Sejak binar matanya menangkap tiap pergerakan makhluk di alam semesta, dia sudah merasa bahwa hanya ialah yang benar-benar tidak terlihat, tidak terdengar dan tidak dianggap.
Nakala Aruan, si mungil berusia enam belas tahun itu meniup poni rambutnya yang sedikit menghalangi pandangan. Setelah merasa nyaman, kedua lengan mungilnya kembali bergerak, menyapu halaman depan rumah dengan senandung pelan sebagai pengiring kegiatan pagi di hari libur sekolahnya.
Kala adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia memiliki dua kakak; satu laki-laki dan satu perempuan.
Kakak pertamanya bernama Naega Gautama, usianya sudah dua puluh tiga dan sudah bekerja. Kakak satunya lagi bernama Prima Arabella, masih sama seperti Kala yang duduk di bangku SMA. Mereka bersekolah di SMA berbeda karena Kala bersekolah dengan beasiswa prestasi sedangkan Prima memasuki sekolah yang tidak begitu ternama karena bisa dikatakan nilainya jauh dari nilai sempurna milik Kala.
"Kakak pulang!"
Kala menegakkan tubuh, secara refleks tersenyum kala mendapati tubuh tegap kakak lelakinya ada di depan pagar rumah, menenteng dua buah paper bag yang entah apa isinya. Dengan ceria, Kala berlari kemudian mengulurkan lengan, menyalami si kakak yang tak memberikan sedikitpun atensi padanya.
"Kak Rega kapan nyampe Bogor?" tanya Kala dengan senyum lebarnya. Ah, bahkan kedua mata sabit yang Kala punya tampak terbentuk begitu manisnya.
Dua hari lalu Rega memang pamit untuk menemani anak pemilik tempatnya bekerja menghadiri sebuah seminar. Pekerjaan di sana bisa dibilang cukup banyak hingga Rega tidak ada di rumah selama dua hari dua malam lamanya.
"Barusan, Dek. Kak Prim mana?" tanya Rega sambil melirik pekarangan rumah.
"Lagi di dapur tadi, katanya minta diajarin masak sama Bunda," jelas Kala seadanya.
"Oh."
"Kakak!"
Pekikan ceria dari seorang gadis lain terdengar melengking, mengisi kesunyian di pekarangan rumah keluarga si kecil.
"Hallo, Sayang. Apa kabar?" Rega dengan segera merentangkan kedua lengan, menyambut lompatan semangat dari adik pertamanya, Prima.
"Prim, jangan lompat-lompat!"
Lalu, satu wanita lagi itu adalah ibu dari tiga anak tersebut. Bunda Andin, sosok wanita cantik itu kini mengusap sayang puncak kepala Prima yang masih memeluk erat tubuh kakaknya.
"He he, maaf Bunda. Aaah, Kakak bawain apa? Untuk Prim bukan?" Prima melirik paper bag yang masih ada di genggaman Rega.
"Iya. Ini, Kakak bawain kamu mainan baru." Rega tersenyum sambil mencuri satu kecupan di dahi adiknya setelah memberikan dua paper bag tadi.
"Woah, lucu banget!" pekik Prima ceria. "Kala mau? Ambil satu ya?"
Kala yang sejak tadi hanya menyaksikan interaksi hangat itu kini mengangguk lugu, menerima satu kotak lego berukuran sedang yang Prima sodorkan.
"Makasih, Kak."
Prima mengangguk-angguk kecil lalu memeluk dua kotak mainan lain yang sudah dikeluarkannya dari paper bag.

KAMU SEDANG MEMBACA
retak; geminifourth
Фанфикwalau terbiasa, nyatanya tetap ada satu bagian retak dalam diri nakala yang tidak bisa diperbaiki setiap kali dia menerima perlakuan tak baik dari anggota keluarganya.