28 || Mengaku

9.8K 1.5K 709
                                    

Aku up lagi kalo udah 1K vote yaa
.

Setelah sholat Isya di masjid, tiga putra Pak Brata berjalan bersama menuju rumah mereka yang tidak terlalu jauh dari masjid. Suasana malam begitu tenang, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar seiring langit yang semakin gelap.

Saka yang berada di tengah, masih terlihat berlilit sarung. Kopiah dimainkan di tangannya dengan ringan, sesekali disentuhnya untuk memastikan posisinya tetap pas. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, seolah tak terbebani dengan apa pun di dunia ini. Pemuda itu sepertinya juga lupa tentang siapa orang yang terbaring lemas di rumah sakit selama beberapa hari kemarin.

Di samping kanannya, Naka, Anak paling warasnya pak Brata—warasnya 2% di atas Saka, berjalan dengan langkah yang lebih tenang. Sarungnya sudah terlipat rapi dan terlampir di bahunya. Wajahnya menunjukkan keseriusan yang tersembunyi di balik ekspresi damai.

Sementara di sisi kiri Saka, Raka terlihat agak asal dalam penampilannya. Sarungnya menggantung secara longgar di lehernya, terlihat seperti aksesoris yang dipakai begitu saja. Kopiahnya pun tak jelas posisinya di kepalanya, terkadang terlihat miring ke belakang karena angin malam yang mendorongnya.

Saka sesekali menengok ke belakang, berharap melihat Bapak sudah berjalan di belakang mereka. Namun, yang ia temukan hanyalah ruang kosong di sepanjang jalan yang tenang. Ia menduga bahwa Bapak masih terjebak dalam percakapannya dengan Ustaz Galih.

"Bapak nih kalo udah ketemu Ustaz Galih kenapa selalu lama ngobrolnya?" keluh Saka, suaranya agak terdengar penuh tekanan.

"Sekalian konsultasi Mas, punya anak pertama modelan setan itu gak gampang bimbingnya," jawab Naka dengan santainya.

"Ngatain Mas lo? Naka minta Mas ketekin? Sini lo!" Saka berusaha meraih kepala Naka. Namun, dengan gesit, Naka segera menghindar. Mereka mulai bermain kucing-kucingan di tengah jalan diiringi suara Naka yang memohon agak Saka tidak mengejarnya.

"Mas, gue bercanda, gue gak mau diketekin! Gue aduin Bapak loh!" seru Naka.

"Gak bisa dimaafkan! Lo ngatain Mas setan, Na. Sekarang liat apa yang bakal setan ini lakuin sama lo!"

"Kalo gitu coba tangkep gue kalo bisa!" Naka malah menantang seraya berlari masuk ke dalam rumah.

Saka sempat berhenti hanya untuk melepas sarung dan dengan entengnya melempar benda itu pada Raka. "Dek nitip! Mas harus ngejar buronan!"

Raka yang berada di belakang mereka menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya berat. "Di saat kayak gini, gue ngerasa lebih layak jadi kakak mereka. Beneran, kayaknya gue paling dewasa sekarang," gumam Raka sendiri sambil memandang dua kakaknya yang asik bermain dan tertawa seperti anak-anak.

"MAS SAKA JANGAN BANYAK TINGKAH DULU! LO BARU SEMBUH MAS!" teriak Raka seraya berlari kecil, menyusul kedua kakaknya masuk ke dalam rumah.

🤍🤍🤍

Saka, Naka, dan Raka bersama-sama menyerbu gazebo di belakang rumah setelah puas bermain kejar-kejaran. Mereka duduk di sekitar meja kayu, di mana berbagai cemilan tersaji untuk dinikmati. Kuaci berada dalam mangkuk kecil di tengah meja, di sampingnya terdapat potongan-potongan buah semangka dan beberapa salak, serta gorengan yang Naka beli di depan gang.

Sambil menikmati kuacinya, Saka dengan santainya mencicitkan pertanyaan. "Terakhir kita nongkrong bareng kek gini kapan ya?" ujarnya sambil memandang kedua adiknya bergantian. Pemuda itu terlihat duduk dengan posisi paling santai, satu kakinya bahkan naik ke atas kursi.

Naka mengingat-ingat di tengah kesibukannya mengupas buah salak. "Pas bakar-bakar di sini? Pas ada Bang Ren sama Bang Pram. Kayaknya itu deh yang terakhir."

Geng Bratadikara (MASA PRE-ORDER) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang