Dua puluh tiga

143 16 1
                                    

***

Kring!

Kring!

Bunyi alarm terdengar setelah benda itu menunjukkan pukul 7 pagi. Pemuda yang masih dalam keadaan terlelap perlahan menggeliat—merasa terganggu akan bunyi membisingkan tersebut.

Dengan pelan ia mengerjapkan matanya lucu sembari mengumpulkan nyawanya yang terasa belum sepenuhnya utuh. Cahaya dari luar jendela yang masuk kedalam melalui cela ventilasi yang berada disana membuatnya mau tak mau mencoba untuk bangun melakukan aktivitasnya.

Memang tak banyak. Paling hanya makan, nonton, kalau ada ajakan nongkrong yah nongkrong. Duit pun pas-pasan, masih pengangguran, kuliah tak tau kemana. Kadang Dika mengasihani hidupnya sendiri saat ini. Namun walau begitu ia mempunyai pacar yang kayak dan tampan seperti Mahen. Tapi perkataan pemuda itu kemarin malam sangat mencurigakan.

“Dika turun sarapan!”

Panggilan ibunya dari arah luar kamar membuat Dika melompat secepat kilat. Takutnya wanita itu kesal kepadanya lantas mengusir dia dari rumah, tentu Dika tak menginginkan hal tersebut terjadi.

Dengan langkah yang pelan namun pasti, pemuda tersebut berjalan kearah meja makan mendapati ibu dan ayahnya yang sudah lebih duduk duluan. Dengan rambut yang masih berantakan bagai singa, dan wajah yang sama sekali belum dibasuh ikut duduk bersama sepasang suami istri tersebut.

Ibunya mendengus kesal setelah melihat keadaan putranya,”Kamu udah sikat gigi?”

Dika menggaruk tengkuknya kemudian menggeleng. Sang ibu menggeleng pelan,”Kebiasaan deh! Jorok tau nggak, Dika. Sana sikat gigi dulu jangan lupa cuci muka. Tuh masih ada air liur diujung bibir kamu.”

“Masa sih?” Pemuda itu meraba area yang dimaksud ibunya,”Nggak ada. Ibu pagi-pagi udah nambah dosa aja.” Ujarnya kemudian akan mengambil piring namun ditepis oleh ibu.

“Sikat gigi dulu!”

Ayah yang sudah mulai sarapan terlebih dahulu menggeleng kecil. Pemandangan seperti ini tak lagi asing sebab hampir setiap hari ibu dan anak itu selalu saja mempertengkarkan hal yang sama.

“Udahlah bu, lagian nanti mulutnya kembali kotor kalau udah makan.”

Dika mengacungkan jempolnya kearah sang ayah penuh dengan persetujuan. Kekompakan kedua pria itu membuat sang ibu hanya bisa menatap kesal keduanya.

“Ayah selalu aja belain, Dika.”

Pria itu tak mengubris sama sekali lalu kembali menyendok nasi gorengnya. Dika yang tak lagi mendapat perintah langsung mengambil piring dan juga nasi goreng buatan ibu, tak lupa juga ia berikan raut wajah mengejek kepada wanita tersebut.

“Mau ibu goreng kamu, Dika?!”

Dika menggeleng. Pemuda itu sedikit menjauhkan kursinya, takut ibunya tersulut emosi dan benar-benar akan menggorengnya di kuali. Ia bergidik ngeri membayangkannya.

“Oh, iya, nanti kamu berangkat kerumah Eyang di bandung yah?” Ucap Ayah masih dengan nasi goreng dimulutnya.

Dika mengernyitkan dahi,”Untuk apa? Ayah udah nggak mau nampung Dika disini?” Tanyanya sengaja memasang raut wajah memelas.

Ibu dari pemuda itu kembali berdecak sebal,”Ibu tau kamu beban. Tapi bukan gitu maksudnya.”

“Terus?”

“Eyang sakit, Dika. Dan permintaannya dia mau ketemu sama kamu. Jadi satu minggu kedepan kamu disana nemenin eyang yah?” Jawab ayah kali ini.

Dika menghela nafas sedikit kecewa. Sebenarnya ia bukannya tak suka tinggal di rumah eyang, malahan pemandangan yang asri dan udara segar begitu nikmat disana. Namun dirinya tak mempunyai teman, dan juga pasti seminggu itu tak akan bertemu Mahen. Entahlah, sekarang Dika rasanya tak bisa jauh dengan kekasihnya tersebut lama-lama. Kalau kata dilan ‘Rindu itu berat’.

Partner Of Love [Markhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang