Dua puluh empat

111 14 1
                                    

***

Dika dan ayah telah sampai di Bandung setelah 3 jam lebih perjalanan. Bahkan pemuda itu terlihat begitu nyenyak tertidur di kursi tengah. Namun jalan berbatu saat masuk kedesa eyang membuat kepala Dika terlantuk dikaca mobil membuatnya mengadu kesakitan.

Ayah yang melihat hal itu terkekeh,”Sudah hampir sampai, Dik. Nggak usah lanjut tidur lagi.” Ujarnya setelah melihat sang putra ingin kembali menyamankan posisi.

“Haa? Perasaan Dika baru tidur beberapa menit deh, yah.”

“Dika, dika, kamu tidur hampir 2 jam. Mimpi banget beberapa menit.”

Dika menggaruk kepalanya bingung. Ia tak bohong, rasanya baru saja memejamkan mata saat ayahnya mengatakan bahwa perjalanan masih panjang. Namun ternyata sudah hampir 2 jam dirinya tertidur.

Pemuda itu membuka kaca jendela mobilnya kemudian mengeluarkan kepalanya sedikit untuk melihat sekitar. Ia menarik nafas panjang, meraup udara segar didesa eyangnya tersebut. Hamparan kebun teh yang berderet disepanjang jalan membuat pemandangan semakin segar. Beberapa pekerja terlihat sibuk bekerja disana dengan tentram.

Dika tersenyum simpul. Sepertinya ia akan betah berada disini untuk waktu yang lama. Warga juga terlihat ramah. Mereka yang melewati mobil Dika tersenyum kearah pemuda itu walau mungkin mereka tak mengenalnya. Kalau dikota boro-boro disenyumin orang asing, ada yang meninggal saja mereka seakan tak peduli.

“Nanti kalau kamu udah nyampe, ayah cuman singgah sebentar lalu pulang yah?”

“Iya, ayah. Tadi sebelum pergi kan udah bilang.”

Ayah hanya terkekeh mendengarnya. Pria itu hanya ingin kembali mengulangnya, agar Dika ingat saja.

Setelah melewati beberapa rumah warga, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berbelok lalu masuk kesalah satu pekarangan rumah yang terlihat sederhana. Ayah menyuruh Dika keluar, yang langsung membuat pemuda itu kini sudah berada diluar mobil.

Nampak halaman rumah itu seperti halaman rumahnya. Ternyata hobi ibu turun temurun dari eyang. Terlihat begitu banyak tanaman hias yang berjejer rapi disana, mereka pasti dirawat begitu baik. Halaman disekitar rumah juga Nampak sangat bersih, tak ada sampah sama sekali.

Dika menoleh kesamping, mendapati pohon manga yang masih berada ditempatnya seperti dulu. Ia ingat waktu terakhir kesini waktu umurnya masih 10 tahun. Dika suka memanjat pohon mangga itu dan akan berteriak histeris bagaikan perempuan kalau badannya di gigit semut.

Ternyata pohon itu masih terawat padahal sudah sangat lama. Dika mendongak keatas pohon mangga itu. Ia mengernyitkan dahinya, Nampak daun-daun pohon itu bergerak padahal tak ada angina sama sekali.

Dika mulai melangkah mendekat dengan penasaran kearah pohon itu. Gerasak-grusuknya semakin terdengar jelas.

“Dika mau ngapain masuk dulu?” Langkah Dika terhenti setelah mendengar panggilan wanita dari belakang. Itu eyang dengan ayah yang sudah berada disampingnya.

“Sebentar eyang, ini—HUAA!”

Dika lari terbirit-birit setelah seorang wanita dengan rambut panjang tiba-tiba sudah berada tepat didepan wajah pemuda itu. Bukan, itu bukan kuntilanak. Itu seorang gadis dengan wajah khas gadis desa kini menertawai Dika yang terlihat begitu ketakutan melihat keberadaannya.

“Mila! Jangan gitu sama sepupunya.”

“Hehe, maaf atuh eyang, mila nggak sengaja.” Nada bicaranya terdengar khas orang sunda namun belum terlalu kental seperti orang sunda pada umumnya.

Dika yang kini tengah bersembunyi dibelakang punggung sang ayah mencoba mengintip. Dan kini ia bisa melihat dengan jelas wajah gadis yang mengejutkannya tadi. Pemuda itu menghela nafas lega.

Partner Of Love [Markhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang