***
"Aku tidak tahu bahwa menatap langit malam hari di gunung seperti ini jauh lebih indah."
Erand yang sedang menatap langit di atap rumah langsung keheranan melihat Glynrie yang menyusulnya ke atap. "Kau, bagaimana bisa kau ke sini? Bukankah penyihir belum bisa melompat tinggi saat masih di tingkat satu?"
"Aku pakai tangga," ucap Glynrie sambil menunjuk tangga yang ia pakai untuk ke atas. Erand semakin keheranan mendengarnya. Seorang perempuan naik ke atap dengan memanjat tangga. Sepertinya, rok hanya hiasan di tubuh Glynrie. "Aku sering memanjat tangga, tidak perlu heran seperti itu!"
"Aku bahkan memanjat pohon mangga untuk mengambil buahnya," gumam Glynrie yang masih bisa didengar oleh Erand. Erand hanya bisa menggelengkan kepala mendengar kelakuan Glynrie. Namun laki-laki itu tersenyum beberapa detik setelahnya. Ia yakin, Glynrie kecil pasti sangat nakal. Kasihan orang tuanya mengasuh gadis nakal seperti Glynrie.
Orang tua? Apakah dia punya orang tua? Apakah orang tuanya manusia?
"Mengapa? Ada yang ingin kau katakan padaku?" tanya Glynrie saat gadis itu menyadari bahwa Erand menatapnya serius. Erand tersenyum lantas menggeleng pelan, memutuskan untuk tidak bertanya pertanyaan yang mungkin saja sensitif untuk Glynrie.
"Terima kasih!"
"Untuk apa?"
"Kau bersedia memeluk tubuhku tadi," Glynrie mengucapkannya dengan nada pelan malu-malu. Pipinya sedikit memerah, tapi masih bisa ia kendalikan. Sedangkan Erand hanya tersenyum melihat Glynrie yang malu-malu seperti itu.
"Sudah lupakan, kalau kau tidak memaksaku, aku juga tidak mau memelukmu sambil menggendong tubuhmu, berat."
"APA?!" teriak Glynrie. Tangannya memukul beruntun tubuh Erand, tapi Erand hanya tertawa pelan menerima pukulan yang tidak terasa apa pun di tubuhnya. Erand mencekal kedua tangan Glynrie, membuat gadis itu tidak bisa memukulinya lagi. "Sudah cukup, nanti teman-teman yang lain terbangun."
Glynrie menarik tangannya paksa, lalu menjulurkan lidahnya ke arah Erand. Laki-laki itu kembali tertawa melihat tingkah konyol Glynrie. Keduanya lantas saling terdiam, menatap langit malam yang dihiasi aurora yang sangat indah. Suatu keberuntungan untuk Glynrie, karena di kota Scylerion, jangankan untuk melihat aurora, untuk melihat bintang saja hanya bisa dilakukan di hutan dan padang bunga. Glynrie tidak segila itu untuk menantang maut malam-malam di tengah hutan.
Dalam ketenangan malam yang gelap, mereka berdua dikejutkan oleh suara gesekan dari balik semak-semak. Mereka berdua saling melempar tatapan, lalu mengambil posisi waspada. Glynrie sudah siap dengan belatinya, sedangkan Erand bersiap melawan dengan tangan kosong. Ya, pasalnya Erand bisa menyerang dengan sihir.
Saat sosok yang membuat suara itu keluar dari semak-semak, hati Glynrie luluh melihatnya. Tangannya menyimpan kembali belati itu di balik lengan baju. Hal yang sama juga dilakukan Erand. Laki-laki itu langsung kembali ke posisi normal, melihat sosok hewan di depan mereka.
"Rubah Pedang Langit."
"Apa itu?" tanya Glynrie. Tapi lagi dan lagi Glynrie dibuat kesal dengan jawaban senyum yang Erand berikan padanya. Rubah itu perlahan berjalan, mendekati mereka berdua. Rubah itu dengan mudah naik ke atap, lalu kembali berjalan mendekati Glynrie.
"Dia, dia mendekatiku! Erand, bagaimana ini?" ucap panik gadis itu. Posisi duduknya perlahan merapat ke samping Erand, membuat laki-laki itu tertawa pelan. "Sudah, rubah itu tidak berbahaya!"
"Benarkah?"
"Iya."
"Awas saja kalau kau berbohong! Aku akan menarik keluar pedang dari tubuh rubah itu, lalu menghunuskannya ke dadamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Cahaya
FantasíaNamanya Glynrie, seorang penyihir perempuan yang tinggal dan besar di sebuah keluarga manusia biasa. Saat berumur 17 tahun, gadis itu memutuskan untuk pergi ke akademi Drainsyl, sebuah akademi sihir terbesar yang ada di kota Xenopia untuk mencari ke...