lima

1.3K 105 0
                                    

Senin pagi yang cerah dengan suasana ramai di rumah. Walau Kala merasa keadaannya sedang tidak baik-baik saja, dia tetap semangat menjalani awal pekan. Selesai sarapan, dia meyalami semua anggota keluarganya untuk pamit berangkat sekolah.

“Nggak bareng sama kakakmu, Kal?” tanya Kakek setelah menelan kunyahan terakhirnya.

Kala melirik Rega yang masih sibuk dengan sarapannya. Anak itu menghela napas pendek dengan gelengan pelan karena Rega yang tidak menunjukkan respon apapun. Tidak mengiyakan tidak juga menyangkal.

“Nggak, Kek, Kala udah janjian sama temen berangkat naik bus.” Kala tersenyum kemudian beranjak dari duduknya. “Ya udah, Kala berangkat..”

“Yaudah, hati-hati.”

Kala segera berjalan keluar rumah. Saat hendak membuka pagar, pandangannya terjatuh pada sebuah kotak dengan pita yang menggantung di pagar rumahnya. Dia celingukan dan memutuskan untuk mengambil kotak itu.

Untuk Kala, adeknya kakak.

“Pasti Kak Pandu,” tebak Kala dengan senyuman gelinya.

Dia membuka kotak yang dibungkus kertas kado itu dan mengernyit saat melihat isinya. Bukankah itu sebuah MP3 dan juga earphone? Ah, ada surat juga ternyata.

Terima ya? Itu isinya semua lagu yang biasa kamu puter kalau lagi perjalanan dalam mobil Kak Pandu. Kalau kamu lagi sedih dan butuh temen dipake! Selamat ulang tahun, semoga semua harapan kamu cepat terwujud. Maaf nggak nemuin langsung, Kak Pandu ada urusan penting. Semangat sekolah dan jangan nangis lagi!

“Kak Pandu kok baik banget ya?” Kala terkekeh, menyimpan surat pemberian Pandu ke saku seragamnya, sedang MP3 dan earphone dia pegang erat.

“Dek,” panggil seseorang di belakang sana.

Kala menoleh dengan senyum manis saat mendapati Rega ada di belakangnya. “Kenapa, Kak?”

“Soal kata-kata Kakak semalem. Jangan dipikirin, ya? Kakak cuma bercanda,” jelas Rega dengan tenang.

Senyuman Kala melebar. Akhirnya apa yang ingin dia dengar dari mulut Rega keluar juga. Anak itu mengangguk antusias.

“Kala udah gak mikirin itu kok. Nenek juga bilang kalau Kak Rega Cuma bercanda,” balas Kala selugu biasanya.

Kenapa mudah banget percaya sama apa yang lo denger, Kal?

“Ya, syukur deh. Nih!” Rega menyodorkan sebuah kertas yang digulung dan diikat sebuah pinta berwana biru.

“Ini apa?” tanya Kala heran.

Bukannya menjawab, Rega memilih untuk berbalik dan memarkirkan vespa-nya. Kala ingin menunggu jawaban, tapi bus yang berhenti di depan pagar rumahnya membuat dia segera beranjak memasuki bus tersebut.

Saat tiba di dalam, Kala mencari keberadaan Dira. Mereka memang biasa satu bus. Sebenarnya Dira memiliki kendaraan pribadi, tapi karena usianya yang belum legal mengendari motor walau sudah pandai, alhasil dia jadi pengguna bus seperti Kala.

“Pagi Adira!” sapa Kala pada sosok yang menyandar pada jendela bus.

“Pagi, Nakala! Habede,” ujar Dira sambil mengusak rambut Kala. “Aku nggak ada bikinin kamu hadiah, gak apa ‘kan?”

Kala mendengus geli. “He he makasih. Kamu ada di dunia aja udah jadi hadiah buat aku. Coba kalau nggak ada kamu, tiap pergi sama pulang sekolah sepi telingaku.”

“He he, gitu ya? Wuih, MP3 baru tuh?”

Kala melirik MP3 yang masih dia genggam erat kemudian tersenyum tipis. Dia memutar lagu dan berbagi earphone dengan temannya. Jadi, perjalan kali ini tidak ramai dengan ocehan Dira, mereka memilih untuk menikmati lagu-lagu dalam MP3 itu.

* * *

Selepas upacara bendera, Kala dan Dira melangkah bersama menuju kelas. Dengan ditemani perbincangan ringan, tanpa sadar mereka sampai di depan kelas.

“Tunggu dulu!” pekik Dira.

“Hm? Kenapa?”

“Aku tutup mata kamu ya? Di dalam ada kejutan.” Dira tersenyum lebar sambil berjinjit di belakang tubuh Kala, menutupi kedua mata temannya itu.

“Ini ada apa sih?” tanya Kala penasaran.

“Udah, kamu diem aja! Pokoknya kamu bakalan suka.” Dira mulai menuntun langkah Kala memasuki kelas mereka. “Nah, nyampe. Aku hitung sampe tiga ya? Nanti aku buka penutup matanya. Satu... dua... tiga!”

Saat kedua matanya terbuka, Kala menganga tak percaya. Kelasnya yang biasa rapi dan tertata itu kini dipenuhi dekorasi cantik bertema hitam-putih. Banyak balon, pita dan juga hiasan lainnya. Kemudian matanya bergulir, menatap berbinar pada kue tiga tingkat yang diberi gambar dan namanya. Lagi, ada cokelat yang menyerupai miniatur gitar dan piano yang mempercantik tampilan kue tersebut. Kemudian lilin dengan angka enam belas itu menyala saat salah satu teman sekelas menyalakannya.

“Ya ampun, ini--- ini siapa yang buat? Kenapa? Kalian---“ Kala tak bisa lagi menahan air mata bahagianya, dia terisak pelan karena kejutan manis ini. “Ini buat aku?”

“Iya. Ayo tiup lilinnya! Jangan lupa make a wish, ya?” ucap Dira dengan senyum manisnya.

Kala melangkah ke dekat kue itu berada, memejamkan mata, dalam hati memanjatkan do’a. Setelah selesai dengan do’anya, Kala menunduk, meniup lilin tersebut.

“YEAY, HAPPY BIRTHDAY!!” pekik semua teman sekelas Kala.

“Makasih, makasih semua.”

“Sebenernya ini dari seseorang yang sayang banget sama Kala. Kita cuma bantu-bantu aja,” jelas Alan, ketua kelasnya.

“Siapa?”

“Entah. Dia ninggalin surat ini di meja kamu.” Alan menyodorkan amplop surat dengan hiasan pita warna biru, lagi.

Dia membuka surat tersebut dan membaca dengan seksama tulisan tangan yang tampak rapi itu. Tapi, Kala rasa dia tidak mengenal tulisan tangan tersebut.

Selamat bertambah usia! Ingat, dalam hidup kamu nggak bisa serakah! Semua orang di luar sana sayang kamu dan kamu terima itu. Jadi, tetap bersabar sama yang fisiknya selalu dekat tapi gak pernah ngasih sayang ke kamu. Berbahagia selalu!

“Kal, potong kue-nya ayo! Ngiler ih, kayak enak gitu.” Dira menarik-narik tangan Kala yang kini terkekeh karena kelakuannya.

Setelah itu, Kala menuruti mau Dira. Dia mulai memotong kue, memberikan suapan pertama pada Dira dan membuat potongan lain untuk semua temannya. Iya, dia tersenyum sepanjang kegiatannya, tak sadar dengan sosok tampan yang tersenyum manis di luar kelas dengan seorang guru dari sekolahnya.

“Ah, makasih Bu atas izin untuk mendekor ruangan kelas dan berkenan mengosongkan satu jam pelajaran agar adik saya bahagia di hari ulang tahunnya. Saya juga berterimakasih karena Ibu mau berbaik hati membantu menulis surat untuk adik saya itu.” Pemuda itu menunduk sopan, menghargai betul dedikasi guru wanita paruh baya di hadapannya.

“Iya Nak Pandu, kami senang bisa membantu. Kala itu anak baik dan berprestasi, dia pantas mendapatkan kejutan semanis ini. Nak Pandu memang kakak yang baik,” puji guru tersebut.

Pandu, pemuda yang mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai kakak si kecil itu tersenyum. Iya, andai dia adalah kakak kandung Kala, mengklaim seluruh isi bumi jika itu permintaan Kala pasti akan dia lakukan.

“Ibu bisa saja. Ya sudah, kalau begitu saya izin pamit. Saya harus bekerja dan sekali lagi terimakasih atas kebaikan Ibu.” Pandu menyalami punggung tangan guru itu.

Setelahnya, mereka berjalan ke arah gerbang utama sekolah. Guru tadi mengantar Pandu sampai gerbang dan Pandu dalam mobilnya tersenyum puas, ya, puas sekali setelah segala hal yang disusunnya sejak kemarin berjalan sangat lancar.

* * *

Senyum Kala dari pagi sampai jadwal pulang sekolah tak kunjung luntur. Bahagia sekali di ulang tahunnya kali ini. Dia sedang berjalan pelan, menyusuri koridor sendirian karena Dira yang memilik jadwal tambahan. Kemudian ia teringat sesuatu, surat dari Rega belum sempat dia baca. Dengan gerakan cepat, Kala merogoh saku celana-nya, membuka pita yang mengikat kertas itu.

Saat gulungan berhasil dia buka, hanya terdapat dua baris tulisan di kertas tersebut. Kala membacanya dalam hati dan lagi-lagi surat itu membuatnya tersenyum.

Kamu adik Kak Rega, Nakala.

Selamat ulang tahun!

Sudah, hanya dua kalimat itu. Kala melipat kertas tersebut dan menyimpannya ke dalam tas. Tepat saat selesai menutup resletingnya, dia tiba di gerbang sekolah dan mendapati Pandu yang bersandar di mobil hitamnya.

“Kak Pandu,” tegur Kala.

“Hai, anak manis! Langsung pulang?” Pandu membukakan pintu mobil dan mempersilakan Kala masuk.

Kala cukup tahu diri untuk menolak. Pandu sudah sengaja menjemputnya dan mana mungkin dia menolak ajakan itu. Maka, tanpa perlu diperintah dua kali, Kala segera masuk ke dalam mobil, diikuti Pandu yang masuk dari sisi lainnya.

“Gimana acara di kelasnya? Lancar?” tanya Pandu setelah mobil melaju beberapa meter.

“Udah kutebak, itu pasti Kak Pandu. Aku suka, makasih Kak. Itu berlebihan, tapi jujur Kala suka,” ucap Kala seadanya.

“Ah, manisnya. Sama-sama, apapun untuk Kala!” Pandu menggunakan sebelah lengannya untuk mengacak rambut Kala. “Oh iya, Kak Pandu masih punya sesuatu.”

“Astaga, apa lagi, Kak?” Kala tak habis pikir, kenapa Pandu bisa sematang ini menyiapkan semuanya untuk dia?

“Tadaa..” Pandu menyodorkan kemasan makanan kertas pada Kala dengan tatapan yang masih fokus pada jalanan.

“Fortune cookies?”

Pandu mengangguk kecil. “Makan semua dan Kak Pandu akan jadi pengabul setiap keberuntungan yang kamu dapat dari tiap cookies-nya.”

Pandu tersenyum hangat. Dia jelas tahu apa saja isi dari fortune cookies itu karena dia yang memesan dengan kalimat keberuntungan yang dia buat sendiri.

“Serius!?”

Melihat Pandu yang mengangguk, Kala segera meraih cookies pertamanya. Saat terbelah, dia menarik kertas di dalamnya, membaca tulisannya pelan.

“Boneka panda paling besar siap jadi milik Kala.”

Kala mengerjap tak yakin atas apa yang baru saja dia baca. Dia menoleh bingung ke arah Pandu yang kini tersenyum tanpa menatapnya.

“Wah, pilihan pertama yang bagus. Jadi, ayo beli boneka pandanya!”

Dan hari itu dihabiskan mereka dengan mencari kemudian membeli puluhan keberuntungan Kala yang sebenarnya sudah Pandu rencanakan.

to be continue

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang