#4

32 12 1
                                    

"Di dalam hidupku, baru kali ini seseorang senang ingin berteman baik dengan ku. Ia tidak peduli tentang keadaan ku yang selalu di bully oleh teman sekelasku. Bahkan ia rela terluka hanya demi menyelamatkan ku," -Vio-

"Akkhhh..." desis Aneska kesakitan saat Vio membersihkan luka di tangannya. Vio menundukkan kepalanya karena merasa bersalah dan memperlembut pergerakannya.

"Ma-maafkan, aku! Harusnya... kau tidak perlu menolongku sampai sejauh ini, aku hanya membuat mu terluka, Aneska," lirih Vio sambil membuang kapas bekas membersihkan luka Aneska.

"Buat apa lo minta maaf? Toh, ini juga bukan salah lo! Harusnya si ketua kelas kita, noh yang minta maaf sama gue!" ujar Aneska sambil mengepalkan tangannya, lupa bahwa tangannya terluka.

"Eh, tangan mu-"

"Ishhhhh... duh, sakitnya!" ucap Aneska membuka tangannya dan darah segar kembali membasahi tangannya.

"Kan... berdarah lagi!" ujar Vio dan mengambil kapas lagi untuk membersihkan darah Aneska. Sedangkan Aneska hanya menyengir dan menahan pedih di tangannya itu.

"Lukanya lumayan dalam, jadi kemungkinan untuk sembuhnya akan lama," jelas Vio fokus memebersihkan luka Aneska, lalu ia pun memberikan obat merah, lalu ia tutup luka nya dengan perban. Vio tersenyum melihat hasil pekerjaannya yang akurat tanpa ada kesalahan yang ia buat.

"Gue nggak nyangka ternyata lo bisa senyum setulus itu," ujar Aneska turut tersenyum hanya karena melihat Vio tersenyum. Vio pun menundukkan wajahnya dan bergumam kata 'maaf'membuat Aneska bingung mendengarnya.

"Apa sih? Jangan sering-sering bilang minta maaf yang bahkan itu bukan kesalahan dari lo sendiri, ya!" ingat Aneska membuat Vio terdiam mendengarnya. Lalu Aneska bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar UKS. Saat hendak membuka pintu, Aneska menyadari Vio yang masih diam di tempatnya.

"Ngapain bengong disitu? Yuk, ke kelas!" ajak Aneska membuat Vio tersadar dalam lamunannya. Gadis itu pun berjalan mendekati Aneska, dan keduanya pun berjalan bersama menuju kelas.

>-----------------------------------------------<

Bel pulang pun berbunyi. "Baiklah, sampai disini ada yang mau ditanyakan?" tanya bu Rena, selaku guru mata pelajaran sejarah wajib. Semua siswa serempak menjawab 'tidak'. "Baiklah, kalau begitu silahkan kerjakan soal-soal bab 2 yang ada di buku LKS, ya! Minggu depan kita bahas bersama! Paham semua? Kalau gitu ibu tutup pelajaran hari ini!" ucap bu Rena, lalu beliau keluar dari kelas XII IPA 3. Kelas menjadi heboh karena bersiap-sia untuk pulang.

"Haaaahhh... akhirnya pulang juga!" ucap Aneska sambil meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia menatap Vio yang asik melamun menatap langit dari jendela kelas. Sebuah ide terlintas di pikiran Aneska dan gadis itu tersenyum licik.

"BAAAA!!!!"

"KYAAAAA!!!" teriak Vio. Aneska tertawa lepas melihat reaksi Vio yang terkejut akibat ulahnya. Vio pun menyipitkan matanya dan menggembungkan pipinya menandakan dirinya cemberut dan kesal dengan kelakuan Aneska barusan. Teman sekelasnya hanya melirik kelakuan kedua gadis itu dengan malas.

"Dih, apa serunya?"

"Nggak ada lucu-lucunya padahal!"

"Aneh!"

Itulah komentar-komentar negative dari teman sekelasnya. Aneska menghentikan tawanya dan menatap dingin kepada teman yang lainnya.

"Kalau nggak suka, pulang aja sana! Nggak usah urusin hidup orang!" ujar Aneska dingin membuat orang-orang yang membicarakannya terdiam dan memilih keluar dari kelasnya. Kini suasana kelas begitu sepi dan hanya menyisakan Aneska dan Vio yang asik dengan pemikiran masing-masing.

"A-Aneska!" panggil Vio gugup sambil menundukkan wajahnya. Aneska yang sibuk memainkan HP-nya langsung menatap Vio dengan wajah penasaran. Ia hanya diam menunggu apa yang akan dikatakan oleh Vio selanjutnya.

"Itu... soal yang kemarin..." Vio ragu untuk mengucapkannya. Aneska mengernyitkan dahi nya menunggu ucapan Vio benar-benar menyelesaikan ucapannya itu.

"A-aku mau jadi sahabat mu, Aneska!." Senyuman Aneska seketika merekah mendengar pernyataan Vio barusan. Walau ucapannya sangat sederhana, tapi itu membuat Aneska benar-benar senang mendengarnya. Dengan reflek ia memeluk Vio.

"Gue senang! Walau sederhana tapi gue senang lo mau jadi sahabat gue!" ucapnya dalam pelukan Vio. Vio hanya tersenyum tipis.

Kini kedua gadis itu sudah berada di luar sekolah. "Kita ke sana dulu, yuk!" ajak Aneska sambil menarik tangan Vio menuju sebuah café yang tak jauh dari jarak mereka.Vio hanya mengikuti kemauan sahabatnya itu. "Aneska! Aku ingin bertanya," ucap Vio setelah memesan minumannya sendiri.

"Langsung nanya aja, nggak usah pake izin segala."

"Kenapa kamu begitu senang kalau aku menjadi sahabat mu?"

Aneska terdiam, dan senyuman kecil terlukis di wajahnya. Tatapannya kini berubah menjdai sayu. Vio merasa bersalah menanyakan hal itu. Ia menundukkan wajahnya. Tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan pesanan keduanya. Setelah menerimanya, keduanya kembali diam tanpa ada obrolan diantara keduanya.

"Maaf... harusnya-"

"Nggak, itu bukan masalah. Sebenarnya, di sekolah ku yang lama, aku juga seorang pembully, bahkan aku adalah ketuanya dalam kelompok ku. Aku juga membully seorang gadis yang persis sifatnya dengan mu. Ia baik, tapi aku justru menjahatinya. Hingga suatu ketika, entah masalah apa, aku di tinggalkan oleh kelompokku. Bahkan tak jarang mereka juga mengganggu kehidupan ku. Aku berpikir bahwa itu semua adalah karma ku. Namun, gadis yang dulu aku bully justru malah menenangkan ku, bahkan dengan tulusnya ia mau menjadi teman ku. Aku menyesal pernah membully-nya waktu itu. Hingga, suatu ketika, ia meninggalkan ku karena ia ditabrak kereta beberapa bulan yang lalu. Bahkan parahnya, aku melihat dirinya di tabrak tepat dihadapanku. Aku..."

"Sudah, nggak perlu kamu lanjutkan. Aku juga tak bermaksud mengingat memori mu yang menyedihkan itu. Harusnya aku tidak bertanya soal itu."

"Bukan masalah, kok! Aku begini karena aku melihat dirinya berada di dalam dirimu. Makanya, aku sedikit keras saat mengajak mu menjadi sahabatku," terang Aneska sambil mengusap matanya untuk menghentikan airmatanya yang berjatuhan. Tiba-tiba Aneska mengingat sesuatu. Gadis itu langsung membuka tasnya dan mencari nya disana. Tak lama, ia mengeluarkan dua buah gelang berwarna hitam berliontin bintang. Vio hanya memerhatikan apa yang dilakukan sahabatnya itu.

"Ambil!" pinta Aneska sambil menyerahkan salah satu gelang hitam itu. Vio mengernyitkan dahinya bingung. Karena tak kunjung diambilnya, Aneska langsung menarik tangan Vio membuat Vio terkejut. Ia juga memasangkan gelang tersebut di tangan Vio. Gelang itu benar-benar cocok ditangan Vio.

"Cantik, kan?" tanya Aneska sambil memasangkan gelang nya satu lagi ke tangannya. Vio tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan semangat.

"Makasih, aku suka!" girang Vio. Aneska tersenyum mendengarnya.

"Mulai hari ini, gelang itu sebagai tanda persahabatan kita, oke?"

"Ya!" jawab Vio senang. Dan kedua gadis itu menghabiskan waktu senja mereka dengan banyak mengobrol, meski Aneska-lah yang banyak bercerita.

>-----------------------------------------------<

The Sorrow Circlet [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang