"MANSION AND ALEXANDER'S FAMILY."

32 15 16
                                    

SsAllaMm sEejahTerAa bBunDa 🌹.

Sore yang cerah seperti hatiku.

4. MANSION AND ALEXANDER'S FAMILY.

***

Mewah nan indah. Kalimat yang tepat untuk bangunan yang Lily lihat sekarang. Dia tidak terlalu kagum, karena ... Eu ... Rumahnya? Ya, rumahnya yang dahulu tak kalah besar dari pada mansion Alexander.

"Udah mengaguminya?" tanya Axel membuat lamunan indah Lily hilang dalam sekejap.

Kaki jenjang cowok itu melangkah membawa gadis cantik di gendongannya memasuki rumah besar miliknya.

"Lily mau di kamar atas atau di ruang tamu aja sayang?"

"E-ee... Di ruang ta—"

"Oh, oke ke kamar ya?" potong Flesia, bunda Axel.

"Bunda ngapain nanya kalo gitu? Lagian kenapa sih? Disini aja nggak bisa ya?"

"Dia beratnya 50 ton tau," ucap Axel sedikit manyun. Sedangkan manusia yang di gendongannya sedikit spechless.

Serius? Mana sifat ketos dingin itu sekarang?

"Axel, nggak boleh gitu!"

"Ekhem, siapa dia?" suara bariton dingin itu membuat semua mata tertuju kepadanya. Seorang pria tampan dengan aura wibawanya yang kuat. Lily merasa dia seratus kali lebih dingin daripada Axel.

"Pacar Axel mas." Jawab Flesia spontan, membuat semua-nya terdiam.

"Oh ... Pacar Axel? Kirain siapa." Ucapnya sambil tersenyum.

Humble kan? Tuan Arvelio memang seperti ini aslinya. Namanya Arvelio Alexander, ayah Axel.

"Saya bukan—"

"Udah ya, ayo-ayo cepet di bawa ke kamar kasian Lily." Ucap Flesia sambil mendorong-dorong Axel.

"Loh? Kenapa memangnya?" tanya Arvelio sambil melihat keduanya memasuki lift.

"Tadi aku mau kepleset, dia yang nolongin aku. Alhasil kakinya ke-kilir kayaknya tadi," jawab Flesia sesekali meringis. Ngilu juga.

"Kamu nggak papa?" tanyanya yang langsung mendapat gelengan dari Flesia.

Kembali ke Axel dan Lily.

"Lio, masih lama ya?"

"Lo kenapa manggil gue Lio? Panggil aja Axel."

"Enakan Lio." Jawab Lily jujur.

"Masih lama ya?"

"Bentar lagi."

Ting!

Pintu lift terbuka, saat Axel hendak melangkah tiba-tiba pintu itu menutup sendiri dengan keras membuat Lily kaget setengah mati sambil ngos-ngosan. Keringat bahkan sudah mengucur deras dari tadi. Tangannya tanpa sadar meremas kemeja biru milik Axel.

"Kayaknya lagi rusak liftnya,"

"Lo kenapa?" tanya Axel yang hanya mendapatkan gelengan dari Lily.

Tak tahan dengan semua pikiran dan ingatan yang mengganggunya, gadis bernama Lily itu mulai menurunkan air matanya. Isakan pelan mulai keluar membuat Axel tersentak.

"He, Lo kenapa?" lagi dan lagi Lily hanya menggeleng, tapi air matanya tak berhenti mengalir.

Ting!

Pintu kembali terbuka, kali ini tanpa ada gangguan sistem atau apapun itu. Axel dapat merasakan ada perasaan lega di diri Lily saat dirinya keluar dari sana.

***

"Cideranya tidak terlalu parah, hanya sedikit terkilir saja. Jadi bapak dan ibu tidak perlu khawatir."

Pasangan pasutri yang tidak lagi muda itu hanya mengangguk,

"Yasudah, saya permisi." Ucap pak Burhan— dokter langganan keluarga Nareshwara.

"Iya dok,"

Setelah menjabat tangan pak Burhan, pandangan Ravelio tertuju pada sang istri yang dengan lembutnya mengusap-usap surai Lily, sedangkan sang empu malah tidur. Efek obat mungkin.

Sejenak dirinya tertegun, jarang sekali Raflesia memberikan tatapan tulus itu. Apalagi dengan orang yang baru dia kenal.

"Ekhem, aku kayak anak tiri di sini!" celetuk Axel.

"Ck, kamu ganggu aja deh. Sana kamu, hush-hush!"

"Bunda tega?! Aku kan anak bunda."

"Iya-iya, kamu anak bunda. Sana kamu, hush-hush!" ujar Raflesia iseng. Sekali-kali jahil lah ya ...
Matanya sedari tadi melirik-lirik Arvelio untuk mengajak kerja sama.

"Tau tuh, sana kamu. Ke kamar aja sana, jauh-jauh deh sama ayah bunda."

"Yaudah!" Axel sok-sokan ngambek memalingkan wajah dan berjalan pelan keluar kamar, berharap ayah bundanya menahannya.

2 menit lamanya Axel berjalan sampai akhirnya sampai di depan pintu, tangannya sudah memegang knock. Lalu keluar kamar dan membanting pintu keras.

Tak tahan lagi, umpatan demi umpatan mulai di keluarkan.

"Sialan, ayah bunda apaan coba?"

"Anak sendiri nggak di anggep."

"Tuh anak juga ngapain ngambil perhatian. Caper banget." Gerutunya. Padahal sedaritadi matanya juga melihat Lily hanya tidur, gimana mau caper sama camer? UP!

"Bunda juga apaan, sok akrab banget. Kayak udah kenal aja."

Dirinya menuruni tangga dengan pipi menggembung kesal, wajahnya bahkan sudah merah menahan kesal.
Sepele memang, padahal niat orangtuanya hanya bercanda.

Ada dua jalur untuk menempuh lantai dua, yaitu dengan tangga dan lift. Setelah menyadari bahwa dirinya menuruni tangga Axel sedikit mengernyitkan dahi,

"Ngapain gue lewat sini?" monolognya. Sedangkan beberapa maid di sana juga terheran, sejak kapan tuan muda mereka turun menggunakan tangga?

"Liftnya kenapa den? Tumben lewat tangga." Tanya bi Surti selaku kepala maid.

"Nggak papa bi, pengen aja lewat tangga." Elaknya membuat bi Surti tambah mengernyitkan dahi saat dia ingin membuka 1 kamar.

"Den? Kamar Aden kan di atas, itu kamarnya Nina loh."

Nina— gadis cantik yang putus sekolah itu hanya bisa tersenyum kaku sambil meringis salting saat di tatap tuan mudanya.

"Oh iya ya?"

"Mau bibi anterin? Nanti malah nyasar ke kuburan loh."

"Aneh-aneh aja, nggak deh bi."

***

Ngak ngak ngak🦅

Nggak nge-feel sorry, otak ku menyala banget ini.

Yg ikut OSN SMP sini absen!🙌



















LILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang