Dentingan jarum jam terlalu mengganggu, entah sejak kapan pemuda dengan mata Amber itu setia menatap buku-buku sejarah sembari menyesap kafein. "Kenapa aku tidak bisa tidur hanya karena mimpi aneh itu?" dia bergumam, sesekali mengusak kasar surai madu yang sedikit lepek.
Jay Park, papan nama di atas sekat meja belajarnya kini menjadi fokus, tangan sedikit mencuatkan urat itu mengambil papan nama, punggungnya disandarkan pada kursi putar untuk tempat duduknya dalam belajar. "Ini aneh, kenapa aku harus masuk ke dunia asing ini dalam raga seseorang yang mirip denganku?"
Mendengus kesal, hanya segelas kafein pahit yang dapat menemani hari-harinya selama hampir dua bulan ini. Amber itu meniti kaca cendela, oh~ rintik hujan telah datang menyamarkan duka di muka bumi. Ia beranjak, menyibak korden kebiruan dan membaringkan diri sembari termenung.
"Pasti ada tujuan lain aku terlempar ke sini, sebenarnya siapa Jay Park atau Park Jongseong ini? Kenapa dia berakhir dalam kondisi vegetatif dengan luka tak wajar?" bohong jika ia tak penasaran dengan gelagat orangtuanya yang tiba-tiba memberi tahu bahwa ia akan dipindahkan ke sekolah baru.
Hey, dia bahkan tidak tahu sekolah lamanya di mana, dia hanya jiwa pengganti bagi Park Jongseong yang familiar dipanggil Jay Park.
Waktu bergulir begitu cepat, si surya telah menyapa langit dengan cahayanya yang begitu terang. Pemuda bernama Jongseong itu memerhatikan setelan bajunya yang dipilih semau dia. Hanya celana jeans, kaos putih berbalut jaket kulit hitam lengkap dengan tas selempang miring.
Kaki jenjang pemuda dengan tinggi seratus delapan puluh itu agak malas menuruni anak tangga yang mengharuskan dia menyapa beberapa pembantu rumah. Dia mendudukkan diri tanpa ada basa-basi terhadap dua sosok paruh baya di hadapannya.
Walau begitu, wanita paruh baya itu tersenyum menatap pemuda umur enam belas tahun kesayangannya. "Sekolah ini cukup bagus, ayah dan ibu sudah mengabari kepala sekolah jika kita datang hari ini!" Jongseong hanya mengangguk, dia tak tertarik memperpanjang obrolan si wanita.
"Jongseong tak perlu susah payah untuk mengingat apapun sebelum kecelakaan, dokter bilang itu akan membuatmu pening dan sesak!" sekali lagi pemuda bermata Amber itu hanya mengangguk, rumah megah itu cukup nyenyat, pembantu-pembantu hanya melaksanakan tugasnya guna membersihkan rumah, setelah itu mereka pulang dan kembali pada sore hari.
Semakin hari Jongseong merasa bosan, jujur ia merindukan ayah dan ibunya di tempat yang kini sulit ia gapai, bukan.. mereka bukan mati, tetapi memang Jongseong terlempar pada dunia di masa lalu, masa sebelum keganasan dan keserakahan manusia terhadap teknologi yang terlalu canggih.
Kali ini, langkahnya terlalu malas, ia membiarkan pasangan paruh baya itu berjalan mendahului. Dengan headphone yang bertengger apik di leher, Jongseong sama sekali tak berminat untuk mengamati sekitarnya. Hingga indera pendengarnya cukup terkejut mendengar suara melengking, "Hey tunggu!" awalnya Jongseong hanya abai, mengira pemuda berbalut seragam putih dengan almamater Engene Senior High School itu memanggil siswa lain yang kebetulan terhalangi olehnya.
Nyatanya siswa itu terus berlari kecil ke arah Jongseong, alhasil Jongseong berhenti menatapi siswa dengan rambut berponi yang terenggah-enggah menetralkan nafasnya. "Kita pernah bertemu, kan?" oh benarkah? Jongseong kebingungan, dia menukikkan salah satu alis namun penasaran, siapa tahu pemilik raga asli ini memang pernah bertemu dengan siswa dihadapannya.
Jongseong melirik pada pasangan paruh baya yang sedari tadi turut memerhatikan siswa tersebut, "Ayah dan ibu pergi ke ruang kepala sekolah dahulu saja, aku akan menyusul!" setelah memastikan dua paruh baya tadi telah menghilang di koridor-koridor kelas, manik Amber kembali meniti pemuda di hadapannya.
Ia meniti sedari atas hingga bawah, lalu berkata, "Aku tak merasa pernah bertemu denganmu!" langkahnya berbalik, berniat meninggalkan siswa yang tetap berdiri di tempat itu, "Kau anak SMA InGen kan?" oh~ apa ia salah mendengar? Tidak, tidak... Jongseong yakin telinganya tak bermasalah.
Langkah Jongseong terhenti, ia kembali menghampiri sosok siswa yang bahkan ia tidak kenal. "Siapa kau sebenarnya? Apa kau juga dari Enverse?" Jongseong menatap lekat, ia hanya terkikik sembari mengangguk samar, tak lupa pula lesung pipi tercipta membuat kadar senyuman sosok di depannya menjadi manis.
Tapi Jongseong terkejut, entah kenapa sosok di hadapannya malah semakin mendekat bahkan meletakkan telapak tangannya tanpa permisi di pipi Jongseong, "Bagaimana bisa wajahmu tidak berubah? Aku ingat betul wajahmu juga sama seperti ini di Enverse!" Jongseong menepis, membuat telapak tangan itu sedikit tersentak.
Rasanya terlalu lancang, Jongseong memasang wajah tak bersahabat, "Kau ini siapa sih? Aku yakin tak pernah bertemu denganmu di Enverse!" ia mencoba mengingat-ingat apakah pernah mendapati wajah ini dalam kehidupannya di Enverse. Oh, tidak ada, tidak ada seorangpun yang mirip dengan sosok berlesung pipi itu.
"Oh wow, sabar!" dia mengangkat kedua tangannya berlagak seolah ia akan ditembak dengan pistol kaliber 22 oleh Jongseong, "Seingatku, kau ini perhatian sekali di Enverse, bahkan pada orang asing" seolah tengah menyindir, dia tertawa renyah mendapati raut lucu Jongseong yang mencoba berpikir keras.
Jongseong hanya bisa mendesau pasrah dengan sikap sok akrab pemuda itu, sayangnya entah kenapa malah Jongseong turut mati penasaran dengan sosok yang mengaku dari Enverse juga.
"Jaan Park, benar?" lagaknya ingin memastikan, jantung Jongseong serasa berdegub kencang, sudah hampir dua bulan telinganya tak mendengar nama aslinya dipanggil seperti itu, ah dia merindukannya, sungguh!
Jongseong memerhatikan tangan halus itu merogoh saku celana, lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan, dengan sulaman kupu-kupu yang salah satu sudutnya tertulis nama 'Jaan Park' jujur, Jongseong semakin terkejut, lidahnya kelu seolah membenarkan bahwa sapu tangan itu memang miliknya.
"K.. Kau!" siswa itu mengangguk, Jongseong kini ingat mengenai kecelakaan kereta gantung yang mengerikan di Enverse 2816. Ia mengusap wajahnya agak kasar, lalu kembali terdiam lekat menatap siswa yang entah siapa namanya. "Ya, apa kau ingat memberiku sapu tangan ini ketika aku menangis di gerbong kereta!" dia malah memamerkan gigi ratanya.
Jongseong tak berniat mengambil kembali sapu tangan itu, dia mendengus sembari mengangguk dengan rasa ngilu mengingat bayangan mengerikan bagaimana gerbong kereta yang ia tumpangi terguncang hebat sampai-sampai kepalanya menghantam cendela kereta hingga merasakan rembesan darah memenuhi pelipisnya.
"Mau berteman?" tangan berkulit halus itu terulur, Jongseong memerhatikan, ia rasa tak ada salahnya berteman dengan sosok dari tempat yang sama, setidaknya ia akan lebih leluasa bercerita mengenai kerinduan pada dunia pengap penuh kaca dan besi itu. Agak ragu, Jongseong menerima uluran tangan sembari berujar, "Park Jongseong"
Ia mendapatkan jawaban, "Yang Jungwon" disertai senyuman tulus dengan kadar yang begitu manis.
Mei, 26-2024
⛔ WARNING
NOT ALLOWED TO COPY THIS STORY
This story is the author's own imagination.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memorabilia [JayWon] Jay X Jungwon
Novela JuvenilLee Sangwon, pemuda lugu ini begitu terkejut dengan dirinya yang tiba-tiba bangun ditempat yang asing, ia sangat ketakutan saat mendapati orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal tersenyum padanya. Mereka tak pernah memanggilnya Sangwon, justru...