Apa sih yang ada dibenak kalian ketika mendengar anak bungsu? Mungkin sebagian besar pemikirannya tertuju pada sosok anak yang paling dimanja, disayang dan dituruti segala kemauannya. Tapi nyatanya, semua itu tidak berlaku untuk Nakala.
Sejak awal, bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar dia sudah sering disuruh membantu pekerjaan rumah seperti mencuci piring, menyapu dan sejenisnya. Dulu sekali, ayahnya pernah berkata bahwa Bunda melakukan itu agar dia menjadi anak yang pandai dan siap dengan kehidupan mandiri di masa depan. Namun, semakin lama kalimat dari ayahnya menguap begitu saja karena semua yang dibebankan padanya sama sekali tak pernah diberikan pada dua kakaknya juga. Semakin bertambah usia, maka semakin Kala kehilangan rasa percaya terhadap alasan ayahnya. Memang, hanya Nakala saja yang harus hidup mandiri di kemudian hari?
Prima, kakak keduanya itu tak pernah diizinkan menyentuh pekerjaan rumah barang sedikitpun walau dia anak perempuan di antara ketiganya. Alasan yang Kala dapat ketika bertanya mengenai perbedaan perilaku keluarga terhadap dia dan Prima pada akhirnya membuat dia maklum pada situasi.
“Prima lahir prematur, beberapa fungsi tubuhnya lemah dan gak bisa kerja kayak kamu, Dek. Nurut aja kalau Bunda nyuruh! Kamu itu sehat, harusnya bersyukur punya kesempatan berbakti sama Bunda dengan bantu-bantu. Jangan banyak ngeluh!”
Itu kalimat yang Rega tuturkan hingga membuat Kala sadar bahwa hidupnya memang lebih beruntung dari Prima.
Walau terkadang iri pada perlakuan semua orang di rumah terhadap kakak perempuannya itu, Kala tak pernah terang-terangan menunjukkan. Jika merasa gelisah dengan segala pemikiran buruknya, Kala hanya akan merenung di dalam kamar, membaca koleksi novel pemberian Pandu dalam keheningan. Omong-omong, dia sama sekali tak punya alat komunikasi seperti anak-anak seusianya. Orang tuanya tidak pernah menyinggung soal itu, pun Nakala tidak sampai hati meminta, mengingat keadaan ekonomi keluarganya juga biasa-biasa saja.
“Kala,” sapa seseorang dari arah depan.
“Hai, kenapa?”
“Ini buku catatan kamu yang kemarin aku pinjam. Makasih lho. Oh ya, omong-omong kamu mau pulang bareng aku nggak? Tuh jemputan aku udah dateng, lagian kayaknya udah mau hujan deh.”
Dira, teman sekelasnya bertanya sambil menunjuk mobil hitam yang biasa menjemputnya saat pulang sekolah tiba.
“Nggak usah deh Ra, ‘kan nggak searah juga. Kamu duluan aja, bentar lagi bus-nya juga dateng kok,” balas Kala setelah memasukkan buku catatan tadi ke dalam tasnya.
“Yakin?”
“Iya. Udah, kamu pulang aja sana! Kasihan supirnya nungguin,” suruh Kala dengan senyum tipisnya.
“Hm, ya udah deh, aku duluan ya? Dadaaah...” Dira melambai kemudian berlari menuju tempat mobil keluarganya terparkir.
Sepeninggal Dira, Kala hanya berdiri di halte, kembali menunggu bus. Waktu berlalu, tapi yang ditunggu juga tak kunjung datang.
“Duuuh, bus-nya perasaan telat terus deh hari ini,” keluh Kala tepat dengan rintikan hujan yang mulai turun. “Mana hujan lagi.”
Kala celingukan, mencari tempat berteduh karena halte yang ditempatinya sama sekali tidak melindungi tubuh dari hujan yang mulai deras. Dalam keadaan seperti ini, dia merutuki kecerobohannya karena tidak membawa payung saat berangkat sekolah.
“Ya ampun, udah kotor karena bersihin gudang terus sekarang kehujanan juga. Bus, dateng dong!” Kala bergumam, sedikit menggigil karena tubuhnya yang total basah.
Iya, konsekuensi kesiangan yang dia dapat dari pihak sekolah adalah membersihkan semua gudang yang jumlah totalnya ada empat. Kala tidak mengeluh, sudah terbiasa bekerja sebegitu banyak di rumahnya. Tapi kali ini, hujan memperburuk keadaan. Dia tidak terlalu tahan dingin, jadi cepat menggigil jika terkena hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
retak; geminifourth
Fiksi Penggemarwalau terbiasa, nyatanya tetap ada satu bagian retak dalam diri nakala yang tidak bisa diperbaiki setiap kali dia menerima perlakuan tak baik dari anggota keluarganya.