apa yang bikin kamu makin sayang sama aku, dan apa yang bikin kamu kesel sama aku. Bisa?"

Brothers Complex | ENHYPEN ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang