Malam hari, Kala dan Prima sedang terduduk di sofa ruang tengah. Televisi menyala di depan sana, tapi tak ada yang menontonnya. Oh ya, Kala sedang fokus pada Prima yang mengajarinya bermain sosial media.
"Nah, kamu 'kan suka banget baca. Ini ada aplikasi bagus, jadi di aplikasi ini kamu bisa baca banyak cerita lho Dek, genrenya juga macem-macem. Nanti, kalau novel bacaan kamu habis, kamu pinjem aja ponsel Kakak buat baca cerita-cerita dari sini," jelas Prima dengan senyuman lebarnya.
"Woah, keren. Kakak suka baca cerita di sana juga?"
"Nggak sih, he he, Kakak cuma download aja, tapi jarang dipakai." Prima kembali ke layar utama ponselnya dan mulai mengenalkan aplikasi lain pada Kala.
Tok tok tok
Senang bercengkrama, suara ketukan pintu membuat mereka berhenti bicara. Kala lebih dulu bangkit, pamit untuk membuka pintu.
"Permisi, pesanan atas nama Narega Gautama."
Kala tersenyum, meraih dua kantong kresek yang disodorkan kurir itu. Setelah mengucap terimakasih dan menandatangani tanda terima, Kala segera masuk kemudian menutup pintu rumahnya.
"Siapa, Dek?" tanya Prima kala Kala sudah kembali terduduk di sampingnya.
"Kurir Kak, nganterin pesanan makanan dari Kak Rega." Kala membuka kantong kresek itu dan mengeluarkan makanannya.
"Woah, seafood! Kak Rega tahu banget aku suka seafood. Punya kamu apa?" Prima memekik setelah berhasil membuka bagiannya lebih dulu.
Kala membuka kotak yang ada di tangannya kemudian menghela napas berat sebelum berucap. "Sama Kak."
Kak Rega, aku 'kan alergi seafood. Kala membatin masih dengan senyum kecilnya.
"Bentar, bukannya kamu alergi seafood, ya? Duuuh, Kak Rega kok malah pesenin yang sama sih? Ya udah Dek, Kakak suruh Kak Rega pesen yang baru, ya?" tawar Prima.
"Nggak usah Kak, gak pa-pa, kasihan juga Kak Rega kalau harus diganggu waktu kerjanya. Kakak makan aja! Kala sore tadi udah makan kok di café Bang Wiru." Kala tersenyum sambil menutup kembali kotak makanan miliknya.
"Tapi itu sore, ini udah malem, Kal. Kamu pasti udah laper lagi 'kan?"
"Nggak kok. Udah, Kakak makan aja, ya? Kala beneran kenyang." Senyum Kala merekah, berusaha memperlihatkan dirinya baik-baik saja.
"Ya udah deh kalau gitu. Kak Rega tuh pasti lupa kalau kamu alergi seafood. Ngeselin emang."
Atau mungkin Kak Rega bukan lupa, tapi gak pernah tahu dan gak mau tahu kalau aku alergi seafood, Kak.
Kala menghela napas lagi, mengalihkan pandangan ke arah televisi dan mulai terlarut menonton acara favoritnya.* * *
Sedang di ruang kerjanya, Pandu tampak tak fokus. Rega sempat bercerita tentang orang tuanya yang menginap di rumah pamannya. Dia jadi kepikiran tentang adik kecilnya yang mungkin belum makan malam. Maka dengan itu, Pandu melangkah ke ruangan Rega untuk menanyakan keadaan Kala.
"Ga, pinjem ponsel!" seru Pandu saat pertama kali memasuki ruangan editor.
Ruangan itu cukup sepi karena pekerja sudah jadwalnya pulang, tapi Rega masih di sana, terduduk menghadap komputer untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda karena menjemput salah satu adiknya.
"Hah? Mau ngapain?"
"Telpon Prima dong, gue mau nanya Kala udah makan apa belum." Pandu terduduk di salah satu kursi kemudian menengadahkan lengannya, meminta ponsel Rega.
"Gak perlu. Gue udah pesenin seafood kok buat mereka," jawab Rega santai.
Pandu mengernyit. "Seafood? Buat adek gue juga? Ga, jangan bilang lo nggak tahu kalau Kala alergi seafood!"
"Hah? Sejak kapan dia punya alergi? Jangan bercanda!"
"Ck. Matiin komputernya! Ayo balik, beli makanan baru buat dia!" Pandu mendecih pelan sebelum keluar duluan dari ruangan Rega.
Emang iya? Sejak kapan Kala punya alergi? Rega membatin.* * *
Prima sudah selesai dengan acara makannya. Dia menghela napas pendek saat melirik pada Kala, apakah adiknya itu kelaparan? Ah, jika dilihat dari samping begini Kala sangat mirip dengannya, oh, dengan Rega juga. Mereka bertiga punya proporsi wajah serupa di bagian alis dan mata.
"Dek," panggil Prima.
"Kenapa?"
"Photo yuk!"
Kala mengernyit, tak paham dengan ucapan Prima. Namun, saat kakaknya itu mengangkat ponsel yang sudah ada di menu kamera depan Kala terkekeh dan mengangguk semangat. Iya, setidaknya Prima masih bersikap sangat baik, menyayangi dia sebgaimana adiknya sendiri.
"Okay, ayo! Deketan dong duduknya!" suruh Prima yang tanpa bantahan dipatuhi adik bungsunya.
"Satu, dua---"
Cekrek
Cekrek
Cekrek
Cekrek
Empat photo terambil dan Prima memutuskan untuk menyudahi sesi photo bersamanya. Dia melihat-lihat hasil photo itu dan tersenyum tipis.
"Bagus nih. Kakak upload boleh ya?" Prima meminta izin dengan senyum lebar sampai kedua matanya tampak menyipit.
"Iya, boleh Kak."
Setelah Prima kembali sibuk dengan ponsel, Kala meraih remot untuk memindahkan acara yang sedang iklan di layar televisi sana.
"Hallo, Kakak pulang."
Sudah bisa ditebak. Rega, kakak mereka membuka pintu dengan satu lengan menenteng kantong kresek berukuran sedang.
"Dek, gak dimakan 'kan seafood-nya?" Rega bertanya lebih dulu pada Kala, tapi tubuhnya tetap saja mengarah pada Prima untuk menanggapi pelukan selamat datang adiknya itu.
"Maaf Kak, Kala gak bisa makan."
Rega mengangguk kecil. "Gak apa. Nih, bukan seafood. Makan, ya?"
Senyum Kala merekah saat Rega menyodorkan kantong kresek itu padanya.
Jadi Kak Rega tahu kalau aku alergi seafood dan sengaja bellin makanan baru? Kala lagi-lagi membatin.
Ah, hatinya menghangat saat itu juga.
"Makasih Kak."
"Ah, itu dari Pandu. Kamu temuin dia dulu geh, bilang makasih! Nunggu di luar katanya."
Senyum yang beberapa detik lalu tampak mengembang luntur perlahan, dada yang tadi menghangat juga berubah sesak. Kala menggigit bibir bawahnya, lagi-lagi harus menelan luka dari harapan bodoh yang ia buat.
"Prim ngantuk? Mau tidur sekarang?" Rega bertanya pada Prima yang terdiam nyaman di pelukannya.
"Boleh."
"Ya udah. Dek, kalau udah kamu kunciin pagar sama pintu! Lampunya matiin juga, ya?" pesan Rega sebelum mengantar Prima ke kamar. Mungkin menemani hingga adik pertamanya itu terlelap.
Kala beranjak dan melangkah gontai keluar rumah setelah dua kakaknya tak ada di sana. Dia melihat Pandu yang berdiri di beranda rumah, menatapnya dengan senyuman cerah.
"Kak, boleh Kala peluk Kakak?" gumam Kala pelan.
"Eum, tumben minta peluk duluan. Ya boleh dong. Sini!" Pandu merentangkan kedua lengannya yang langsung disambut cepat oleh Kala.
"Kala juga pengen rasain pelukan Kak Rega. Apa rasanya sehangat pelukan Kak Pandu? Kenapa Kak Rega gak tahu Kala alergi seafood sedangkan dia tahu banget makanan favorit Kak Prima? Kenapa Kala gak pernah ditemani tidur juga?" Kala kembali bergumam, kedua lengannya meremat pelan pakaian kerja bagian belakang yang Pandu kenakan. "Kala 'kan adik Kak Rega juga," lirihnya pelan
Menyadari Rega sudah melakukan sesuatu yang membuat adiknya jadi seperti ini, Pandu mengepalkan lengan di belakang tubuh Kala. Dia lelah menahan diri. Rega perlu diberi pelajaran agar tidak terus-terusan membuat Kala sedih seperti ini.
"Pelukan Kak Pandu lebih hangat dan kamu bisa dapetin itu kapan aja, Nakala!" Pandu melunak, beralih mengelus punggung Kala lembut.
"Sayang Kak Pandu, sayang banyak-banyak." Kala mengeratkan pelukannya, meredam tangis yang perlahan terdengar.
"Kak Pandu jauh lebih sayang lho sama anak manis satu ini. Ah iya, makanan dari Kakak udah dimakan belum? Ada cheese cake kesukaan kamu lho," Pandu berbisik di kalimat terakhirnya.
"Huh?"
"Gak tahu 'kan kamu? Udah, sekarang masuk, makan, bersih-bersih terus istirahat! Okay?" Pandu meregangkan pelukan, mengusap air mata yang mengalir di pipi Kala. Ini kali kedua Kala mengeluarkan air mata di hadapannya.
"Iya Kak, makasih untuk semuanya."
"Sama-sama, ganteng, baik, manis. Ya udah, Kakak pulang dulu, ya?"
Kala mengangguk, mempersilakan Pandu untuk pergi dari rumahnya. Dia mengantar sampai pagar sekalian menggembok pagar itu setelah Pandu masuk area rumah besar di samping rumah
nya.
"Selamat malam sayangnya Kak Pandu!" Pandu melambai dan terkekeh di halaman rumah sebelah.
"Selamat malam, Kak!"
Kala tersenyum, melangkah ke dalam rumah. Mengunci pintu, matikan lampu dan bawa makanan pemberian Pandu ke kamarnya. Perutnya lumayan lapar, jadi dia memutuskan untuk makan sebelum terlelap.to be continue

KAMU SEDANG MEMBACA
retak; geminifourth
Fanfictionwalau terbiasa, nyatanya tetap ada satu bagian retak dalam diri nakala yang tidak bisa diperbaiki setiap kali dia menerima perlakuan tak baik dari anggota keluarganya.