14

623 64 2
                                    

Halowwr
Balik lagi dengan ceritaku,
Semoga ceritanya ga bikin bosen. Tunggu aja karna bentar lagi bakal aku masukin konflik besarnya.
Sekali lagi aku ingetin kalau ini hanya imajinasiku aja, ga ada hubungan sama rl mereka. Maaf juga kalau ada typo, ga nyambung, salah tanda baca dan lain sebagainya.
Happy reading!

.

.

.

"Papi juga akan bangga kan mi?"

"Iya, semuanya siapin keperluannya sekarang, terserah mau pakai yang mini atau yang lainnya, sesuaikan aja."





"Kamu yakin sama pilihan mu?" Tanya Caine membuat gadis berambut ungu tergerai itu mengangguk. "Ini impian aku mi dan ga ada waktu lagi. Minggu depan aku udah harus ngurus semuanya dan harus pergi." Ucapnya sembari menatap ke arah Caine yang masih diam dan menimbang-nimbang keputusan.

"Mi, kesempatan ini udah ku nanti-nanti sejak dulu. Aku udah berusaha keras untuk ini dan kalau aku ngelepasin kesempatan ini, aku ga tau besok aku akan dapat kesempatan lagi atau ngga." Jelasnya panjang lebar sembari menangkup tangan kanan Caine menggunakan kedua tangannya.

"Mi, bantu aku bilang ke papi ya? Mami dukung aku kan? Aku janji akan jaga diri baik-baik. Lagi pula aku cuma empat atau lima tahun disana, setelahnya aku akan pulang." Bujuknya masih menangkup tangan Caine, matanya menatap harap pada Caine membuat Caine hanya mampu menghela napas.

"Aku ga yakin aku bisa bujuk-" belum selesai ucapan Caine, gadis berambut ungu tergerai itu buru-buru memotong. "Papi sayang sama mami, papi pasti nurutin apapun kemauan mami. Jadi, please, bantu aku untuk kali ini aja. Maybe, next time, I won't get another chance."

Caine menatap mata memohon itu, jelas membuatnya lemah. Caine sudah menganggap mereka seperti saudaranya sendiri, lebih tepatnya seperti anaknya sendiri. Meski Caine merasa umurnya masih terlalu muda untuk mengerti dan memahami posisinya yang mencakup sebagai orang tua.

Caine mengelus rambut ungu itu pelan, "i know, tapi sebelum itu, bisa kamu kasih alasan tentang apa yang buat kamu jadi terburu-buru?" Tanya Caine membuat gadis itu terdiam. "Aku ga terburu-buru, waktunya memang-" gadis itu menghentikan ucapannya saat melihat Caine menggeleng.

"Aku tau kamu masih punya lebih banyak waktu untuk berpikir dan mengurus hal ini. Terutama kamu di harapkan oleh sekolah mu untuk mengambil beasiswa ini." Ucapan Caine membuat gadis itu menggeleng pelan kemudian menunduk.

"Thia, akhir-akhir ini kamu semakin diam dan menghindar. Kamu selalu mengurung diri di kamar dan terlalu fokus untuk belajar. Mami sama papi ga nuntut kamu, jadi ga masalah kalau kamu istirahat dan main lebih sering sama yang lain."

Kata-kata itu membuat mata Thia semakin berair, ia masuk ke pelukan maminya. "Ngga, Thia cuma ga mau ngecewain siapapun. Thia ga mau gagal dalam hal ini juga, keahlian Thia cuma belajar dan belajar. Aku ga semanis Mia yang bisa di sayang sama papi, aku juga ga sehumoris dan seasik Echi yang bisa bikin mami ketawa terus, aku ga bisa seperti Souta yang bisa buat Gin tersenyum selepas itu di saat dia di dalam mood yang kurang baik. Aku ga bisa sebaik jaki yang bisa interaksi sama yang lain dengan gampang, ga sehebat key yang bisa jadi penengah, dan juga-"

Ucapan Thia terhenti karna napasnya yang mulai habis, rasanya dadanya begitu sesak. Sementara Caine fokus mendengarkan, "apa lagi? Keluarkan saja, mami ada disini buat dengerin cerita kamu." Ucapan Caine mampu membuat tangis Thia semakin pecah.

Thia ingat saat bagaimana hari-harinya yang selalu terasa sulit, karna Thia selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ia tak sempat untuk bercerita, ia tidak terlalu asik dalam menanggapi dan ia hanya di kenal sebagai orang cantik, pintar dan tak pernah gagal yang membuatnya semakin terasa di bawah tekanan.

who's the mastermindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang