3. Hari Keberangkatan

142 35 4
                                        

***

"Akademi ini sangat gila!"

"Ada apa memang dengan akademi itu?" tanya Glynrie yang sedang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas. Besok, adalah hari keberangkatan dirinya menuju kota Xenopia, kota yang menyimpan rahasia besar kehidupannya.

"Kau tahu, pengamanan akademi itu sungguh luar biasa. Kamarmu, hanya bisa dibuka olehmu, benar-benar olehmu. Pintunya mengidentifikasi orang yang masuk berdasarkan sidik jari, wajah, dan tipe sihir. Benar-benar lebih ketat dari kota ini."

Glynrie terdiam sejenak. "Tapi ... bisa saja kan dindingnya dihancurkan dengan sihir orang lain, belum seratus persen aman."

Shinae berkedip dua kali. "Benar juga katamu."

"Lagi pula, aku akan mendapatkan kamar sendiri jika aku sudah mencapai tingkat tiga."

"Bisa saja kau sudah mencapai tingkat tiga sekarang." Glynrie berhenti memasukkan bajunya ke dalam tas. Gadis itu perlahan mendekati Shinae yang sedang duduk di atas ranjangnya sambil memangku laptop. "Dengan kekuatanku yang sebatas mengendalikan air dan angin ini? Astaga, lupakan saja!"

Shinae terkekeh pelan. Glynrie kembali memasukkan barang-barang yang ia perlukan besok. Besok pagi, dia akan pergi ke Xenopia bersama penyihir-penyihir lain yang bernasib sama dengannya.

"Tapi, Shinae! Kalau kamar murid saja dibuat seaman itu, bagaimana dengan ruang para petinggi akademi. Apakah aku akan sanggup mencari pembunuh Ayahku?"

"Kau ini sebenarnya mendaftar ke akademi itu untuk apa, hah? Untuk mencari ibumu sambil meningkatkan kekuatanmu, kan? Saat kekuatanmu sudah di atas rata-rata, kau pun bisa meratakan akademi itu kalau kau mau!"

Glynrie berlari mendekat pada Shinae. Duduknya dirapatkan dengan matanya yang antusias menatap laptop Shinae. "Kau kan penggali informasi terbaik Shinae! Apa kau tidak menemukan sedikit kelebihan tentang penyihir yang menguasai lebih dari satu elemen?"

"Ada."

"Apa? Apa?!"

"Kau bisa membalikkan serangan musuhmu."

"Bagaimana caranya? Hmm! Tolong jelaskan padaku!"

Shinae hanya dapat menghela napas dan mengalah dengan anak itu. Kalau tidak, tidurnya tidak akan tenang malam ini. "Saat seorang penyihir menjabat tanganmu, lalu mereka menyalurkan jurus mereka, tanpa kau latih, tubuhmu akan membalikkan jurus atau serangan dari penyihir itu."

"Lalu mengapa aku harus membalas jabat tangan itu? Aku cukup tidak menjabat tangan itu, bukankah selesai?"

Shinae memejamkan matanya, menggigit bibir dalam, berusaha tidak menggigit penyihir bodoh yang ada di sampingnya ini. "Itu etika berkenalan dengan seseorang yang menguasai ilmu sihir, Glynrie Sayang! Kalau kau tidak menjabat balik tangan itu, bukannya selamat kau bisa mati begitu saja di situ."

"Mengapa mati?"

"KARENA DIA AKAN MENYERANGMU JUGA SAAT ITU, GLYNRIE BODOH!"

Glynrie tersenyum canggung sesaat setelah Shinae berteriak di depan mukanya langsung. Glynrie bangkit dari duduknya, lalu kembali merapikan barang bawaannya besok. Sesaat kemudian, Glynrie baru teringat sesuatu.

"Kau sudah tahu mengenai itu, mengapa tidak memberi tahu dan malah memilih diam?"

"Jujur saja, aku tidak ingin kau ke sana, di sana sangat berbahaya Glyn. Jika satu saja penyihir tahu tentang identitas dirimu, maka semua langsung tersebar dengan cepat, bahkan lebih cepat dari kota ini."

Glynrie tersenyum simpul. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku kawan. Tapi aku harus tetap ke sana Shinae, demi ibuku."

Shinae mengangguk paham. Glynrie bangkit, mengajak Shinae untuk berdiri. "Ayo, waktunya makan malam."

Pedang CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang