12. Kelas Tingkat 3

24 9 0
                                    

***

Para murid kelas tingkat 1 duduk kebosanan di atas puncak gunung Megalith Peak. Pasalnya sudah sebulan ini mereka rutin berdiam diri berjam-jam lamanya untuk latihan aneh ini. Bahkan para senior saja sudah kebal dengan suhu ekstrem puncak gunung ini. Pantas saja saat hari pertama mereka berlatih, para senior tidak terlihat kedinginan sama sekali.

"Eh, kau merasa tidak? Sudah satu bulan kita berada di sini, tapi tidak bertemu dengan Rubah Pedang Langit. Rubah itu masih hidup bukan?"

"Ah, kau ada benarnya juga! Aku tidak melihat Rubah itu berkeliaran di gunung ini, apakah Rubah itu berpindah tempat?"

"Tidak mungkin rubah itu berpindah tempat, Pedang Langit itu membuat tubuhnya melemah."

"Atau jangan-jangan sudah ada penyihir yang berhasil menarik lepas pedang itu dari tubuhnya?"

Saat semua murid sibuk membicarakan Rubah Pedang Langit, Erand dan Glynrie hanya bisa saling menyenggol lengan mendengarnya. Erand mengapit lubang hidungnya, menahan tawa yang sudah siap lepas melihat wajah panik Glynrie.

"Tapi, Glyn. Aku yakin kalau semua murid tahu kau sudah berhasil mencabut Pedang Langit, mereka pasti akan berusaha merebut pedang itu, walaupun harus membunuhmu."

Sialan. Tahu akan seperti itu, Glynrie tidak akan menarik lepas Pedang Langit dari tubuh Liv. Gadis itu mengutuk tindakannya terus menerus. Sudah hampir sebulan dia diam saja tentang Pedang Langit. Ia takut apa yang dibicarakan oleh Erand menjadi kenyataan.

"Hei, Singa sombong! Kau kan sering patroli malam, apakah kau melihat rubah itu lewat di sekitar penginapan?"

"Nah benar sekali! Atau jangan-jangan kau sudah berhasil mencabut Pedang Langit?"

Erand tak tahan untuk tertawa. Laki-laki itu melepas apitan pada lubang hidungnya, berusaha mempertahankan ekspresi datar sambil menjawab, "Aku belum melihat lagi rubah itu, saat malam pun rubah itu tidak pernah muncul."

"Coba kau tanya Glynrie, gadis ini juga sering sekali begadang hingga larut malam. Siapa tahu dia pernah melihat rubah itu."

Glynrie melotot menatap Erand. Laki-laki itu memang minta dipukul. Melihat wajah datar tak bersalah milik Erand, sudah berhasil menyulut kekesalan Glynrie. Glynrie kemudian menatap semua murid yang menatapnya, kemudian tersenyum kecut, "Aku tidak pernah melihat rubah itu. Bahkan wujud rubahnya saja aku tidak tahu."

"Rubah merah yang di perutnya melintang pedang. Gagang pedangnya berwarna biru dan merah, apakah kau melihatnya?"

Gila, bahkan mereka tahu warna gagangnya!

"Eum aku tidak pernah melihat rubah seperti yang kau sebutkan." Walau mukanya terlihat meyakinkan, dalam hatinya berdebar tak karuan. Keringat dingin keluar di kening dan sekitar punggung Glynrie. Gadis itu takut ketahuan berbohong.

Erand di sampingnya tak kuat lagi menahan tawa. Kepalanya menunduk, menyembunyikan bibirnya yang sudah tersenyum lebar. Pundaknya sedikit bergetar menahan tawa karena Glynrie yang tegang sekali di sampingnya.

"Oh! Ya sudah kalau begitu!"

Glynrie langsung menghela napas lega. Tangan kirinya mencubit keras paha Erand, membuat laki-laki itu berdiri menjauh dari Glynrie. Nampaknya gadis itu menaruh dendam pada Erand, karena Glynrie mengikuti Erand dengan sorot muka tak senang.

"Semua murid kelas tingkat satu yang berada di puncak gunung, saya tunggu di penginapan dalam waktu lima belas menit."

Lantas semua murid berlari turun setelah mendengar perintah mutlak dari Tera. Dalam lima belas menit, jika ada satu saja yang telat, maka hukuman akan dijalankan oleh seluruh anggota kelas tanpa terkecuali. Maka dari itu, mereka berusaha sebaik mungkin menjalankan perintah mutlak yang Tera berikan.

Pedang CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang