sebelas

1.9K 149 37
                                        

Suara riuh karena panik di seluruh penjuru rumah keluarga Ayah menyapa pagi. Prima, gadis itu sempat mengerang karena kesakitan di bagian perutnya. Mengetahui Kala yang tak pulang semalaman tanpa mengabari membuat hati kecil Prima bagai tercubit. Dia menyesal sudah bersikap tidak baik beberapa hari ini.

"Bunda, Adek di mana?" Lagi, tangis Prima muncul. Bukan karena sakit di perutnya, dia hanya terlalu khawatir karena Kala tak pernah selama ini tidak ada di rumah.

"Kakak kenapa berhenti cari Adek?" Prima bertanya pada Rega yang menatap cemas padanya.

"Prima, pikirin kesehatan kamu! Dari semalem kamu belum makan, ayo makan dulu! Nanti siang kita cari Adek lagi."

"Ini pasti salah Prim, hiks... ini pasti karena Prim beberapa hari ini jahat sama Adek. Kak Rega, ayo cari Adek!" Prim terisak, lengannya masih memegangi perut. Maag-nya kambuh mungkin saja.

"Sayang, udah! Nanti Kakak sama Ayah cari lagi Adek. Sekarang, kamu makan dulu ya?" bujuk Bunda.

"Nggak, Bunda. Prim mau ketemu Adek dulu. Pasti Adek sedih dan pergi dari rumah karena Prim hiks..."

Isakan gadis itu melemah bersamaan dengan kedua matanya yang perlahan menutup.

"Prima, Sayang, bangun hey!" Bunda memekik panik karena Prima tak sadarkan diri. "Ayah, cepet bawa Prima ke rumah sakit!"

"Kak, gendong adekmu! Ayah mau siapin mobil dulu," suruh Ayah pada Rega.

Si kakak yang tak kalah panik mengangguk, dengan cepat mengangkat tubuh Prima dalam gendongannya. Sedang Bunda berlari ke arah kamar, membawa tas dan beberapa keperluan yang mungkin dibutuhkan.

"Masukin di jok belakang, Kak! Kamu nanti nyusul pakai motor, ya? Takutnya nanti harus pulang-pergi bawa keperluan. Adekmu kalau kambuh suka lama sembuhnya," pesan Ayah yang sudah terduduk di kursi kemudi.

"Iya, Yah."

"Sayang, Bunda sama Ayah berangkat duluan, ya? Kunci pintu dan segera susul ke rumah sakit biasa!" Bunda datang, mengecup singkat pipi putra sulungnya sebelum ikut masuk ke jok belakang.

"Iya, Bunda. Hati-hati!"

Rega mengacak surainya setelah mobil Ayah melaju. Kedua lengannya terkepal kuat hingga buku-bukunya memutih.

"Sialan. Kapan lo berhenti bikin masalah di keluarga gue, Kala!?" umpat Rega sambil menendang udara.

Pemuda itu mengembuskan napas berat, memilih berbalik untuk masuk ke rumah jika suara seorang pria lain tidak terdengar dekat dengannya.

"Yuhuuu... adek gue mana? Tumben belum nyapu halaman."

Saat menoleh, Rega mendapati Pandu yang memakai setelan santai. Oh, ini hari Minggu omong-omong.

"Ga, kok diem aja? Bilangin sama Kala, hari ini jam sepuluh jadi ketemu gebetan gue. Okay?" Pandu menaik-turunkan kedua alisnya. Masih bersikap biasa walau dia sudah mengetahui semuanya.

"Dia gak balik dari kemarin, gak tahu ke mana, nyusahin aja hidupnya," timpal Rega sengit.

"Hah? Gak balik? Maksud lo?" Pandu bertanya dengan nada panik luar biasa. "Dia gak balik ke rumah? Nggak nginep di rumah lo gitu?"

"Ya, dia gak balik, terakhir lihat pas berangkat sekolah kemarin. Udah bosen kali hidup di sini."

"Dan lo nggak nyari dia!? Malah santai kayak gini!? Brengsek!"

"Lho, kok lo nyolot? Dia pergi ya emang maunya sendiri, gak ada yang nyuruh. Ya kalau itu maunya ngapain gue cari? Terserah dia dong." Rega menjawab dengan enteng.

"Anjing emang!"

Pandu maju beberapa langkah, mencengkeram kuat kerah baju Rega. Namun, saat satu pukulan hendak melayang, kepalan tangan Pandu berhenti di udara. Tiba-tiba ucapan Kala beberapa waktu lalu terngiang di telinganya. Kalimat yang diucapkan Kala bahkan saat pertama kali pertemuan mereka.

Kala sayang sekali sama Kak Rega. Kalau ada orang yang mau jahatin Kak Rega tolong Kak Pandu lawan ya? Bawa orang yang jahatin Kak Rega ke hadapan Kala, biar Kala pukul dia. Kala gak mau lihat Kak Rega luka.

Iya, sebegitu sayang Kala pada Rega, tapi balasan yang didapat malah seperti sekarang.

"Gak usah dateng lagi ke kantor gue!"

Pandu mendorong tubuh Rega hingga mundur beberapa langkah. Pria itu berbalik menuju rumahnya setelah meludah di hadapan Rega. Benar, dia harus membatalkan acara bertemu dengan si gebetan dan mengubah jadwal jadi mencari si adik kesayangan.

Kala, sialan. Awas aja, lo harus tanggung jawab sama semua kesialan di hidup keluarga gue. Rega mengumpat penuh emosi dalam hati.

* * *

Setelah satu jam terisak di depan pusara sang ibu, Kala akhirnya beranjak. Dia mengucap banyak kata maaf sebelum berbalik, mengikuti keluarga Rey dengan wajah tertunduk.

"Kamu yakin mau kembali ke keluarga itu? Kami akan tetap jemput kamu besok." Papa berucap, mengusap puncak kepala Kala.

Bahkan mereka gak tanya aku inginnya hidup di mana. Apa mereka pikir aku barang? Boneka yang bisa seenaknya mereka ambil setelah terbiasa dengan kehidupanku sebelumnya? Batin kala bertanya-tanya.

"Ini untuk yang terakhir. Kala hanya ingin habisin sisa waktu dengan keluarga Ayah, Om."

"Ya sudah. Ayo kita antar!"

Kala mengangguk. Perjalanan dari pemakaman menuju rumah Ayah ternyata tidak begitu jauh, jalanan juga lumayan lenggang hingga mereka sampai dengan cepat. Kala segera pamit saat mobil berhenti di depan pagar rumahnya.

"Makasih Om, Tant, Kak. Kala pamit dulu."

"Iya, jaga diri baik-baik!" pesan Mama.

Kala mengangguk. Setelahnya, dia segera keluar dengan air mata yang kembali meluncur. Anak itu berjalan memasuki pekarangan rumah, berakhir terduduk di sofa ruang tengah. Tadi pintu terkunci tapi dia menemukan kunci rumah di bawah pot bunga dan segera masuk setelah berhasil membuka pintunya.

Apa kalian berpikir Kala senang menemukan keluarga ibunya? Apa Kala bisa menerima begitu saja saat di enam belas tahun kehidupannya dia seakan dibuang oleh mereka? Apa semudah itu menerima kenyataan tentang siapa ibu kandungnya? Tidak. Kala belum sepenuhnya menerima.

Kala tidak marah, sama sekali tidak. Dia hanya kecewa. Nyatanya, seberapa baikpun keluarga itu sekarang, yang selama ini merawatnya, menemani masa sulitnya adalah keluarga pemilik rumah ini.

Keluarga yang pertama kali menjadi pendengar sejak dia belajar mengucap kata.

Keluarga yang pertama diingat wajahnya kala kedua mata bisa melihat objek dengan sempurna.

Keluarga yang saat dia kecil dulu membantunya belajar berjalan hingga saat ini dia mampu berlari tanpa takut terjatuh di luar sana.

Keluarga ini, yang mengantarnya pergi saat pertama kali masuk sekolah, mengajarinya banyak hal termasuk jadi setulus sekarang.

Dan saat keluarga ibunya tak menerima kehadirannya, keluarga ini yang mau menampungnya.

Dia mengingat jelas bagaimana Bunda mengajarinya mencuci piring untuk yang pertama kali. Ayah yang selalu membuatnya kagum akan sosok tegas, tak pernah mengeluh lelah dengan semua pekerjaan yang menggunung tiap harinya. Lalu, rasa kagum pada Rega yang setia mengajari Prima mengerjakan PR bahkan saat pria itu baru pulang bekerja. Dan terakhir, Prima yang selalu menyambut kepulangannya dengan senyum teramat ceria jika gadis itu pulang lebih dulu dari sekolah sana.

Keluarga ini terlalu didamba oleh sosok manis yang kini kembali terisak di atas sofa. Maka, saat kenyataan menyentaknya, memaksa dia untuk pergi dari sana Kala sama sekali sulit menerima. Dia bukan orang yang tidak tahu terimakasih. Enam belas tahun berada di sini adalah bukti kalau keluarga Ayah menyayanginya.

Jika tidak sayang, kenapa tidak membuangnya? Kenyataan yang dia dapati mereka masih memberinya tempat tinggal, menaunginya dari terik panas dan deras hujan.

Jika tidak peduli, kenapa dia mempunyai pakaian dan bisa bersekolah?

Jika mereka benci, maka panggilan kesayangan 'Adek' itu tak mungkin pernah dia dengar.

Kala paham betul. Alasan mereka bersikap seperti itu sangat masuk akal. Ayah yang mungkin merasa terinjak karena direndahkan keluarga Ibu, Bunda yang mungkin memiliki dendam karena sakit hari akibat perselingkuhan Ayah dan Ibu, Rega yang mungkin saat itu sudah mengerti tentang sakit hati Bunda ikut bersedih hingga menyimpan dendam yang sama.

Mereka jelas punya alasan. Seberapa keras pun mencoba untuk berusaha membalas perbuatan kasar mereka Kala tak akan pernah bisa. Di sini, dia tetap merasa jadi pihak yang paling bersalah. Semua orang di rumah ini sudah sangat berjuang keras memperlakukannya sebaik mungkin walau rasa tak suka terhadapnya sangat besar. Tapi, apa keluarga ibunya ada berjuang? Setidaknya untuk mempertahankan dia di rumah itu. Tidak, bahkan Mama berkata selang beberapa saat kelahiran dia langsung diasingkan dari keluarga itu.

Dengan semua hal yang Kala tahu, apa kalian masih berpikir akan menyenangkan tinggal di keluarga yang dulu tak sudi menampung kalian? Mungkin di sana Kala benar bisa hidup dengan harta melimpah. Tapi hatinya belum bisa menerima.

Hidup di keluarga Ayah mengajarkannya bahwa kebahagian bukan tentang materi saja. Di sini, cukup dengan berkumpul dan melihat semua anggota keluarganya sehat Kala sudah sangat merasa bahagia. Lalu, dengan sekejap mata keluarga ibunya ingin merenggut kebahagian dia setelah enam belas tahun menganggapnya seolah tak ada?

Kala tahu, sangat tahu. Dua pihak itu punya alasan masing-masing. Tapi, di sini apa salah kalau dia membela ayahnya sendiri? Ya, dia hanya belum bisa menerima, mungkin seiring berjalannya waktu dia juga akan hidup bahagia dengan keluarga dari ibu.

"Maaf Bu, Kala terlalu sayang dengan keluarga ini. Bukannya Ayah itu ayah kandungnya Kala? Apa nggak boleh tetap di sini aja? Hiks... kenapa semuanya sesulit ini?"

Mengingat kembali bagaimana cara om dan tantenya mengucap tegas bahwa dia harus kembali ke rumah megah keluarga ibunya tanpa mau mendengar pilihannya. Semuanya terlalu meyakitkan. Mungkin bagi kalian itu akan lebih membahagiakan, tapi Kala benar-benar asing dengan semua orang di dalam rumah itu. Dia sudah sangat terbiasa ada di rumah ini bagaimanapun sikap orang-orangnya.

"Aku nggak boleh sedih!" Kala menyemangati diri sendiri. "Tapi--- kenapa rumah sepi ya?"

Anak itu beranjak dari duduknya, mencari anggota keluarga yang tidak dia temukan kehadirannya.

"Kok nggak ada? Hm, piringnya belum dicuci." Kala terkekeh melihat tumpukan piring kotor, mungkin bekas makan malam.

Dengan senandung pelan sebagai pengiring, Kala kembali pada kegiatan sehari-harinya. Dia membersihkan seisi rumah, tampak lebih bersemangat walau kedua matanya sembab.

* * *

Keadaan Prima sudah membaik ketika malam hari datang. Namun, aksi mogok makannya masih berlanjut hingga sekarang.

"Prima, makan dulu ya?" Entah untuk yang keberapa kali Bunda membujuk puterinya itu.

"Mau ketemu Adek dulu, baru Prima makan."

Ayah menghela napas berat kemudian mengalihkan pandangan pada si sulung yang sejak tadi hanya diam.

"Kak, ayo cari Adek!" putus Ayah.

"Ayah di sini aja, biar Rega yang cari Adek. Ayah jaga Bunda sama Prima aja, ya?" saran Rega.

"Ya udah, tapi kamu ke rumah dulu, bawa baju ganti buat kita!"

Rega mengangguk. "Ya udah, Rega pamit, Yah. Prima, makan ya? Kakak berangkat cari Adek sekarang."

Prima tersenyum lebar dengan anggukan kepalanya. Bertepatan dengan Rega yang keluar kamar, Prima baru mau membuka mulutnya untuk makan. Dia harus terlihat sehat karena adiknya pasti akan datang ke sini.

* * *

Sedangkan malam hari di rumah keluarga Ayah, Kala baru selesai membasuh tubuh dan berganti pakaian. Dia kembali terduduk di ruang tengah, menyalakan televise dan bersandar pada punggung sofa.

"Pada ke mana, ya?"

Kala melirik jendela samping pintu utama, tapi tak ada tanda-tanda mobil Ayah atau motor Rega datang. Karena lelah dan juga kenyang setelah memakan masakannya, kedua mata Kala perlahan tertutup. Baru akan terhanyut ke alam mimpi, seseorang menyentak kasar kerah bajunya dan tubuh belakangnya menabrak dinding ruang tengah yang dingin karena didorong kasar.

"Akh! K---Kakak, Kak Rega dari mana aja? Ada apa?" cicit Kala ketika tahu siapa orang yang kini menghimpitnya di dinding ruangan.

"Lo yang dari mana, hah!? Ada apa? Lo masih tanya ada apa setelah semua masalah yang lo buat?"

Bugh'

Ah, mari sebut saja Rega tak memiliki akal. Bagaimana bisa pria dewasa sepertinya menghantam tubuh mungil seperti Kala dengan pukulan kuat?

"Sssh... Sakit Kak, Kakak kenapa?" Kala yang tersungkur meringsut, berusaha menjauh dari Rega yang berjalan ke arahnya dengan seringai kecil.

"Kenapa kata lo? Sadar gak sama semua tingkah bodoh lo itu? Lo ke mana aja dari kemaren, hah!? Adek gue sakit, mogok makan karena ngerasa bersalah atas perginya lo! Bisa gak sekali aja gak usah nyusahin hidup keluarga gue!?"

Ini keluarga Kala juga, Kak.

Lengan Kala mulai gemetar karena sentakan Rega di depan wajahnya. Anak itu meraih apapun pegangan yang bisa diraihnya kemudian menatap was-was pada Rega yang kembali mengepalkan lengan.

"Maaf, Kak, maaf. Kala habis ketemu keluarga Ibu kemarin." Kala terduduk di pojok ruangan, menundukkan kepalanya dalam.

"Oh, gitu cara lo berterimakasih? Pergi gitu aja dan buat semua orang nyariin lo? Ngerasa udah sehebat apa sampe gak pamit sama orang rumah, hah!?"

"Sssh..."

Kala mendesis saat rambut belakangnya dijambak oleh Rega hingga wajahnya kini mendongak. Air matanya kembali membanjir.

"Maaf Kak, Kala hanya ingin tahu hiks... kemarin niatnya mau pulang, tapi Kala mau ke makam Ibu," jelas Kala dengan suara yang hampir habis.

"Oh, si pelacur itu udah mati? Bagus deh, jadi lo gak perlu malu punya ibu kayak dia. Denger ya, selama ini hidup keluarga gue hancur karena hadirnya ibu lo. Ditambah lo harus tinggal di rumah ini. Lo tahu kenapa gue benci banget sama lo?" Rega memperkuat cengkeraman di rambut Kala hingga anak itu memejamkan matanya, menahan sakit. "Karena lo, Bunda harus lahirin Prima secara prematur dan operasi untuk angkat rahimnya. Karena lo, Ayah kehilangan pekerjaan dulu di perusahaan tempat Ayah cari nafkah. Karena lo, Bunda hampir meregang nyawa di rumah sakit sana. Karena lo, Prima harus dapet penanganan serius saat hari pertama kelahirannya. Karena lo, semua hal buruk yang terjadi di keluarga gue itu karena lo, Nakala! Bahkan sebelum lahir lo udah jadi malapetaka di hidup gue."

Kenyataan baru lagi? Hati Kala berdenyut nyeri, bahkan sakit akibat jambakan Rega tak lagi terasa. Dia, sumber semua masalah di keluarga ini. Dia yang menyebabkan Bunda dan semua anggota keluarga mengalami hal sulit dan dia baru tahu? Astaga, dosa macam apa lagi yang akan dia ketahui setelah ini?

"Hiks... nggak, aku nggak tahu apa-apa hiks.."

Rega terkekeh, kembali menguatkan jambakan pada rambut Kala agar anak itu berdiri di hadapannya.

Bugh'

Satu pukulan lagi hingga wajah manis Kala total lebam karenanya. Yang anak itu lakukan hanya terisak, tidak mau menahan atau melawan sang kakak. Benar, Rega perlu pelampiasan atas segala kesedihannya. Semua orang sudah cukup menahan sakit karena kehadirannya, mungkin ini saatnya dia menerima balasan.

"Sialan! Dan sekarang lo buat orang tua gue susah, lo buat gue dipecat dan Prima kambuh di rumah sakit sana. Puas lo!?" Rega berteriak keras di depan wajah Kala.

"Ma---maaf, Kak."

"Tcih! Kenapa lo gak ikut mati sih sama Ibu lo kalau di dunia cuma nyusahin doang? Kenapa lo malah balik lagi ke rumah ini? Belum puas buat keluarga gue sebegini banyak masalah!?" Rega menghempaskan tubuh Kala ke dinding hingga terdengar bunyi suara berdebum yang lumayan keras.

Kalimat Rega barusan membuatnya tersadar, lagi-lagi kehadirannya tidak diharapkan. Iya, selama ini dia mungkin sakit hati tiap kali Rega berkata sinis, tapi kali ini berhasil membuat hatinya mati. Mati dalam artian dia merasa tak akan pernah mengalami hal yang lebih sakit dari ini pada hatinya.

"Apa Kak Prima baik-baik aja?" lirih Kala seakan semua sakit yang dia rasa tidak ada apa-apanya. Ah, dia sudah benar-benar mati rasa sepertinya.

Plak'

Tamparan yang membuat pipi kebas jadi jawaban. Kala paham, Prima pasti membuat khawatir semua orang hingga Rega kini berlaku macam orang kesetanan.

Seakan diingatkan. Rega segera berjalan meninggalkan Kala, menyiapkan semua keperluan Ayah dan Bunda di rumah sakit sana. Sedang Kala kini terduduk, di teras ruang tengah dengan isakan pelannya. Dia mengangkat lengan, mengusap bagian di mana Rega membuat luka.

Brak'

Rega keluar dengan satu ransel hitam di punggungnya. Dengan cepat Kala beranjak.

"Apa Kakak mau ke rumah sakit lagi? Kala ikut."

Rega tidak menjawab, hanya melenggang begitu saja keluar rumah. Kala juga ikut beranjak, tak sempat berinisiatif membersihkan luka-lukanya. Dia mengunci pintu kemudian berlari ke arah Rega yang mengumpat di dekat vespa-nya.

"Kenapa, Kak?"

"Sial lagi 'kan gue." Rega melirik sinis pada Kala.

Si vespa mogok dan mungkin mereka harus menunggu bus atau taxi untuk pergi ke rumah sakit. Maka, dengan sisa kemarahannya, Rega melangkah begitu saja menuju jalanan sana.

"Kak Rega tunggu!" Kala berlari untuk menyamai posisi Rega walau sia-sia saja, sesekali meringis karena nyeri di beberapa bagian tubuhnya.

Rega berjalan makin cepat tapi tetap memastikan Kala ada di belakangnya. Ya, dia perlu Kala demi melihat Prima makan dan kembali sehat.

"KAK REGA AWAS!!"

Terlalu nyaring jika disebut bisikan tapi itu memang samar di pendengaran Rega yang tengah hanyut dalam lamunan. Saat kepalanya hendak menoleh, dia benar-benar tidak sempat menangkap kejadiannya.

Tin..  .tin...

Brak'

Suara benturan panjang mendominasi jalanan sepi dekat rumahnya. Rega meringis, memandangi sikutnya yang terluka karena dorongan keras seseorang.

"Ck, bangsat! Siap---"

"Kala!"

Rega berhenti di tengah kalimat saat mendengar pekikan seseorang yang suaranya jelas dia kenal. Pria itu melirik ke sebrang sana, mendapati Pandu yang berlari dari dekat gerbang rumah mewahnya menuju ke--- tunggu! Bukannya itu Kala?

Napas Rega tercekat saat melihat adiknya tergeletak dengan darah yang membanjir dari bagian kepala dan hidungnya. Dengan cepat Rega berlari kemudian bersimpuh di samping Pandu yang sudah dilumuri darah karena memangku kepala Kala pada kedua paha.

"Maaf Nak Pandu, sepertinya pengendara sedang mabuk." Seorang warga memberitahu pada mereka.

"Pokoknya pengendara itu harus dibawa ke polisi. Pak maaf, saya minta tolong segera panggil ambulance! Adik saya harus cepet dibawa ke rumah sakit." Pandu terisak. Kenapa pencariannya pada sosok Kala berakhir dengan keadaan seperti ini?

"Baik, Nak Pandu."

"Kala," lirih Rega dengan mata yang memanas.

Kenapa lo gak ikut mati sih sama Ibu lo kalau di dunia cuma nyusahin doang?

Seketika rekaman makiannya barusan pada Kala kembali berputar di pikiran. Apa Tuhan menjadikan kata-katanya barusan sebagai do'a? Apa itu akan benar-benar terjadi pada Kala yang menolongnya?

"Kenapa banyak lebam di wajah kamu, Kal?" Pandu menjilat bibirnya yang terasa kering. Perasaannya benar-benar dalam keadaan kacau sekarang.

"Ambulance akan segera datang, Nak. Polisi juga akan ke sini untuk urus si pengendara."

Rega tidak sadar, setetes air mata meluncur membasahi pipi tegasnya. Melihat Kala yang terpejam tanpa mengucap sepatah kata kenapa harus sesak seperti ini rasanya?

"Sabar, Sayang, manisnya Kakak kuat. Bertahan ya? Sebentar lagi ambulace datang. Kala dengar Kakak 'kan?" Pandu mulai berbicara, berusaha memancing kesadaran Kala.

Rega menatap dua orang itu bergantian. Kenapa saat dalam keadaan terluka adiknya berada di pelukan orang lain?

"Hei, Kala, sadar sebentar, tolong! Kak Pandu gak bisa lihat kamu diem kayak gini."

Dan saat itu, Rega melihat bagaimana seorang Pandu yang arogan di kantor sana meluruhkan ego sebagai seorang pria dewasa. Ya, Pandu terisak, menangis dengan kepala tertunduk dan berkali-kali menggumamkan mana Kala, adiknya.

"Nak Pandu, itu ambulance-nya sudah datang."

Pandu mengangguk cepat, melirik sekitar dan tanpa batuan siapapun mengangkat tubuh Kala ke ranjang dorong yang dibawa bersama ambulance. Melihat Rega ikut beranjak, Pandu menajamkan matanya.

"Peduli setan sama Kala yang bilang kalau lo gak boleh luka."

Bugh'

Pandu menendang kuat perut Rega hingga pria itu tersungkur ke aspal.

"Jangan pernah nyesel sama semua keluakan lo ke Kala! Dan inget, gue gak akan sudi biarin dia ketemu lagi sama lo apalagi keluarga lo!" Pandu meludah untuk yang kedua kalinya di hadapan Rega.

Setelah puas, Pandu segera masuk ke dalam ambulance untuk membawa Kala ke rumah sakit.

Kenapa gue harus nyesel? Bukannya bagus?

Walau seperti itu, Rega masih tetap tampak kebingungan. Bahkan, saat bus datang dia hanya masuk dan terduduk dengan air mata yang turun tanpa diperintah. Dadanya sesak tanpa tahu apa penyebabnya, kedua lengannya begetar dan satu lirihan berhasil keluar dengan sesuatu yang terasa menghantam jantungnya di dalam sana.

"Kala."

Lirihan itu mengundang air mata semakin deras meluncur. Adiknya, yang dengan kejam dia caci maki, yang dia sumpahi agar mati itu malah berbesar hati menyelamatkan nyawanya? Astaga, apa yang baru saja terjadi?

tbc

it's been so long, karena aku gak tega banget sama scene ini gais:" dan ini panjang banget untuk ukuran narasi yang sering aku ketik. kurleb 3000+ kata keknya.

retak; geminifourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang