Delapan belas

129 12 3
                                    

Jangan lupa vote dan komen serta follow untuk penyemangat ku, syg!

***

Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat rumah kita hancur. Meninggalkan kita seorang diri melihat semuanya lenyap perlahan. Hari ini adalah hari yang begitu sakit bagi Mahen, hari dimana kedua orang tuanya memutuskan untuk ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. Hati anak mana yang tak sakit melewati semuanya, bahkan keduanya mengatakan hal itu tanpa ada pertimbangan sama sekali. Namun Mahen tak bisa melarangnya, sebab mungkin memang mamanya sudah terlanjur sakit akan semua perlakuan sang ayah. Mahen tak ingin egois.

Lalu bagaimana dengan dirinya? Siapa yang harus mengerti semua penderitaannya? Siapa yang akan menganggap bahwa dirinya egois untuk Mahen? Apa ada yang mengerti akan sakitnya sekarang ini. Tak ada. Lalu apa pemuda itu berhak menangis akan takdirnya. Ia pun tak tau.

Pemuda itu duduk bangku di trotoar jalanan. Mentap lurus dengan netra kosong kedepan. Badannya basah terkena hujan yang sejak tadi sudah mengguyur kota dengan dahsyatnya. Dengan perasaan hancur ia memilih pergi dari rumahnya, tak membawa apapun selain tubuhnya yang rapuh. Matanya mulai memerah, dadanya sesak. Dilihatnya kehidupan yang masih terjadi didepannya, padahal dunianya sendiri seakan berhenti disini. Dirinya dibawa kedalam luka yang taka da peduli akan itu. Mahen ingin teriak, namun suaranya keluh.

Namun apa yang harus ia lakukan selain meratap. Dia tau bahwa langit hari ini akan kembali terang, matahari esoknya atau nanti akan tetap bersinar. Jingga akan kembali. Walau dirinya tenggelam pada luka, tetap saja taka da yang bisa menariknya keluar.

Tanpa sadar ada pemuda yang menatapnya dari ujung jalan. Menit berikutnya kemudian berlari menghampirinya dengan sebuah paying berwarna hitam digenggamanannya. Benda itu menjaganya agar tak terkena hujan, walau badannya masih terlihat basah.

“Hen. Ngapain ngelamun disitu?” Ucapnya sedikit berteriak karena suara hujan yang berisik.

Mahen tak mengubris, tetap pada posisi sebelumnya. Pemuda yang menghampirinya mengerutkan dahinya bingung. Pemuda yang tak lain Dika itu kembali semakin mendekat, kini mengguncang bahu pemuda itu pelan. Saat anak itu menoleh kearah Dika, dapat dilihat pandangan rapuh darinya. Tatapannya kosong, terlihat begitu banyak menyimpan sakit dan luka yang tak bisa diutarakan hanya menggunakan kata-kata. Dika mengiba melihatnya.

Dengan lembut ia kembali bertanya,”Lo kenapa? Nggak papa ‘kan?”

Mahen menggeleng,”Nggak papa, Dik.” Ujarnya dengan suara bergetar.

Namun setelah mengatakan hal itu, perlahan matanya berlinang air mata. Pemuda itu terisak dengan menatap Dika yang terlihat panik. Mulutnya bisa berbohong namun rasa yang berada didalam hatinya tak bisa dibohongi. Semuanya sakit dan tak ada yang baik-baik saja. Semua rasa sakitnya tercampur dan tertuang pada tangisnya hari ini.

Dika menghampirinya, mendekapnya dengan erat. Ia ikut membiarkan tubuhnya dibasahi hujan. Badan Mahen yang berada dipelukannya terasa bergetar hebat, tangisnya terdengar memilukan. Dika tak peduli tatapan orang lain dan terus memeluk anak itu dengan erat. Tak tau apa lukanya namun ia tau sekarang hal itu bukan main-main lagi.

“Hen, nggak papa. Gw disini. Selalu disini.”

Mahen tak tau mengutarakannya. Selama ini begitu banyak lukanya yang tersimpan butuh waktu lama harus menjelaskan luka mana saja yang ia tangisi saat ini. Seorang Mahendra juga punya luka sebab ia juga manusia pada umunya. Ia bukan robot.

“Sakit, Dik. Semuanya kira gw yang egois, tapi mereka nggak pernah mikirin gw. Sakit!” Ujarnya disela-sela isakan.

“Hen. Terkadang memang kita harus mengerti semua perasaan semua orang, tapi sebenarnya perasaan orang bukan urusan kita. Gw tau lo udah cukup baik selama ini. Mungkin bukan sekarang lo mau cerita, tapi suatu saat nanti lo mau cerita gw bakal selalu ada kapanpun dengerinnya.”

Partner Of Love [Markhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang