tiga belas

1.3K 104 32
                                    

Suasana canggung itu masih terasa mendominasi di rumah keluarga Ayah. Sejak Prima keluar dari rumah sakit dua hari lalu, keluarga ini tampak lebih diam, tak banyak yang beinteraksi walau sedang berkumpul bersama.

Prima yang kentara sekali enggan bicara pada siapa-siapa. Ya, dia hanya kecewa saja dengan keluarganya sendiri. Lalu, tak jarang pikirannya melayang pada Kala yang dia tak tahu di mana keberadannya. Oh, satu hari tak melihat Kala saja rasanya rindu, ini sudah hari keenam dia tak melihat adiknya.

Di meja makan, Prima hanya akan menampilkan wajah datar, menyantap makanan beberapa suap sebelum kembali mengurung diri dalam kamar dan keluar hanya saat pergi sekolah saja.

Ayah dan Bunda juga lebih banyak terdiam, kadang merenung tentang banyaknya kesalahan yang mereka buat pada di bungsu yang sudah berkorban banyak sampai harus menyelamatkan putera sulungnya. Lagi, terasa ada sesuatu yang hilang tiap kali acara makan.

Sedang Rega, pria itu menyibukkan diri dengan mencari pekerjakaan bermodal ijazah S1-nya, dia tak betah berada di rumah karena terlalu banyak kenangan Kala di dalamnya. Dia benci saat tak sengaja mengucapkan sesuatu yang biasanya di lontarkan pada Kala padahal jelas anak itu tak ada di rumahnya.

"Dek, lihat sepatu Kak Rega gak?"

Lagi. Rega mengerang frustrasi.

Ck. Bodoh.

Perlu berapa lama perginya Kala dari rumah sampai bisa membuat dia sadar tak ada lagi adik yang mengetahui segala sesuatu di sana? Sepertinya puluhan tahun pun tak akan cukup. Rega terlalu terbiasa menggantungkan diri pada Kala untuk mengurus segala keperluannya dan sekarang dia benar-benar kewalahan dengan kecerobohannya menyimpan barang sembarangan.

Tak ada lagi Kala yang akan memungut sepatunya ketika dia menyimpan sepatu itu sembarangan. Biasanya Kala yang akan mengambil sepatunya, menata dengan rapi pada rak di depan sana.

Tak ada lagi Kala yang dia teriaki ketika dia tak bisa menemukan kaus kaki.

Tak ada lagi Kala yang selalu bergegas ketika dia menyuruh untuk menyetrikakan kemeja dan bajunya untuk bekerja.

"Sial, sebenarnya lo dimana, Dek?" Rega mengumpat, mengusap sudut matanya yang berair.

Rega mendengus kasar sebelum beranjak dari teras depan rumah, celingukan mencari sendiri sepatunya.

Tin....

Rega menoleh ke rumah sebelah saat suara klakson terdengar, rumah Pandu lebih tepatnya. Matanya melebar sempurna, berlari dengan cepat untuk menanyakan keberadaan Kala. Oh ya, dia baru melihat Pandu lagi setelah kecelakaan lalu.

"Ck, satpam ke mana sih ini!?"

Rega medengar Pandu yang menggerutu di depan gerbang rumahnya. Mungkin kesal karena satpam tak kunjung membukakan gerbang untuknya.

"Pandu," panggil Rega ragu.

"Lo. Ada apa?" Pandu mengangkat sebelah alisnya, kentara sekali sedang meremehkan.

"G---gue, apa gue boleh ketemu Kala? Apa dia baik-baik aja? Dimana dia sekarang?"

"Masih peduli? Ah, apa masih kurang lo buat dia sampai sesakit ini?" Pandu berdeham, menekan emosinya kuat-kuat. Ya, cukup sekali melakukan hal yang tidak Kala sukai.

Kala tak suka Rega terluka.

"Maaf Mas, saya tadi di toilet."

Rega dan Pandu menoleh pada satpam yang baru datang, membuka gerbang dengan lebar.

"Gak apa Pak, santai aja." Pandu tersenyum dan menyuruh satpam itu untuk kembali ke tempatnya berjaga. "Oh iya, lo udah nggak ada yang mau diomongin 'kan? Gue mau masuk nih."

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang