Donomie menghela napas lega ketika dokter akhirnya mengizinkan Vincent keluar rumah sakit. Itu artinya dia bisa memiliki waktu privasi dengannya. Dia tak mampu berhenti tersenyum saat melihat kekasihnya yang kini berusaha berjalan. "Apa kau ingin kugendong?"
Vincent segera menolak tawaran Donomie. Wajahnya begitu serius saat mencoba melangkah. "Tidak! A-aku bisa berjalan sendiri, jadi kau tak perlu..."
Donomie mendengus pelan begitu mendengar ucapan Vincent yang keras kepala. Dia lalu menggendongnya. "Kau bahkan hampir tak bisa jalan."
Vincent menggerutu pelan. Rona malu merayapi wajahnya, tapi dia tak protes begitu Donomie mengangkatnya ke dalam dekapannya. Dia memeluk Donomie sambil bersandar ke tubuhnya.
Donomie menggendong Vincent melewati koridor rumah sakit. Ekspresinya melembut saat menatapnya di pelukannya. "Tahan sebentar, oke?"
Seorang suster yang melihat mereka segera terkekeh dan menggoda Donomie. "Sampai jumpa lagi, Mr. Salvatore cengeng."
Telinga Donomie memerah karena malu ketika mendengarnya. Dia mengerang kecil sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak cengeng!" protesnya sambil menggendong Vincent dan menatap perawat itu dengan gusar.
"Maaf, tapi begitulah kenyataannya. Kau bayi raksasa yang cengeng," katanya lalu tersenyum kecil. "Tapi jangan khawatir, kau juga sangat perhatian dan penyayang. Aku yakin kekasihmu sangat menghargainya."
Mau tidak mau Vincent tertawa kecil. Dia menyentuh wajah Donomie dan membelainya dengan lembut, merasakan pipi lelaki itu menghangat. "Kau memang bayi raksasa yang cengeng, Donomie, dan, ya, aku menghargai perasaanmu."
Pipi Donomie semakin memanas karena sentuhan Vincent. Rasa malu, cinta, dan jengkel bercampur di dadanya. Dia sedikit menggelengkan kepala dan cemberut. Vincent dan perawat itu tak bisa menahan tawa melihat Donomie yang merajuk.
***
Donomie menggendong Vincent begitu mereka tiba di apartemennya sore itu. Setelah menutup pintu, dia meletakkan Vincent dengan lembut di sofa. Ekspresinya sedikit khawatir saat memeriksa luka-luka Vincent. "Kau baik-baik saja, 'kan?"
Vincent bersandar di sofa, sedikit meringis saat jari Donomie menyentuh perbannya. "Jangan cemas. Hanya sedikit sakit kok," katanya lalu menyentuh tangan Donomie. "Terima kasih sudah menjagaku..."
"Kau tak perlu berterima kasih padaku," balasnya lembut dan membelai rambut Vincent dengan penuh kasih sayang. "Sekarang, apa kau siap untuk melihat-lihat sekitar?"
"Tentu saja," kata Vincent lalu berdiri dan melangkah ragu-ragu, mencoba berjalan sendiri tanpa bantuan Donomie. Dengan segera Donomie melingkarkan lengan ke pinggang Vincent begitu melihatnya kesulitan berjalan.
"Kau tak kuizinkan berjalan sendiri sampai benar-benar sembuh," katanya lalu membungkuk untuk menggendong Vincent.
Vincent memekik saat merasakan Donomie mengangkatnya lagi ke dekapannya. Dia ingin protes, tapi akhirnya menyerah lalu bersandar ke dada Donomie dan melingkarkan lengan di lehernya. "Baiklah..."
Donomie hanya tersenyum melihat ekspresi kesal Vincent dan mengecup kepalanya. "Bagus. Jangan buat aku mengikatmu ke tempat tidur seperti dulu."
Wajah Vincent memerah mendengarnya, sedikit malu dan bergairah saat mengingat kenangan itu. Setelah beberapa langkah, Donomie membawanya ke ruangan gym pribadinya. "Keren sekali, 'kan?"
"Wah..." gumam Vincent. Matanya terbelalak saat melihat peralatan olahraga di ruangan itu dengan takjub. Dia menatap Donomie dengan kagum dan tak percaya. "Apakah kau memang memerlukan peralatan sebanyak ini?"
Donomie terkekeh pelan saat meletakkan Vincent di salah satu kursi. Dia meraih barbel dan memamerkan lengannya. "Coba lihat. Tak mungkin aku membentuk ototku dengan beberapa alat saja."
Vincent sedikit merona ketika melihat Donomie menunjukkan ototnya. Matanya menelusuri pembuluh darah yang menyembul di lengannya.
"Selain olahraga, aku juga suka berenang. Bagus untuk kardio," kata Donomie bangga, berharap Vincent terpukau padanya. Vincent mengangguk sedikit dan cukup terkesan saat mendengarnya, membuat Donomie senang dan berdebar-debar. Dia lalu menggendong Vincent ke kamar mandi.
"Ini kamar mandi yang pertama. Ada toilet, pancuran, bak mandi, wastafel, dan lain-lain." Donomie meletakkan Vincent di meja wastafel lalu menangkup wajahnya.
Vincent sedikit tersipu ketika merasakan tangan Donomie di pipinya. Jari-jarinya kini menelusuri rahangnya dengan lembut. "Kau punya dua kamar mandi?"
"Hm... ya," gumam Donomie pelan. Tatapannya tertuju pada tubuh Vincent dan mulai sedikit bergairah. Dia lalu mengangkat Vincent lagi dan membawanya ke ruang tengah. "Dan ini ruang tengah. Ada sofa, TV, yah, seperti yang bisa kau lihat."
Vincent melenguh pelan saat digendong lagi. Dia melihat ke sekeliling, lalu mereka pergi menuju dapur. Donomie lalu menurunkannya di meja makan. Dia berdiri di hadapan Vincent dan kembali mengusap wajahnya. "Kau baik-baik saja, 'kan?"
Erangan kecil keluar dari bibir Vincent saat jari Donomie bermain-main di rahangnya. Pipinya memerah begitu hawa di antara mereka agak panas dan intens. "Y-ya..."
"Sepertinya ada yang malu-malu, hmm?" goda Donomie, masih meraba-raba rahang Vincent dengan puas. Dia menarik dagunya dan berbisik, "Apa aku boleh menciummu, sayang?"
Vincent menghela napas kecil dan menggigit bibirnya. Wajahnya memerah saat mengangguk. Donomie tersenyum puas dan menempelkan bibirnya ke bibir Vincent. Dia mengerang lembut saat merasakan Vincent membalas ciumannya, lalu memasukkan lidah ke mulutnya sembari memperdalam ciumannya.
Vincent mendesah pelan saat merasakan lidah Donomie. Tubuhnya sedikit gemetar saat ciuman itu berlanjut. Kepalanya pusing karena sensasi ciuman yang intens serta sentuhan Donomie di wajahnya. Dia kini mulai terengah-engah.
Tangan Donomie menangkup wajah Vincent sambil terus berciuman. Dia lalu membawanya ke dalam pelukannya dan menuju kamar tidur. Lidahnya terus menjelajahi mulut Vincent dengan napas memburu, sebelum akhirnya membaringkan Vincent ke tempat tidur dengan lembut dan melepas ciumannya.
Kepala Vincent sedikit berputar karena gerakan tiba-tiba itu. Dia merasakan dirinya berbaring di tempat tidur sambil tersenggal-senggal dan gemetar. "J-jadi... apa turnya sudah selesai?"
Ekspresi Donomie sedikit puas dan geli saat melihat Vincent yang tampak begitu merona. Matanya menelusuri tubuh Vincent yang terbaring di kasur dan mulai sedikit terangsang. "Belum. Sekarang kita ke bagian terbaiknya."
***
Jika kamu menikmati ceritanya, jangan lupa untuk memberi vote.
Seperti biasa kritik, saran, atau pertanyaan bisa ditulis di kolom komentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prey to the Snake
ActionVincent dulunya bos mafia yang disegani. Namun hidupnya hancur semenjak Donomie, kaki tangannya, mengkhianatinya dan menjadikannya 'peliharaan'. *** Vincent Morris merupakan mantan bos mafia sebelum akhirnya dikhianati oleh orang kepercayaannya, Don...