Sembilan belas

150 17 3
                                    

Jangan lupa vote dan komen
Ada sedikit adengan 🌚 hehe..

***

Mahen masih berada dirumah hingga malam hari. Keduanya sempat tertidur sebentar, lalu kemudian Mahen terbangun lebih dulu. Dika masih terlelap dalam tidurnya, masih asik dengan mimpinya yang entah seindah apa sehingga pemuda itu tak bangun juga padahal jam sudah menunjukkan pukul 6.30. Tapi mimpi itu akhirnya terputus setelah mendengar samar-samar isak tangis didalam kamarnya.

Dengan perlahan pemuda itu mengerjapkan matanya dengan pelan. Saat keadannya yang mulai sadar sepenuhnya, suara itu semakin terdengar jelas di indra pendengarnnya. Keadaan kamar masih gelap hanya ada sedikit cahaya yang masuk kedalam ruangan itu dari luar, sulit untuk menemukan sumber suara yang berada disana. namun ia tak mungkin salah dengar dengan suara itu.

Setelah berfikir beberapa saat ia baru ingat tadi Mahen berbaring disebelahnya. Ia menoleh kesamping, ia raba kasurnya. Tak dia dapati Pemuda itu disana. dengan perlahan Dika mulai turun dari ranjangnya kemudian perlahan melangkah mencari saklar lampu. Namun sebelum menemukannya, samar-samar terlihat seorang pemuda yang duduk dekat jendela. Walau tak begitu jelas, namun cahaya dari luar rumah masih membantu penglihatan Dika.

Bukannya kembali mencari saklar lampu, Pemuda itu malah melangkah mendekat kearah Mahen dengan keadaan pencahayaan yang minim. Langkahnya diayunkan dengan pelan dan hati-hati. Semakin mendekat, ia semakin melihat badan pemuda itu bergetar hebat seperti menahan suara tangisnya.

Dika menepuk pundaknya,”Kalau mau nangis keluarin aja.” Ucapnya yang kemudian ikut duduk bersama Mahen dilantai.

Netra mereka beradu. Mata Mahen sembab dipenuhi air mata disana, terlihat begitu rapuh dan sendu. Pipinya basah karena air mata. Dika menarik nafas panjang kemudian menarik tubuh anak itu kedalam dekapannya.

Didalam gelap dalam ruangan itu Mahen menumpahkan sakitnya dalam pelukan Dika. Keduanya tenggelam pada kegelapan malam beserta luka pada hati. Mungkin Dika tak sepenuhnya paham dengan keadaan pemuda itu, tapi sebisanya ia akan mengerti akan hal itu. Dia akan mencoba membantu Mahen sembuh.

“Mahen, gw tau luka lo banyak. Tapi gw bakal jadi obat itu.”

Sudah ia ketahui perceraian kedua orang tua mahen. Dan ia tau hal itu pasti akan sangat menyakitkan. Dika memang tak pernah mengalami hal itu dan selalu berterima kasih kepada tuhan karena tak membuat dirinya mengalami hal yang demikian. Namun ia begitu paham betapa sakitnya hal itu.

Mahen melepas pelukan mereka. Pemuda itu menghapus jejak-jejak air matanya sampai hanya tersisa matanya yang sembab saja. Ditengah temaramnya ruangan itu Dika masih bisa melihat jelas wajah Mahen. Ah, wajah yang akhir-akhir ini selalu menemani pikirannya. Semuanya terasa menyebalkan karena tak bisa menyingkirkan wajah itu. Namun ia pun merasa demikian akan hal itu. Entahlah.

Keduanya kembali beradu pandang. Masih sama, Dika masih tenggelam dikedua manik pemuda itu. Selalu membuat dada Dika dihantam pilu dan kupu-kupu bertebrangan didalam perutnya secara bersamaan. Rasa yang aneh dan sulit mengungkapkannya.

“Kalau begitu berhenti yuk, Dik. Tentang teori cinta itu kita berhenti disini aja. Dengan melihat cinta diantara orang tau gw, sekarang apapun tentang hal itu nggak ada artinya lagi.”

Dika tersenyum sendu. Entah mengapa saat mendengar ucapan itu hatinya begitu sakit. Ia ingin mengatakan bahwa semua cinta tak seperti itu, tapi dirinya saja masih bingung dengan kalimat tersebut. Mau tak mau sekarang dia harus menerima ungkapan Mahen tersebut.

Partner Of Love [Markhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang