lima belas

879 68 2
                                    

Johns Hopkins Hospital, Baltimore, AS.

Tepat satu minggu setelah kedatangannya ke Amerika sana, Pandu dan sang papa membawa Kala ke rumah sakit ini untuk melakukan prosedur transplantasi mata. Dengan kehadiran Rey dan keluarganya, hari ini mereka sudah berkumpul menanti hasil operasi yang sudah selesai dilakukan.

Semua orang di ruangan itu tampak tegang saat Dokter perlahan membuka perban yang Kala gunakan. Satu lilitan kembali terlepas hingga kelopak mata yang tertutup itu tampak di penglihatan semua orang.

"Nah, coba buka pelan, ya?" pinta Dokter dengan senyum tipisnya.

Menurut. Kala perlahan membuka kedua matanya. Dia mengerjap beberapa kali, menilik sekitar dan berhenti tepat pada posisi Pandu yang menatapnya penuh harap.

"Kal, bisa lihat Kak Pandu?"

Kala terdiam beberapa saat, mengabaikan pertanyaan Pandu. Namun, di detik berikutnya Kala menggeleng lemah, semua orang kecuali Dokter mendesah kecewa.

"Lho, Kala beneran gak lihat Kak Pandu?" Dokter itu mengusap rambut Kala yang segera menoleh ke arahnya.

"Iya, Dokter." Kala tersenyum tipis sambil mengangguk lucu.

"Tapi Kala lihat Dokter 'kan?" kekeh Dokter itu.

Ah, persentase keberhasilan transplantasi itu sudah diperkirakan lebih dari sembilan puluh persen. Jadi, Dokter sama sekali tidak khawatir.

"Bisa, Dokter."

"Lho, kok Kak Pandu gak bisa?" Pandu memekik tak terima. Sedang semua orang yang tahu kejahilan Kala kini terbawa suasana.

"Kak Pandu tambah item, gak kelihatan. Kalau Dokter 'kan putih, jadi bisa Kala lihat." Kala tertawa renyah, menoleh ke arah Pandu sambil menjulurkan lidahnya.

"Oh gitu ya sekarang, beraninya bawa-bawa fisik, heh!?" Pandu tertawa, menerjang Kala yang langsung tergelak karena gelitikkannya.

"Ahahaha maaf, aduuh ha ha udah, Kala minta maaf. Lagian Kakak berjemur terus itu, gosong kulitnya."

Semua orang tersenyum tipis melihat interaksi dua anak itu. Rasa bahagia tak luput mereka rasakan karena Kala sudah kembali dengan penglihatan normalnya.

* * *

Bogor, Indonesia

Hari ini, Rega baru saja mengembalikan sertifikat perusahaan Pandu pada manager yang ada di sana. Ya, dia memutuskan untuk mencari pekerjaannya sendiri. Berakhir memilih jadi seorang blogger yang mendapat rupiah dari tulisannya. Hasilnya lumayan dan tidak menyita terlalu banyak waktunya.

Seperti saat ini, dia sedang terduduk di café milik Vino yang beberapa waktu lalu keluar dari kantor Pandu dan memilih untuk membuka usaha sendiri. Rega melirik kursi kosong di hadapannya, tempat dulu Kala pernah terduduk. Ya, saat kehujanan dan memutuskan berteduh, mereka mampir ke café ini dan duduk tepat di bangku ini.

"Kamu lagi ngapain sekarang, Dek?"

Sesaknya masih sama. Rega selalu merasa sudut hatinya terluka tiap kali mengingat atau mengucap nama adiknya. Setiap helaan napas yang ditariknya seakan membuat sesak, benar-benar terlalu banyak dosa hingga rasanya tak bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya.

"Apa harus sesakit ini tiap kali ingat kamu?"

Rega terkekeh pelan saat hatinya menjerit penuh penyesalan. Sampai kapan sesak itu akan hilang? Kala, adiknya seakan menghantui relung jiwa untuk terus merasa berdosa.

Tring

Rega meraih ponsel yang dia letakkan di samping laptopnya. Menggeser layar kemudian secercah harapan menyapa hatinya.

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang