Sembilan Belas - D-day

6 2 0
                                    

'tuk, tuk, tuk'

Suara ketukan pulpen di atas meja, mengisi suara yang cukup hening di area perpustakaan sekolah. Kale, ia sedang berpikir untuk soal yang sedikit rumit baginya.

"Harusnya gini gak sih? Kenapa gak bisa ya?" monolognya sembari mencoret-coret kertas putih.

Ia membuka kembali catatannya, mengingat-ingat rumus yang seharusnya dikerjakan.

"Ahh ternyata ada yang kelewat," katanya lagi lalu mencoba menghitung kembali.

Saat ia sedang fokus dengan latihannya, seseorang menempelkan minuman dingin di pipi Kale, yang membuat gadis itu sedikit kaget.

"Fokus banget, minum dulu nih," ia menarik kursi dan duduk di sebelah Kale.

"Kak! Kaget," sudah menjadi kebiasaan Kale jika ia kesal pada Angkasa, maka ia akan memukul laki-laki itu. Ya pria yang baru saja tiba adalah Angkasa, ia membawa minuman dingin untuk Kale.

Kale menerima minuman itu, "tumben bukan susu, makasih ya!"

"Kalau susu takut lo ngantuk nanti, jadi ga fokus latihannya. Sama-sama semangat buat besok!" Angkasa mengepalkan tangannya, memberi semangat untuk gadis yang kali ini rambutnya hanya diikat satu.

Sementara yang diberikan semangat hanya tersenyum manis menampilkan eyesmile-nya. Namun sedikit kemudian dia melirik Angkasa tidak suka, "kok Kakak bisa bawa minuman ke sini? Gak diambil petugas depan?"

"Taruh di saku, hehe. Diminumnya nanti aja kalau udah selesai,"

"Hiss, satu nomer lagi sih. Makan belum Kak?" tanya Kale lagi.

"Udah, lo belum makan?" Kale menggeleng sebagai jawabannya, "yaudah nanti gue temenin ke kantin ya, masih cukup kok."

Kale memberikan jempolnya lalu segera menyelesaikan latihannya, setelah itu mereka berdua memilih untuk ke kantin, mengisi perut lapar Kale, dan Angkasa hanya menemani gadis tersebut.

Angkasa mengetahui posisi Kale, siapa lagi kalau bukan dari Zeni. Saat jam terakhir sebelum istirahat tadi, guru yang mengajar tidak hadir, Kale memilih untuk mengisi waktu kosong itu sebagai latihan di perpustakaan seorang diri. Namun, dia saking terlalu fokusnya, melupakan jam istirahatnya. Bahkan ia tidak membuka ponsel pintarnya, Zeni memberitahu Angkasa agar pria itu segera menemui Kale.

Dengan semangkuk mie instan dan telur rebusnya, Kale menikmati makanan itu sangat lahap. Angkasa yang melihatnya tersenyum bangga, seperti seorang ayah yang melihat anaknya makan dengan lahap.

'ting'

Ponsel Angkasa berbunyi, menampilkan notif pesan dari sahabatnya, Arash. Ia diminta untuk hadir secepatnya karena ada keperluan. Mengingat dirinya adalah ketua kelas di kelasnya.

"Kale, sorry gue dipanggil Arash buat ke kelas, lo gapapa gue tinggal di sini? Atau mau gue panggilin Zeni aja?"

Kale menghentikan kegiatan makannya, "gak usah Kak, gapapa gue sendiri aja, santai,"

"Ok kabarin ya kalau ada apa-apa, gue ke kelas dulu." Angkasa meninggalkan Kale yang melanjutkan makannya lagi. Masih sekitar 10 menit lagi jam istirahat berakhir.

Kale mengakhiri kegiatan makannya, lalu ia beranjak untuk kembali ke kelasnya. Di tengah berjalanan ia menuju kelas, tiba-tiba langkahnya tertahan. Ada tangan yang menahan lengannya.

"Eh," celetuknya terkejut. Itu tangan Byan, mata Kale membulat. Ia berusaha menghindar dari pria itu, tapi siapa sangka Byan malah mencoba untuk menemuinya.

"Boleh ngomong sebentar?" Byan melepas genggamannya.

"Apalagi? Masih mau deket sama cewe murahan? Gada yang perlu diomongin kan? Gue juga udah gada urusan sama lo," mata Kale memanas, ia berusaha kuat untuk tidak mengeluarkan air matanya.

KaleandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang