Part 10

3.3K 195 2
                                    

Donomie bangkit dari sofa. Dia memegang lengan dan pinggang Vincent, membantunya berdiri. Genggamannya kuat tapi lembut.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya sedikit khawatir.

Napas Vincent semakin berat saat kepalanya berdetum-detum hebat. Bulir-bulir keringat membasahi dahinya, dan tubuhnya memanas. Donomie memperhatikan perubahan tubuh Vincent. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di keningnya.

Matanya sedikit melebar saat merasakan panas yang menyengat di kulit Vincent. "Kau demam..."

Dia segera panik saat melihat Vincent mulai kehilangan kesadaran. Lengannya melingkari pinggangnya, menjaganya agar tak terjatuh ke lantai.

"Hei, Vincent! Sadarlah!" Dia memanggil namanya penuh kekhawatiran.

Perlahan-lahan dia meletakkan tangannya di bawah punggung dan lutut Vincent dengan hati-hati, lalu mengangkat tubuhnya dan membawanya ke tempat tidur.

Dia segera menyelimuti tubuh Vincent, lalu mengelus dengan lembut dan menepuk pipinya pelan, berharap agar dia terbangun. Donomie tampak sangat ketakutan ketika Vincent masih tak sadarkan diri. Dengan cepat dia mengambil teleponnya, segera menghubungi dokter pribadi.

Suaranya panik ketika dia berbicara dengan dokter di telepon, mencoba menjelaskan situasinya. Dia melirik ke arah Vincent saat menelepon, masih memperhatikan tubuhnya terbaring di kasur. Napas Vincent pendek-pendek, tampak kelelahan. Dahinya berkeringat akibat demam yang dideritanya.

Setelah memutus panggilan, dia segera menghampiri Vincent dan meletakkan tangannya di pipinya, membelainya dengan lembut sambil berharap agar dia baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian, dokter pribadinya datang. Donomie membawanya ke ruangan pribadinya, menunjukkan Vincent di tempat tidur. Saat dokter memeriksa kondisi Vincent, dia memeriksa suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan tanda-tanda vital lainnya. Donomie berdiri di dekatnya, memperhatikan tubuh Vincent yang diperiksa.

“Dia demam tinggi dan perlu banyak istirahat. Aku akan memberinya obat untuk meredakan demamnya. Dia akan membaik dalam beberapa hari," kata dokter sambil melihat tubuh Vincent yang tak sadarkan diri.

Dokter itu mengeluarkan beberapa botol obat dan meletakkannya di atas meja, memberikan obat pada Vincent saat Donomie menahan posisi tubuhnya. Setelahnya dia mengatur posisi bantal dan selimut agar membuatnya nyaman.

Setelah dokter itu pergi, Donomie memerhatikan Vincent sejenak sebelum akhirnya meninggalkan kamar dan menutup pintu dengan tenang. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu mengacak-acak rambutnya.

Dia cemas memikirkan kondisi Vincent saat berjalan menuju ruang kerjanya, terus memikirkan Vincent yang demam di kamarnya. Dia juga merasa bersalah, tahu jika dialah yang membuat Vincent melemah dan sakit.

Dia menepis pikirannya dan mencoba fokus pada urusan organisasi mafia dan melihat dokumen-dokumen perjanjian bisnis di mejanya. Namun pikirannya terus melayang ke Vincent dan penderitaan yang dialaminya.

Lamunannya buyar ketika telepon di kantor Donomie berdering, memecah kesunyian. Dia tersentak sedikit karena terkejut, lalu menghela napas dan menjawab panggilan.

"Ya, ada apa?" tanyanya gusar dan lelah karena masih mencemaskan kondisi Vincent. Dia bisa mendengar suara bawahannya di seberang sana terdengar serius.

"Beberapa markas kita diserang, bos. Banyak yang tewas dan ditangkap."

Donomie terbelalak mendengar kabar itu. Tubuhnya menegang saat mendengar jumlah korban. Jantungnya langsung berdebar-debar.

"Apa? Markas yang mana?" desaknya.

Bawahannya menyebutkan beberapa lokasi. Ekspresi Donomie menggelap saat mendengarnya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan diri, tapi emosinya malah meluap-luap.

"Kumpulkan informasi tentang penyerangan itu," perintahnya tegas, mencoba tetap tenang. Bawahannya pun menyetujuinya dan mengakhiri panggilan.

Donomie terdiam di kantornya, merasa marah dan kesal. Lima puluh orang tewas dan hampir seratus orang ditangkap. Itu kerugian besar untuk organisasinya, dan dia merasa gagal melindungi anggotanya.

***

Sudah beberapa jam setelah penyerangan terjadi. Donomie baru saja melakukan rapat dadakan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Kini dia kembali sendirian di kantornya, memilah-milah informasi yang telah dikumpulkan.

Tiba-tiba pintu terbuka dan bawahannya masuk dengan wajah serius. "Bos..."

Donomie mendongak. Tatapannya tajam saat melihat bawahannya. "Ya?"

Bawahannya terlihat ragu-ragu saat berkata, "Orang-orang yang menyerang markas kita akan segera menuju ke sini."

Donomie terkejut mendengarnya. Dia segera bangkit dari kursinya. Kukunya memutih saat dia mengepalkan tinjunya karena emosi.

"Orang gila mana yang berani menyerang markas utama?!" Suaranya dipenuhi kemarahan dan frustasi.

"Mereka berasal dari geng yang menyerang kita sebelumnya. Sepertinya mereka menginginkan sesuatu dari kita," jawab bawahannya.

Ekspresi Donomie semakin dingin begitu dia mendengar jawaban bawahannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia keluar dan menuju ke ruang tengah. Matanya menatap tajam ke kumpulan anak buahnya yang bersiap siaga di sana. Mereka semua lalu memakai perlengkapan seperti rompi anti peluru maupun senjata. Dia hendak bicara, tapi tiba-tiba ada seseorang di pintu masuk.

Orang itu adalah pria berbadan tegap yang mengenakan jas dan kacamata hitam. Wajahnya tanpa ekspresi saat berdiri di sana. Para komplotan dan anak buah Donomie menegang begitu mereka melihat pria berjas itu.

Leon Golding, ketua organisasi Red Tiger, berdiri di dekat pintu masuk. Seringai muncul di wajahnya saat dia melihat Donomie dan para anak buahnya.

"Akhirnya kita bertemu lagi, Donomie," katanya dengan nada mengejek.

Raut wajah Donomie gelap saat mendengar suara Leon. Tangannya mengepal lebih erat, terlihat marah sekaligus tak percaya. "Apa yang kau lakukan di sini?!"

Leon terkekeh pelan. Suara tawanya menggema di penjuru ruangan. Mata hijaunya yang dingin berkilat penuh kebencian dan keangkuhan. "Kau dan aku punya urusan yang belum selesai, Donomie. Aku takkan menyerah sampai mendapatkan apa yang kuinginkan."

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya dingin saat menatap Leon. Dia lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.

"Kau tahu apa yang kumau, Donomie. Aku jelas-jelas tak menginginkan markasmu yang menyedihkan," balas Leon meremehkan. Dia menyeringai lagi, mengambil beberapa langkah ke depan menuju Donomie dan anak buahnya. "Cukup serahkan Vincent Morris padaku."

***

Prey to the SnakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang