tujuh

1.8K 125 21
                                        

Selasa malam, Kala terdengar mengerang pelan karena banyaknya tugas yang guru berikan. Dia keluar kamar, berniat mengerjakan di ruang tengah jika tidak ingat dia belum mencuci piring bekas makan malam. Pusing di kepalanya belum hilang dan malah bertambah, Kala juga mulai merasa kedinginan padahal suhu tubuhnya sedang meningkat.

"Sssh... apa aku cuci piring dulu ya?" monolog Kala. "Iya deh biar santai ngerjain tugasnya."

Prang

"Akh!"

Suara pecahan seperti kaca disusul pekikan itu membuat Kala terkejut, dengan segera dia berlari ke arah dapur dan mendapati Prima  yang meringis, meniupi jarinya yang berlumur darah.

"Ya ampun, Kak Prima kenapa?" Kala menatap panik pada jari tangan Prima yang makin banyak mengeluarkan darah.

"Ssshh... sakit, Dek." Prima tampak berkaca.

"Ada apa ini?"

Kala memejamkan matanya. Oh tidak, itu suara Ayah. Orang tuanya baru tiba dengan keadaan lelah lalu mendapati kejadian macam ini? Siap-siap saja kena marah.

"Yah, jangan marahin Adek! Prim emang sengaja mau nyoba cuci piring." Prima segera berjalan ke arah orang tuanya.

"Astaga, jari kamu Kak. Ck, ayo Bunda obati dulu!" Prima hanya menurut saat Bunda menggiringnya ke arah kamar.

"Dek," panggil Ayah dengan suara tegasnya. "Udah berapa kali Ayah sama Bunda bilangin untuk jangan pernah biarin Kak Prima lakuin hal-hal yang nggak dia bisa?"

"Maaf, Yah. Adek tadi lagi ngerjain tugas di kamar, beneran nggak tahu kalau Kakak cuci piring." Kala menunduk sambil menautkan jari-jarinya.

"Ayah ada suruh kamu jawab?" Ayah mengangkat sebelah alisnya.

"Maaf."

"Beresin kekacauan ini! Sebagai hukuman, uang jajan kamu Ayah potong. Sekarang, cepet beresin seisi rumah tanpa terkecuali dan tidur setelah semua selesai!" Ayah melenggang begitu saja setelah mengucapkan semua kalimatnya.

"Apa Kak Prim baik-baik aja?" Kala bergumam dengan rasa bersalahnya. "Maaf, Ayah."

Setelahnya, Kala mulai membereskan rumah sesuai perintah ayahnya. Dimulai dari ruang tengah dan berakhir di dapur menyelesaikan cuci piring. Matanya tampak sayu, rasa pusing itu membuat dia ingin berbaring terus. Maka, saat semua selesai tepat pukul sebelas malam, Kala segera menyandar di sofa.

"Mana tugasku masih banyak lagi." Kala melirik jam dinding. Menghela napas sekali sebelum memutuskan untuk melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya.

Satu jam berlalu dan sekarang tepat tengah malam. Kala menguap lebar, kembali bersandar di punggung sofa. Matanya berat terbuka, bahkan sekedar berpindah ke tempat tidurnya dia agak malas. Tak apa, tidur sejenak agar pusingnya sedikit berkurang, mungkin.

Baru akan terlelap suara pintu terbuka kemudian tertutup juga langkah kaki seseorang membuat Kala terjaga namun enggan membuka mata. Dia lelah, sungguh.

Ceklek'

Suara pintu terbuka kembali terdengar, tapi kali ini terasa lebih jelas. Ah, itu pasti Rega yang baru pulang. Kala masih tetap terpejam hingga suara yang begitu dikenalnya itu terdengar sangat dekat.

"Dek, kok kamar Kakak masih berantakan sih?"

Mau tak mau, Kala kembali membuka matanya, menatap Rega lelah.

"Jangan pikir Kakak gak tahu kalau kamu lagi dihukum sama Ayah! Kamu disuruh bersihin seisi rumah 'kan? Kenapa kamar Kakak masih berantakan?" Rega menyeringai, sudah lama rasanya tidak melihat Ayah menghukum adiknya itu.

"Besok aja ya, Kak? Kala ngantuk banget."

"Bukannya sore udah tidur? Cepet atau Kakak aduin kamu nggak jalani hukuman dari Ayah? Pemalas banget sih!"

Kala segera menegakkan tubuhnya kemudian menghela napas berat. Dia melirik Rega yang sudah terduduk di sampingnya, menyalakan televisi dan terlarut begitu saja pada tontonannya.

"Kenapa malah lihatin? Sana cepet! Kakak mau pake kamarnya buat istirahat." Rega melirik tajam pada Kala.

Menghela napas sekali lagi. Kala beranjak menuju kamar Rega dan mulai membersihkan kamar kakaknya itu.

"Astaga, kenapa kepalaku pusing banget sih?" Kala memijat pelan pelipis, berhenti sejenak dari kegiatannya.

Setelah merasa cukup baik, dia kembali membereskan kamar Rega. Mengumpulkan pakaian kotor, merapikan tempat tidur, menata barang-barang di kamar, menyapu, dan selesai. Kala tersenyum atas hasil kerjanya.

"Besok aku harus buang sampah deh kayaknya, penuh banget." Kala menatap tempat sampah di pojok ruangan kamar Rega yang tampak penuh dengan kertas. "Apa ini udah nggak dipakai?"

Kala meraih tumpukan kertas yang masih terlihat bagus itu. Ah, isinya puisi. Rega memang sering membuat puisi, mungkin karena pekerjaannya dia jadi akrab pada hal yang berhubungan dengan sastra.

"Apa Kak Rega lagi jatuh cinta?" Kala tertawa kecil, menangkap kesimpulan dari semua puisi Rega yang kebanyakan tentang cinta terpendam. "Lucu banget sih. Aku ambil deh, kan udah dibuang juga."

Dan Kala benar-benar mengambil tumpukan kertas berisi puisi itu. Dia segera berjalan keluar kamar Rega dan menemukan kakaknya yang sudah terlelap, meringkuk di atas sofa.

"Kak, kamarnya udah bersih. Kakak pindah ya biar enak tidurnya?" Kala menepuk pelan pipi Rega. Namun, sama sekali tak ada pergerakan.

Cukup lama berusaha membangunkan, akhirnya Kala menyerah. Dia menyimpan kertas puisi itu di atas buku tugasnya kemudian bergegas mengambilkan selimut dan bantal untuk Rega.

"Kak Rega pasti kecapean ya?" Kala berucap pelan, memakaikan Rega selimut dan mengangkat kepala kakaknya untuk menyelipkan bantal agar leher Rega tidak kaku ketika terbangun di pagi hari. "Selamat malam, Kak."

"Huft--- aku bisa istirahat 'kan sekarang?"

Setelah mengangguk untuk menjawab pertanyaannya sendiri, Kala segera mengambil buku tugas dan kertas puisi. Melangkah menuju kamarnya dan segera terlelap.

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang