-10- Dia, Pendengar

71 15 18
                                    

"Yang bener?" tanya Nilam dengan antusias, matanya berbinar-binar mendengar kabar itu. Mereka kini kembali bertemu di sebuah kafe untuk menghabiskan hari bersama.

Aura mengangguk sambil mengerjapkan mata. "Iya," jawabnya. Ia baru saja mengiyakan jika dirinya bertemu dengan Aryan tiga hari yang lalu.

Nilam tersenyum lebar, seakan-akan mendapatkan jackpot. "Aku yakin, nggak lama lagi kamu bakal suka, deh, sama Mas Aryan itu," ucapnya dengan nada setengah bercanda, namun tetap serius. Ia bak seorang peramal yang bisa memperkirakan apa yang akan terjadi nantinya.

Aura hanya menatap Nilam, mencoba mencerna kata-katanya. Ada secercah keraguan dan kepolosan di matanya. Pernyataannya kali ini tidak dibalas dengan apapun oleh Aura, hanya senyum simpul yang mengembang di bibirnya.

"Sekarang hati aku mati rasa, Lam. Aku belum bisa suka sama siapapun," ucap Aura. Akhirnya ia buka suara, setelah beberapa saat terdiam.

Nilam menatap Aura dengan penuh empati. "Aku ngerti, Ra. Setelah apa yang Nico lakuin, wajar aja kamu merasa seperti itu. Tapi, kadang kita nggak bisa ngatur kapan dan dengan siapa hati kita akan terbuka lagi," ucap Nilam sambil meraih tangan Aura, memberikan dukungan lewat sentuhan hangat.

Aura menghela napas panjang. "Iya, mungkin kamu benar. Tapi butuh waktu, Lam. Aku nggak mau terburu-buru," jawabnya, suaranya pelan namun tegas.

Nilam mengangguk. "Itu bagus, Ra. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Yang penting, kamu nggak menutup diri sepenuhnya," ucapnya dengan lembut.

Aura tersenyum tipis, merasa sedikit lebih tenang. "Iya, aku ngerti. Aku juga nggak mau terlalu terpuruk," balasnya. Ia terus berusaha untuk kuat dan menjalani hari-harinya seperti biasa.

Setelah momen yang singkat namun bermakna, Aura dan Nilam kemudian melanjutkan obrolan dengan topik yang lebih ringan. Mereka tertawa dan berbagi cerita, menghilangkan tegangnya suasana sebelumnya. Aura merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Nilam yang selalu ada untuknya.

Beberapa jam berlalu tanpa terasa bagi Aura. Waktunya berlalu begitu cepat saat ia berada dalam kebersamaan dengan sahabatnya, Nilam, yang telah menyemangatinya selama masa kuliah. Namun, akhirnya tiba saatnya bagi Aura untuk pulang ke rumah setelah menyelesaikan waktunya sebagai dokter magang.

Selama di perjalanan pulang, pikiran Aura tidak lepas dari ucapan Nilam. Sahabatnya itu memang selalu penuh dengan prasangka.

Aura merenungkan kata-kata Nilam dengan cermat. Meskipun terkadang prasangka bisa menjadi hal yang tidak menyenangkan, namun kadang-kadang hal itu juga memiliki inti kebenaran yang perlu dipertimbangkan.

"Tapi, kadang kita nggak bisa ngatur kapan dan dengan siapa hati kita akan terbuka lagi"

Aura menghela napas panjang, mencoba mencerna makna dari ucapan sahabatnya itu. Matanya memandang lurus ke depan, melihat lampu-lampu jalan yang masih dalam keadaan padam. Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan Aryan. Senyuman ramahnya, cara bicaranya yang tenang, dan kebaikannya mengajaknya makan siang.

"Tapi kalau ternyata dia juga akan menorehkan luka, aku nggak siap rasanya," gumam Aura di dalam benaknya, perasaan takut dan ragu bercampur menjadi satu.

Ia tiba di rumah dan langsung menuju kamarnya. Ia melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, menatap langit-langit dengan pikiran yang masih berkecamuk. Ia beberapa kali memejamkan matanya hingga ia bertemu sebuah bunga tidur disana.

Belum setengah jam ia terlelap, suara nyaring Devina membangunkan ia dari tidurnya. Kali ini wanita paruh baya itu memanggil dan mendesak Aura agar keluar dari kamarnya. Tanpa pikir panjang, Aura bangun dan menemui sang ibu.

One Of My StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang