sembilan;

1.4K 111 21
                                    

Kamis siang yang menyenangkan. Kala selalu senang dengan apapun yang Pandu lakukan. Pemuda yang sudah dianggapnya kakak sendiri itu tak pernah berhenti membuatnya tersenyum.

“Kak Pandu mau cerita nih,” ucap Pandu yang tampak sibuk memandang jalanan.

Kala berhenti menikmati ice cream pemberian Pandu kemudian menoleh pada si pemuda yang tengah mengemudi. “Cerita apa?”

“Tapi kamu jangan ngetawain! Janji?”

Kala mengangguk-angguk kecil sebelum kembali sibuk dengan ice cream di genggamannya.

“Kak Pandu lagi jatuh cinta,” cicit Pandu.

“Woah, serius? Hi hi, sama siapa?” Kala memekik setengah tak percaya.

“Ada, nanti Kak Pandu kenalin, tapi kalau dikenalin nanti kamu kasih saran ya, itu cocok atau nggak buat Kak Pandu?” pinta Pandu dengan nada serius.

“Iya, iya, Kala pasti kasih pilihan terbaik untuk Kak Pandu nanti, tapi jadi nggak sabar lihatnya, pasti cantik ‘kan? Namanya siapa?”

“Kal,” cicit Pandu pelan.

“Huh?”

"Dia cantik sih, tapi cowok he he."

Kala membulatkan kedua matanya sebelum tersenyum tipis. "Iya? Kala mau ketemu!"

"Beneran mau?"

Kala mengangguk antusias.

“Okay, nanti Kakak jadwalin. Ya udah, kita udah nyampe. Mau dibukain atau nggak pintunya?”

“Buka sendiri aja,” jawab Kala cepat. “Makasih ya Kak, Kala keluar dulu.”

“Sama-sama.”

Pandu tersenyum lebar, kembali melajukan mobil ke rumah sebelah setelah Kala keluar.

* * *

Suasana tegang di kediaman keluarga Ayah karena hadirnya sepasang suami istri beserta anak tunggalnya. Sayang, Ayah dan anak-anaknya tidak di sana, hanya ada Bunda untuk jadi penyambut keluarga yang dulu menetap di Australia itu.

Reynold menatap sang Papa, mendesak untuk segera mengutarakan apa tujuan mereka datang ke sana. Iya, Tn. Bryan dan Ny. Eva memutuskan untuk segera membicarakan perihal kesepakatan yang enam belas tahun lalu dua keluarga itu buat setelah mengetahui perlakuan keluarga Ayah pada Kala.

“Saya dengar anda memperlakukan Kala dengan tidak layak selama ini. Apa benar?” Tn. Bryan membuka percakapan dengan suara kelewat datar.

“Itu wajar, dia bukan bagian dari kami. Kalian hanya menitipkan Kala sesuai waktu yang kita sepakati bersama.” Bunda menyahut tegas seakan apa yang barusan dikatakannya tidak akan menyakiti siapapun di luar sana.

Brak’

Tn. Bryan menggebrak meja di hadapannya dengan tatapan menusuk yang ditujukan pada Bunda. Lelaki paruh baya itu terkekeh pelan, terkesan sekali meremehkan.

“Kala memang bukan anak anda. Tapi apa anda tidak sadar selama ini kalian hidup dengan ekonomi berada karena hadirnya dia? Saya benci mengeluarkan kata pada manusia tidak tahu terimakasih seperti anda. Hari Senin nanti, saya akan kembali untuk menjemput Kala.”

Percakapan terus berlanjut, mereka tak sadar saja ada Kala di ambang pintu sana. Anak itu sudah mengeluarkan air mata, menggigit bibir bawah agar isakannya tidak keluar.

Nggak, aku anak Ayah dan Bunda. Aku nggak dititipin di sini sama mereka. Mereka siapa? Bukannya itu Kak Rey? Dia ngapain di sini?

Setelah mengucapkan kalimat tanya itu dalam hatinya, Kala segera berlari dari sana. Dia berhenti melangkah saat mendapati Pandu yang sedang membuka pintu gerbang rumah besarnya, mungkin pemuda itu mampir makan siang dan baru akan kembali ke kantor.

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang