Sekolah sudah lumayan sepi saat Kala dan Dira, teman sekelasnya selesai melaksanakan piket harian. Sebenarnya jadwal piket itu satu harinya ada lima sampai enam orang, tapi karena entah kenapa hari ini banyak murid absen, jadilah sisa mereka berdua yang mendapat bagian piket.
“Kamu pulang naik bus ‘kan, Kal?” tanya Dira.
Dira dan semua teman Kala itu terbiasa memakai kosa-kata ‘lo-gue’ sebenarnya, tapi karena tutur kata Kala yang terkesan sopan jadi mereka terbawa cara bicara anak itu jika sedang berinteraksi dengan Kala.
“Iya dong. Emang biasanya aku naik apa, Ra?” Kala terkekeh, membenarkan letak tas punggungnya agar lebih nyaman.
“Eh, tapi--- itu bukannya kakak kamu yang dulu pernah anter kamu ke sekolah?” Dira menunjuk sosok pemuda yang terduduk menyamping di atas sebuah vespa.
“Lho, Kak Rega ngapain di sini?” gumam Kala entah pada siapa.
Benar, itu Rega. Pemuda itu tampak tenang terdiam di bawah terik matahari seperti ini. Dengan cepat, Kala berlari menghampiri tempat Rega dengan Dira yang mengikutinya.
“Kak Rega, kok bisa di sini? Motornya mogok lagi, ya?” tanya Kala sesaat setelah dia tiba di hadapan Rega.
“Eh, Dek, udah pulang? Nggak, Kakak nunggu kamu. Ayo pulang bareng!” Rega membenarkan posisi duduknya.
“Hah?”
“Ayo pulang!” Rega terkekeh karena Kala melongo saja di hadapannya.
“Nakala,” tegur Dira sambil menyikut lengan Kala.
“E---eh, iya. Ya udah Ra, aku duluan ya? Maaf gak bisa temenin kamu di bus.” Kala menunjukkan ekspresi bersalahnya pada Dira padahal hatinya sedang bahagia karena Rega menjemputnya.
“Santai aja. Udah, sana naik! Hati-hati, ya?” Dira tersenyum dan segera berjalan ke halte setelah Kala mengangguk.
“Pegangan!” suruh Rega ketika Kala sudah menaiki vespa-nya.
“Peluk boleh nggak?” cicit Kala.
“Hm.”
Walau hanya dehaman tapi Kala tetap memekik antusias karena persetujuan Rega. Tanpa membuang waktu, dia segera memeluk tubuh tegap kakaknya dan tak lama dari itu motor pun mulai melaju.
“Adek laper nggak?” tanya Rega sambil melirik Kala yang tak henti mengembangkan senyum melalui spion motornya.
“Uh?”
“Mampir dulu ke café, mau ya?” tawar Rega yang jelas dijawab anggukan semangat oleh Kala. “Café depan aja, okay?”
Mana mungkin Kala menolak. Itu café milik Wiru dan dia pasti senang jika bisa ke sana dengan Rega. Tak lama, motor berhenti dan keduanya turun memasuki café.
“Yuk!” Rega melangkah mendahului Kala, memilih meja yang dekat dengan dinding kaca.
“Kak, kenapa ajak Kala ke sini?” Kala tentu senang, tapi dia hanya tidak mau kembali menelan harapan kosong. Jadi, walau tak peduli, Kala harus tahu apa alasan Rega mengajaknya ke sini.
“Laper, pengen makan. Kamu emang nggak laper?” Rega bertanya dengan mata berpendar, sibuk memilih menu.
“Laper sih.”
“Ya udah, mau pesen apa?” Rega kembali bertanya setelah mendapat menu yang akan dia pesan untuknya sendiri.
“Samain aja sama Kakak.”
“Minumannya?” Rega menyimpan buku menu, beranjak untuk memesan.
“Iya, samain aja! Kala mau coba semua kesukaan Kakak,” ucap Kala dengan senyum lebarnya.
Rega menyeringai dan mengangguk pelan, berbalik dan melangkah ke meja kasir untuk memesan. Cukup lama hingga akhirnya dia kembali dengan semua pesanan.
“Nah, makan yang banyak!”
Kala tersenyum sumringah karena perlakuan baru Rega terhadapnya. Mereka mulai makan, menikmati pesanan. Waktu berjalan terlalu cepat untuk Kala, mungkin karena Rega yang bersikap tidak seperti biasanya.
“Makasih Kak,” ucap Kala yang dibalas anggukkan kecil oleh kakaknya.
Anak itu meraih minuman berwarna hitam pekat yang tadi asapnya sempat mengepul beberapa menit setelah dipesan. Dia menunduk, menyesap minuman beraroma kopi tersebut. Namun, baru satu sesapan matanya terpejam erat karena rasa pahit yang luar biasa dari minuman itu menguar di indera pengecapnya.
“Ini minuman apa sih Kak? Kok pahit banget?” Kala mengusap bibirnya dan menatap Rega dengan tatapan bertanya.
“Namanya kopi pahit. Kopi item gak pake gula, minuman kesukaan Kakak.” Rega mengangkat gelas minumannya yang memiliki warna serupa, tersenyum puas karena berhasil melihat ekspresi menggemaskan Kala.
Oh, jangan percaya! Rega itu menyukai kopi hitam, tapi dengan dua kotak gula batu tentu saja, itu hanya akal-akalan dia untuk mengerjai Kala.
“Oh, gitu ya?”
Rega mengangguk dan tertawa renyah, hendak beranjak tapi terhenti karena pertanyaan Kala.
“Kak Rega mau ke mana?”
“Pesenin minuman baru buat kamu. Gak suka ‘kan sama yang itu?” Rega mengangkat sebelah alis.
Wah, Kala senang lagi. Sejak kapan Rega jadi seperhatian ini?
“Ng--- nggak usah. Kala suka kok, gak usah diganti.” Kala menolak dengan senyuman, lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
retak; geminifourth
Fanfictionwalau terbiasa, nyatanya tetap ada satu bagian retak dalam diri nakala yang tidak bisa diperbaiki setiap kali dia menerima perlakuan tak baik dari anggota keluarganya.