dua belas

1.2K 103 38
                                    

Sepi menjadi pelengkap suasana buruk hati milik si tampan, Pandu. Terhitung sudah dua jam pintu ruang UGD itu tertutup rapat. Kala masih ditangani dokter dan itu jadi saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya. Ya, setelah melihat sendiri ibunya yang berusaha melawan kanker tapi akhirnya menyerah, meninggalkan dia dan ayahnya.

"Astaga, kenapa lama banget?" Pandu kembali melirik pintu ruangan tapi tak ada tanda jika pintu akan dibuka dari dalam.

"Apa masih lama?"

Tepat setelah hampir tiga jam bermonolog ria, pintu ruangan terbuka. Dengan cepat Pandu beranjak, menghampiri dokter yang tak lain adalah adik kandung dari ayahnya.

"Om, gimana keadaan Kala?" Pandu dengan cepat bertanya, menunjukkan rasa khawatir yang kentara.

"Kamu tenang aja! Gini, Om belum punya diagnosa yang tepat dia akan mengalami keluhan apa, jadi sekarang Om harus check hasil pemeriksaan Om dulu. Yang bisa Om simpulkan sekarang, dia terkena cedera kepala berat. Benturan di kepalanya mungkin bisa buat dia lupa segala hal selama beberapa menit setelah sadar, jadi usahain jangan ajak dia bicara dulu! Ah ya, kamu boleh jenguk setelah dia dipindahkan ke ruang ICU."

"Apa Kala akan lupa Pandu juga?" lirih Pandu.

"Kamu tenang, Ndu. Dia cedera kepala, bukan amnesia. Kita bisa tahu gejala apa yang dia rasakan setelah dia sadar. Ya udah, Om pamit, okay? Kalau ada apa-apa bisa tekan bell dekat ranjang pasien."

Pandu mengangguk cepat. Setelahnya, dia berlari mengikuti perawat yang mendorong ranjang pasien milik Kala ke ruangan berbeda.

"Apa gue harus hubungin keluarga si Rey itu ya?" Pandu berpikir keras namun kemudian menggeleng pelan. "Jangan dulu deh. Yang penting sekarang Kala harus sehat dulu, abis itu baru pikirin gimana cara ketemu keluarga si Rey."

"Mas Pandu mau masuk?"

Pandu mendongak, menatap salah satu perawat yang dia kenal sejak lama. "Eh iya, saya masuk."

Perawat itu tersenyum, memperhatikan Pandu melangkah cepat memasuki ruangan yang ditempati Kala.

"Sayang," lirihan pelan yang pertama kali Pandu ucapkan ketika melihat Kala yang terbaring dengan lilitan perban di bagian kepalanya.

Hati Pandu berdenyut nyeri. Andai Kala yang dia kenal tidak seceria Kala-nya ini, maka tak akan terlalu sakit melihat anak itu terdiam tanpa suara.

"Cepet sadar, ya? Kak Pandu janji akan jadi kakak Kala yang sebenernya kalau Kala mau bangun."

Pandu menarik sebelah lengan Kala yang terdapat sedikit luka gores. Seketika bayangan di mana Kala berlari tanpa peduli teriakannya saat kejadian penabrakan lalu berputar. Oh, dia makin ingin membunuh Rega saja rasanya. Apa harus sebegitunya membela bajingan seperti Rega?

"Berhenti berkorban, Kala! Kak Pandu janji, kalau kamu mau bangun, Kakak yang akan berkorban dengan segala hal buat kamu."

Satu kecupan lamat mendarat di punggung tangan Kala. Pandu, si pelaku penciuman kembali mengeluarkan air matanya. Memandang lekat wajah Kala yang masih dihiasi lebam kemudian berdecak kesal. Apa Rega pelakunya?

Tidak, Pandu belum ingin memikirkan apapun lagi selain kesadaran dan kesembuhan Kala sekarang.


* * *

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang