Sore datang dan Kala serta Pandu masih dalam perjalanan pulang setelah membeli banyak sekali barang yang termasuk dalam hadiah ulang tahun Kala. Ada boneka, baju, sepatu dan banyak lagi hal yang malas Kala sebutkan satu-satu. Dia dengan keras menolak bahkan mogok membuka fortune cookies pemberian Pandu. Namun, dengan sedikit ancaman yang sebenarnya hanya main-main akhirnya Kala mendapatkan semua hadiahnya, termasuk ponsel pintar yang tak murah harganya.
“Senang hari ini?” tanya Pandu memecah keheningan.
“Sebal. Kak Pandu boros banget sampe beliin Kala semua itu.” Kala mendelik, berusaha terlihat garang, tapi malah tampak menggemaskan di mata Pandu.
“Eh iya, Kak Pandu mau nanya sesuatu sama kala,” sahut Pandu karena sejak sampai di sekolah Kala untuk menjemput siang tadi, dia betemu seseorang yang mengganggu pikirannya.
“Hm, apa?”
“Kamu kenal Laras? Masa dia ngaku-ngaku kalau dia kakak kamu sih?” tanya Pandu terkesan malas.
“Uh? Kak Pandu ketemu Kak Laras di mana? Kak Laras itu sama kayak Kak Pandu, anggep Kala adiknya sendiri. Memangnya kenapa?”
“Ah gitu. Tadi Kakak ketemu di deket sekolah kamu.” Pandu menjawab dengan otak yang kembali memutar kejadian adu mulutnya dengan laras.
Flashback On
Siang ini Pandu menjemput Kala lebih cepat dari jadwal anak itu pulang, tentu saja dengan membawa kejutan berikutnya untuk ulang tahun si manis. Merasa sesak terus diam di dalam mobil, Pandu memutuskan berdiri di luar, menyandar pada body mobilnya hingga seorang gadis datang menganggu ketenangan.
“Permisi, boleh nanya nggak?”
Pandu menoleh dengan sebelah alis terangkat, menatap heran sosok gadis mungil di hadapannya. “Ya, nanya apa?”
“Apa sekolahnya udah bubar? Gue nunggu adek gue pulang. Eh iya, nama gue Laras.” Gadis itu mengulurkan lengan, memperkenalkan diri.
“Pandu. Sekolahnya belum bubar kok, gue juga lagi nunggu adek gue pulang.” Pandu membalas jabatan tangan itu dan berucap tanpa ekspresi. “Jadwalnya masih sepuluh menit lagi, gue sengaja jemput adek gue lebih cepet, dia lagi ulang tahun soalnya, mau gue kasih kejutan..”
“Lho, kok sama? Adek gue juga ultah. Btw, nama adek lo siapa?” tanya Laras penasaran.
“Kala, Nakala Aruan.”
Laras tampak menyernyit. “Kok sama lagi sih? Mana lihat potonya!”
Entah apa yang Pandu pikirkan, tapi dia dengan patuh menunjukkan beberapa poto Kala di ponselnya.
“Ih, ini adek gue ya! Lo ngaku-ngaku ‘kan?” tuding Laras.
Pandu menukik alis tak terima. “Apaan? Heh, jelas-jelas dia adek gue! Lo gak lihat banyak potonya di ponsel gue? Oh, jangan-jangan lo penculik anak, ya? Lo pasti mau jual adek gue kan!? Ngaku lo!”
“Lho, dari tampang juga udah ketebak lo lebih kriminal, gue sih masih unyu gini. Lo pasti om-om pedo yang suka incer anak SMA ‘kan? Ngaku lo!” balas Laras tak terima.
“Heh, udah jelas gue ini kakaknya Kala. Lo jangan ngaku-ngaku!” dengus Pandu.
“Gue tahu Kala punya kakak cowok, tapi itu Rega, bukan elo. Lagian masa sih anak lucu dan gemes kayak Kala punya kakak buluk macam lo? Udah jelas, Kala itu adek gue. Lo gak lihat kecantikan gue sama dia setara?” Laras berkacak pinggang dengan marah.
Dan kebenarannya, kedua anak manusia itu hanya mengaku-ngaku sebagai kakak dari Kala. Padahal tak ada satupun dari mereka yang sah menyandang status kakak yang sah bagi Kala.
“Enak aja kalau ngomong. Heh, kalau muka seganteng ini lo kata buluk terus muka lo yang gak berbentuk itu mau dibilang apa? Busuk?” sinis Pandu.
“Tcih, kok lo ngeselin sih!?”
Pandu mengernyit. “Lha, yang mulai siapa?”
“Ck, bodo! Nanti aja gue langsung ke rumah Kala.” Laras menghentak kaki kasar sebelum melangkah ke tempat mobilnya terparkir.
Sedangkan Pandu masih berdiri dengan sisa rasa kesal pada gadis yang barusan membuat otaknya panas.
Flashback Off
“Kak Pandu, Kala mau turun. Kenapa malah ngelamun sih?” tanya Kala dengan nada sedikit meninggi. Bukan marah, dia sudah berucap lembut, tapi tak kunjung disahuti.
“Ah, eh, maaf, maaf Kal.”
Pandu tersentak dari lamunannya, dengan segera membuka kunci mobilnya dan ikut keluar untuk membantu Kala membawakan semua hadiahnya.
Saat semua barang sudah aman berada dalam kamar, Kala segera membasuh tubuh dan mengganti baju. Rasanya lelah sekali, sejak pagi juga kepalanya pusing. Mungkin masuk angin, efek dari berdiam di luar saat tengah malam.
Selesai dengan kegiatan membersihkan badan, Kala memilih menghangatkan makanan yang Bunda sediakan, siapa tahu Rega dan Prima belum makan. Sedangkan dirinya sama sekali tak menyentuh makanan karena saat dengan Pandu dia sudah terlalu banyak makan. Ah ya, Bunda dan Ayah pagi tadi sempat pamit karena siang hari akan berangkat mengantar Nenek dan Kakek pulang.
Rumah sepi padahal ini sudah sore sekali. Kala mengangkat bahu, mencoba tak peduli dengan keadaan rumah yang sunyi. Setelah menghangatkan makanan, dia segera berjalan ke ruang tengah, mendengarkan lagu dari MP3 pemberian Pandu dan terduduk dengan kepala yang menyandar di punggung sofa. Tanpa sadar, matanya perlahan terpejam, menjemput alam bawah sadar.* * *
Tepat pukul lima sore, Prima pulang dari sekolahnya, dijemput Rega tentu saja karena Ayah belum juga pulang dari mengantar Kakek dan Nenek.
“Kak, emang kerjanya udah selesai?” tanya Prima ketika keduanya memasuki rumah.
“Belum. Kakak anter kamu dulu aja nanti balik lagi ke kantor.” Rega membalas kemudian mengernyit heran karena mendapati Kala yang tertidur di sofa ruang tengah.
“He he Adek lucu banget ya, Kak?” Prima terkikik geli karena posisi tidur Kala. Oh iya, hari ini Kak Rey mau ke sini. Boleh nggak?” Prima bertanya ragu dengan kepala menunduk.
“Anak kuliahan yang lagi deket sama kamu itu?” tanya Rega yang sudah berdiri di samping posisi terlelap Kala.
“Eung--- iya, boleh ‘kan?”
Rega mengangguk kecil. “Kalau dia macem-macem langsung telpon Kakak!”
“Apa sih Kak? Kak Rey itu baik tahu.” Prima menimpal tidak terima.
“Iya, iya, Kakak percaya.” Rega berucap tak berminat kemudian beralih mengguncang bahu Kala. “Dek, bangun! Jangan males deh! Masih sore udah tidur.”
“Ngeeh...”
Kala itu tipikal yang mudah terjaga, jadi tak akan sulit untuk membangunkan dia. Hanya dengan guncangan pelan matanya perlahan terbuka.
“Bunda ‘kan nggak ada. Bukannya urusin rumah malah tidur kayak gitu!” ucap Rega yang terdengar jelas oleh Kala walau kedua telinganya masih tersumpal earphone.
“Ck, udah deh Kak! Kak Rega berangkat kerja lagi sana!” Prima mendorong tubuh Rega agar tidak mengganggu tidur menggemaskan adik kecilnya.
“Iya, ini juga mau berangkat.”
Setelah Rega keluar dari rumah, Prima segera menoleh pada Kala yang tengah menutup mulutnya karena menguap.
“Adek masih ngantuk, ya? Gak apa, tidur aja! Semua kerjaan rumah biar Kakak yang urus. Okay?” Prima megusap kepala Kala yang tampak mengernyit bingung.
“Nggak usah, Kak. Kala udah nggak ngantuk, kok.”
“Jangan bohong! Udah, sekarang kamu lanjut tidur aja! Biar Kakak yang urus semuanya. Tidur, Dek! Mata kamu merah tuh.”
“Beneran boleh?” tanya Kala yang kembali menguap.
Prima mengangguk dan tak sampai semenit mereka terdiam, Kala sudah kembali tertidur dengan lelapnya.
“Ugh, lucunya!” Prima bertepuk tangan kemudian iseng memotret wajah Kala.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat Prima terperangah dan segera beranjak, mengintip dulu melalui jendela kemudian membukanya setelah tahu siapa yang datang. Itu ajaran dasar, di keluarganya harus teliti menerima tamu agar tidak ada hal buruk terjadi.
“Kak Rey?” pekik Prima ceria.
Sosok tampan itu tersenyum dan mengangguk kecil. Garis wajah tegas, alis tebal, mata tajam, hidung mancung dan bibir yang tampak menawan. Sikap baik, ramah, sopan, penyayang dan manis di saat bersamaan, ah Reynold Adinata memang sosok idaman. Jadi, apa ada alasan untuk Prima tidak mengagumi sosok mahasiswa semester lima yang ada di hadapannya ini?
“Kamu kenapa bengong, Prim?” tanya Rey heran.
“Eh, nggak. Itu, Kak Rey ganteng banget!” Prima menutup mulutnya yang tanpa diperintah malah mengucapkan hal demikian.
“Ha ha, lucu banget sih kamu. Jadi belajar ‘kan?”
“Iya, Kak. Ayo masuk! Aku ganti sebentar, ya? Eh, bentar, aku bangunin adekku dulu.” Prima hendak membangunkan Kala agar adiknya itu pindah ke kamar, tapi Rey mencegahnya.
“Nggak usah, biar Kala di sini aja. Kasihan, dia kayak capek gitu,” ujar Rey.
“Kak Rey tahu nama adekku?”
Rey seketika tampak menegang, tapi tak lama raut wajahnya kembali tenang. Dia terkekeh untuk menghilangkan getar canggung pada suaranya.
“Ah itu, kamu pernah post poto sama dia ‘kan? Kamu cantumin nama dia kalau kamu lupa,” jawab Rey dengan kalimat santai.
“Oh iya, aku lupa. Ya udah deh, kalau gitu aku pamit ganti dulu ya Kak?”
Rey mengangguk dan matanya melirik ke mana Prima pergi. Yakin Prima sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia segera beranjak, mengambil posisi berdiri di hadapan Kala. Lengannya terangkat, menyisir rambut yang menghalangi sebagian wajah anak itu.
Lama menatap sosok lugu di hadapannya, tanpa sadar air mata Rey meluncur begitu saja. Dengan gerakan teramat hati-hati, dia sedikit membungkuk kemudian mendaratkan kecupan di dahi Kala.
Kamu tumbuh dengan baik. Maaf Kakak masih harus tahan diri, sebentar lagi kami akan jemput kamu. Apa keluarga ini perlakuin kamu dengan baik? Kalau aja Prim nggak post poto kamu, mungkin Kakak gak pernah punya jalan untuk nemuin kamu, Kal.
Rey beralih menggunakan lengannya untuk mengelus sayang kepala Kala. Hingga saat mendengar suara pintu berdecit, dia segera kembali ke tempat dan menghapus kasar air matanya.
“Maaf lama Kak, duuuh lupa bawain air juga. Tunggu bentar, ya?” Prima datang dengan setelan rumahannya.
“Iya, santai aja.”
Rey tersenyum kecil. Saat Prima kembali melangkah, mungkin pergi ke dapur, tatapan Rey kembali jatuh pada sosok Kala yang menggeliat dalam tidurnya. Pergerakan kecil yang membuat sudut bibir Rey tertarik membentuk senyum karena melihat betapa menggemaskan anak di hadapannya.
Pasti banyak sekali hal yang Kakak lewatin dalam masa pertumbuhan kamu. Rey kembali tersenyum sebelum menit berikutnya sibuk memberi atensi pada Prima karena kegiatan belajar mereka akan dimulai.to be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
retak; geminifourth
Fanfictionwalau terbiasa, nyatanya tetap ada satu bagian retak dalam diri nakala yang tidak bisa diperbaiki setiap kali dia menerima perlakuan tak baik dari anggota keluarganya.