Mencari donor ginjal

261 23 2
                                    

Adeeva mendapat kabar Biru jatuh pingsan, ketika dia sedang menonton pertandingan basket di sekolahnya, hingga membuatnya menjadi panik, meski pihak sekolah telah membawa Biru ke rumah sakit tapi hati Adeeva kembali diserang keresahan luar biasa.

Ini baru seminggu sejak Biru hemodialisa waktu itu, tapi dia sudah pingsan dan masuk rumah sakit lagi, Adeeva merasa separuh dari dirinya terenggut paksa.

Adrian sedang melakukan pemeriksaan dan Biru sudah mendapat pertolongan pertama, dan tampaknya dia pun telah sadar, tapi Adeeva masih belum mendapatkan kabar mengenai putranya.

Adeeva merasa sangat gelisah, hingga Adrian keluar dari ruang gawat darurat, lalu mengajak Adeeva berbicara 4 mata.

"Bersiaplah untuk skenario yang terburuk," desis Adrian.

"Tidak! Jangan katakan hal itu, aku mohon!" pinta Adeeva dengan airmata berlinang.

"Diva, Biru harus segera melakukan hemodialisa lagi."

"Tapi baru seminggu yang lalu dia hemodialisa, bukankah seharusnya masih minggu depan dia hemodialisa lagi?"

"Kurasa kau sudah tahu akan hal ini, berapa kali Biru telah melakukan hemodialisa selama 6 tahun ini, huh?"

Adeeva memang tahu, semakin buruk kondisi ginjal Biru, bukan hanya sebulan sekali, dua minggu sekali, bahkan mungkin saja dia harus hemodialisa seminggu sekali atau lebih parah lagi seminggu dua kali.

"Tapi dia.... tapi dia....." Tubuh Adeeva bergetar dan bibirnya pun terasa kelu, dia tidak tahu sebenarnya akan mengatakan apa.

"Biru juga harus mendapatkan transfusi darah lagi, carilah pendonor lain, aku tidak bisa mendonorkan darahku padanya karena minggu lalu aku sudah melakukannya."

"Pendonor darah lain?"

Ketika sedang panik tiba-tiba saja Adeeva merasa blank, saat harus memikirkan siapakah pendonor darah yang bisa memberikan darahnya untuk Biru?

"Kalau Biru butuh darah, biar Papa yang mendonorkannya, Ad, Papa pendonor rutin."

Mendengar sebuah suara yang terasa familiar di telinganya, Adeeva sontak menoleh, pria paruh baya yang wajahnya Adeeva kenali 12 tahun lalu sebagai Ayah Adrian berdiri di pintu.

"Selamat pagi, Adeeva, apa kabar?"

Adeeva sama sekali tidak menjawab sapaan ramah itu, melihat wajah pria tua ini membuat hatinya bergemuruh, karena mengingatkannya pada kejadian ketika pria ini datang melamar untuk anaknya.

"Kedatangan kami kesini untuk itikad baik, kami ingin melamar Nak Adeeva untuk menikah dengan Adrian." Masih terngiang kalimat itu di telinga Adeeva, kedatangan lelaki tua ini dengan 'itikad baik' nya lah yang membuat ketenangan Adeeva terusik kembali ketika itu.

Sementara Adeeva terkenang kembali akan lukanya di masa lalu, Adrian segera menyambut uluran tangan ayahnya, dia gembira karena ayahnya bersedia mendonorkan darah untuk putranya.

"Tidak perlu!" tukas Adeeva saat kesadaran kembali. "Anakku tidak butuh darah Anda," tolak Adeeva. "Biar aku sendiri yang mencarinya ke PMI."

"Di, kamu bicara apa, kalau kamu mencari dulu ke PMI, kau harus mengeluarkan uang."

"Sudah cukup darah kotormu merusak tubuh anakku, aku tidak mau lagi ada darah kotor lain dari keluargamu yang memasuki tubuh Biru, darah kotor seorang kriminal yang hanya bisa mengemis pengampunan dari wanita."

Astaga, apa yang ada dalam pikiran Adeeva, apa dia mengira darah yang minggu lalu ditransfusikan pada Biru merupakan murni darah Adrian?

Adrian memang mendonorkan darahnya, tapi hanya sebagai pengganti dari stok darah yang ada di rumah sakit, darah yang Adrian donorkan di PMI membutuhkan pemrosesan sebelum benar-benar diberikan pada pasien dan itu membutuhkan waktu yang lama, sekitar 6 jam lamanya.

Badai dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang