Prolog

244 46 6
                                    

***

Napas wanita itu berhembus cepat. Larinya semakin cepat saat mendengar ribuan langkah kaki mendekati dirinya. Kakinya, wajahnya, tangannya, semua terluka. Tapi langkahnya tak pernah berhenti barang sedetik saja. Setidaknya ia harus sampai terlebih dahulu di rumah yang akan dia tuju. Demi anaknya.

Srek

Wanita itu mendesis saat kakinya tergores dahan pohon yang patah. Ia memaksakan kakinya terus melangkah walau rasanya perih. Langkahnya semakin cepat saat melihat atap rumah yang ia tuju. Melalui pintu depan, wanita itu menekan bel berkali-kali, berharap sang tuan rumah cepat membukakan pintu untuknya.

"Iya, sebentar! Siapa sih yang bertamu malam-malam seperti ini? Tidak tahu waktu."

Kret

Wanita itu langsung masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu itu dengan cepat. Ia mendorong tuan rumah untuk menjauhi pintu depan, lalu memberikan bayi itu pada tuan rumah.

"Araumi? Ada apa? Mengapa wajahmu, tanganmu, dan kakimu berlumuran darah? Kau baik-baik saja?"

"Mira, dengarkan aku baik-baik, aku sudah tidak ada waktu lagi. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya, jika aku memintamu menjadi ibu sambung anakku, apakah kau setuju?"

Mira terdiam. Apa maksud sahabatnya itu? Mengapa dia bertanya seperti itu?

"Apa maksudmu Araumi? Apakah kau diancam seseorang? Apakah ada yang berniat jahat kepadamu?"

"Jawab aku Mira! Aku butuh jawabanmu!" tegas Araumi. Mira terdiam lagi. Matanya menatap wajah bayi yang sekarang berada di dalam gendongannya. Wajahnya cantik sekali, mirip dengan sahabatnya.

"Kalau kau yang meminta, aku tidak bisa menolak Ra." Araumi bernapas lega. Kedua tangannya lalu memegang erat pundak Mira, menatap tajam ke arah sahabatnya itu.

"Mira, aku sedang jadi incaran seseorang, yang pasti aku tidak bisa memberi tahumu siapa dia, aku tidak ingin dia menyakitimu. Yang jelas, aku titip anakku padamu, besarkan dia seperti kau membesarkan Leo, sayangi dia seperti kau menyayangi Leo, itu sudah cukup bagiku. Tapi ingat, saat ada yang bertanya anak siapa ini, kau tidak boleh menyebut namaku dan nama suamiku. Karena anakku, juga diincar."

Mira menutup mulutnya, terkejut mendengarnya. Siapa yang cukup jahat mengincar anak sekecil ini? Anak yang bahkan belum bisa lepas dari ASI.

"Kau tidak boleh menyebutkan jika dia anakku dan Morgan, bahkan pada orang terdekatmu."

"Bahkan pada suamiku?" tanya Mira. Araumi lekas mengangguk. Mira lalu mengangguk paham dengan apa yang Araumi katakan. Araumi menjauh dari Mira, lalu menatap lama wajah anaknya. Entah untuk berapa lama lagi ia akan kembali menatap wajah cantik anaknya, atau bahkan tidak sama sekali.

Araumi menangis, menatap Mira yang juga menangis. "Mira aku titipkan Glynrie padamu ya? Anggap dia seperti anakmu sendiri. Aku harus pergi, aku tidak mau membahayakan dirimu dan anakku."

Araumi berjalan cepat menuju pintu rumah Mira. Sebelum tangan Araumi berhasil membuka pintu rumahnya, Mira menahan tangan Araumi. "Apakah kau tidak bisa tinggal saja di sini? Di kota ini? Setidaknya kau bisa bersembunyi jika berada di sini."

Air mata Araumi semakin deras mengalir mendengar itu. Ingin sekali Araumi tinggal dan bersembunyi di kota itu bersama anaknya, tapi ia tidak bisa membahayakan hidup berharga anaknya. Anaknya harus hidup. Harus bisa bersenang-senang juga seperti anak-anak pada umumnya.

Araumi menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Dengan punggung bergetar, ia membuka pintu rumah Mira, keluar lalu menutupnya kembali, berjalan menjauh dari rumah itu. Saat mendengar suara anaknya menangis, langkahnya semakin memberat. Tidak mau berlama-lama dan membuat hatinya semakin sakit, ia kemudian berlari, masuk ke dalam hutan.

"Mira? Anak siapa yang menangis malam-malam seperti ini?"

Mira terkejut mendengar suara Johvis, suaminya. Suaminya pasti terbangun saat Glynrie menangisi Araumi. Mira berbalik, dengan mata merah. Johvis terkejut melihat mata Mira memerah. "Kau menangis?"

Mira mengangguk. Ia memperlihatkan Glynrie yang masih menangis kencang di gendongannya. "Lihat, ada orang jahat yang tega membuang anaknya di depan rumah kita. Aku tidak tega melihat bayi sekecil ini dibuang oleh orang tuanya."

Johvis menatap bayi perempuan itu, lalu meraihnya dari gendongan Mira. Tangannya menepuk pelan pantat bayi itu, berusaha menenangkan Glynrie agar tidak menangis lagi. Mira tersenyum melihatnya.

"Suamiku, apakah bisa kita mengadopsinya? Aku merasa kasihan pada bayi ini. Kalau kita titipkan di panti asuhan, belum tentu dia terurus dengan baik."

Johvis menatap ragu istrinya. Leo bahkan belum genap 2 tahun, apakah mereka sanggup merawat bayi itu? Tapi melihat mata sayu istrinya, mana mungkin Johvis bisa menolaknya. "Baiklah. Kita bicarakan lagi besok ya. Sekarang kita tidurkan dia dulu."

Mira tersenyum manis mendengarnya. Araumi, aku akan menjaga Glynrie seperti anakku sendiri, dan aku berharap, kau selamat Araumi, aku tahu kau wanita yang hebat.

***

Ini akhirnya aku upload karena di tiktok banyak yang minta aku bikin wattpad tentang Jeongwoo serigala. Jeongwoo bakalan muncul antara bab 2 atau 3, jadi sabar sampai aku upload bab selanjutnya ya, untuk hari ini mungkin cuma up prolog dulu, kalau ada kemungkinan akan up bab 1 juga.

Jangan lupa vote ya guys, dan aku juga buka kritikan😙😙 bisa kasih kritik di komen atau dm💙💙

*maafin cerita sebelah yang gak kelar-kelar, karena aku sudah buntu dengan ceritanya. Nanti kalau udah ada ide lagi, bismillah aku lanjutin🙏😔

Pedang CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang