enam belas

1.9K 93 33
                                    

Satu tahun sudah Kala menetap di Amerika sana. Maka hari ini, saat semua orang berbahagia dengan perayaan hari kelahiran Kala, si bungsu itu hanya menutup rapat mulutnya. Ya, kebahagiaannya ada di sini, tapi tidak utuh seperti tahun sebelumnya.

Apa Ayah masih kecewa kalau Kala pulang ke rumah?

Bunda, apa di sana kalian ingat ulang tahun Kala?

Kak Rega, apa tahun ini Kakak bisa ajak Kala ke pasar malam?

Kak Prima, apa Kak Prim di sana masih bersedia nyanyiin lagu selamat ulang tahun untuk Kala?

Tes’

Tidak. Bukan air mata, karena nyatanya dia sudah tegar untuk tidak terluka jika mengingat perlakuan keluarganya. Itu darah segar yang kembali jatuh, keluar dari dua lubang hidung bangirnya. Kala menunduk, sudah tak sepanik saat pertama kali mengalami hal ini.

“Sayang, mikirin apa?” Pandu berjongkok di hadapan kursi roda yang kini Kala duduki.

Iya. Nyatanya hidup Kala memang tidak dirancang semulus itu. Tepat dua bulan setelah dinyatakan bahwa dia pulih dari sakitnya, Kala merasa pusing mendera kepala. Anak itu mengalami kejang dan dilarikan ke rumah sakit tempatnya menjalani terapi.

Berawal dari kecerobohan yang tidak diduga. Saat datang ke Amerika dan mendapat laporan dari pihak om Pandu di Indonesia sana, pihak di sini langsung melakukan prosedur transplantasi serta terapi tanpa melakukan CT-scan pada bagian kepala Kala.

Ternyata, dampak dari kecelakaan itu tidak hanya menggangu kerja otak, tapi mengakibatkan pendarahan di dalam. Di awal pasti tidak akan terdeteksi dan sekarang luka itu terlanjur menjadi. Sel abnormal yang dipicu dari luka serta obat-obatan yang selama ini dikonsumsi itu tumbuh dengan pesat dan benar-benar menyerang otak Kala. Tumor otak, begitu dunia medis menyebutnya.

Beberapa bulan terakhir ini, Kala sudah menjalani berbagai macam pengobatan, sampai kemoterapi sudah dilakukan. Tapi, tindakan yang terlambat dan sel yang berkembang terlalu pesat membuat dokter kewalahan menanganinya.

Saat tahu bahwa harapan hidupnya hanya beberapa persen saja kalaupun dia menekuni pengobatan, Kala menerimanya dengan seulas senyuman.

“Iya Dok, gak apa, diobati atau nggak kalau Tuhan berkehendak ambil Kala, kita bisa apa?”

Lagi-lagi semua orang dibuat kagum akan sosok Kala yang mengucap kata itu dengan tenang di ranjang rumah sakit beberapa waktu lalu. Jadi, saat ini Kala hanya mengkonsumsi obat pereda nyeri dan memutuskan berhenti dengan prosedur terapi. Pengobatan untuk penyakitnya itu benar-benar menyakitkan, dia lelah harus terus menahan tangis karenanya.

Jadi, di sini dia sekarang. Terduduk di atas kursi roda setelah membuka banyak sekali kado yang Pandu sediakan. Rasanya masih sama, bahagia. Anak itu tertawa dalam kondisi lumpuh yang sebenarnya. Ya, sakit kali ini benar merenggut kemampuan kerja otaknya. Dia sama sekali tak bisa berjalan, bahkan untuk berdiri rasanya sangat kepayahan.

“Kak Pandu, apa Kala boleh minta sesuatu?” Kala mengusap darah di hidung dengan tissue yang tak pernah absen dari genggamannya.

“Ya, manisnya Kakak ingin apa?”

“Apa Kala boleh ketemu Ayah, Bunda dan kakak-kakak Kala? Dokter bilang keadaan Kala sedang stabil ‘kan?” Kala bergumam pelan.

Rindu di dalam sana menyesakkan. Oh, andai malam bisa bersuara, mungkin dia akan menertawakan Kala yang tiap malamnya menulis kata untuk menyampaikan rindu pada keluarganya.

Sungguh, Pandu tidak mau menolak. Demi apapun, permintaan Kala baginya adalah mutlak. Ya, apapun yang Kala inginkan selama ini tak pernah dia abaikan. Maka kali ini, dia akan jadi seperti biasanya, mengusahakan apa yang Kala pinta.

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang