Enam belas

109 9 0
                                    

Sarah memoles bibirnya dengan lisptik berwarna peach, entahlah dari belasan macam warna lipstik yang berjajar rapih di laci meja riasnya pilihanya jatuh pada lipstik yang sudah usang kemasanya sebab paling sering digunakan.

Sarah menuruni anak tangga niat hatinya ia akan pergi ke taman depan komplek yang biasanya setiap weekand dipenuhi warga sekitar untuk sekedar mencari sarapan, mengajak anak bermain atau ada yang seperti sarah sekarang ini tengah pemanasan untuk memulai lari paginya.

Tidak berat bagi sarah berlari hampir 30 menit karena memang sejak SD sarah termasuk orang yang berprestarsi di bidang olahraga dan seni, tari, senam dan lainya sudah menjadi kebiasaan bagi sarah.

Di rasa sudah cukup dengan kegiatan olahraganya lantas sarah mendekat pada ibu penjual pecel di sudut taman, posisinya di bawah pohon besar nan rindang. Sejak awal juga sarah tidak berniat berlama-lama di sini ia hanya ingin mencari sarapan namun agar sedikit berfaedah ia sambil membakar kalori tipis-tipis.

Ternyata ibu penjual pecel sangat ramah dan banyak bicara. Katanya beliau sudah berjualan di sini hampir 20 tahun.

"Ibu sudah berjualan, saya baru bayi berusia satu tahun" cengir sarah pikiranya berlari kebelakang kembali mengingat, entah apa yang coba di ingatnya, sekelibat masa lalu hadir di pikiranya secara Random

"Rumah dimana neng" tanya ibu tersebut dengan tanganya yang masih telaten mengulek sambal pecel

"Komplek depan sini bu di gang paling ujung" tunjuk sarah pada sebuah pemukiman

"Owalah saya tahu beberapa orang yang tinggal di gang paling ujung"

"Siapa aja bu?"

"Pak hartanto istrinya namanya ibu dian"

Sarah coba mengingat apa dia mengenal sepasang suami istri tersebut.

"Kenal?" Tanya ibu tersebut

Sarah menggeleng

"Ada juga bu haji umdah, beliau punya rumah paling ujung catnya berwarna putih"

Sarah kembali mengingat, iya dia tau rumahnya tapi tidak dengan orangnya itu kan tetangganya zainal rumahnya persis bersebalahn.

"Tidak kenal juga?"

"maklum saya penduduk baru"

"Ada satu lagi pemuda namanya zainal, rumahnya sebelahan dengan bu haji umdah tadi" ibu tersebut telah menyelesaikan dua pesanan milik sarah

"Ah pasti juga kamu ga kenal, soalnya dia jarang keluar biasalah mahasiswa lebih banyak kwgiatan di kampus, sudah lama ibu tidak bertemu zainal, terakhir yang ibu ingat sekitar dua bulan lalu mungkin, dia datang kesini dengan pacarnya, biasanya dia rajin sabtu minggu jogging, ibu cukup akrab dengan zainal ini, andai saja ibu masih punya anak perempuan yang masih gadis pasti ibu jodohkan dengan zainal"

Sarah tersenyum nanar" ibu orang yang ibu ceritan tadi itu suami saya" andai saja kalimat ini bisa keluar dari mulut sarah

Eh yang keluar malah kalimat "jadi semuanya berapa bu"

○○●●●○○

Zainal berjalan di hadapan sarah, berlalu begitu saja tidak menoleh sedikitpun pada sarah.

"Cool bet" gumam sarah sambil terus melangkahkan kaki menuju dapur

Sesekali sarah menengok ke arah ruang tengah memeriksa zainal. Sikapnya belakangan ini berubah kembali dingin. Sama seperti ketika sarah datang ke rumah ini.

Aslinya sarah sudah geram melihat tingkah zainal, namun apalah daya laki-laki itu memang sulit ditebak. Namun ketika zainal berlalu di hadapnya lagi secapt cepat sarah menghadangnya, meakipun harus mendongak sarah beranikan diri.

"Lu kenapa sih"

Zainal menautkan alisnya

"Jawab" bentak sarah

"Apanya yang kenapa" zainal dibuat bingung

"Lu pikir didiemin begitu enak, ngga ya bro, gue harus menerka apa salah gue yang bikin lu silent gini"

"Sarah"

Deg kenapa hati sarah sebegini sakitnya, mendengar zainal menyebut namanya "sarah" kenapa bukan "izzha"

"Sejak kapan lu peduli sikap gue"

Sarah menatap wajah zainal lekat, seriuskah ucapan tersebut keluar dari zainal.

Di hari secerah ini mengapa pelupuk mata sarah mendung.

"Lu mulai ga nyaman ada gue dirumah ini?"

"Dari awal juga begitu"

Mengapa ucapan zainal semuanya menyakitkan.

"Kenapa seolah kemarin ngasih harapan"

"Tidak ada yang memberi harapan, lu salah membaca situasi"

Sarah mengangguk dengab berat hati ia mengakuinya, benar sarah salah mengartikan sikap Zainal padanya.

"Mas....." suara tersebut bersumber dari ponsel yang digenggam zainal "bikin kopinya lama banget, panggilan kamu masih dibisukan"

Sarah segera mengambil langkah mundur.

"Sory" ucap sarah dengan cepat ia berbalik badan dan pergi meninggalakn zainal.

Di dalam kamar tidurnya sarah merenungi semuanya, di mana letak salah dari semua ini.

"jangan pernah merebut kebahagian wanita lain sarah" sarah berdialog dengan dirinya sendiri

Tapi kalo boleh jujur ini amat sangat menyakitkan, lantas sarah ingin menyalahkan perlakuaan zainal rasanya tidak mampu, hanya satu yang bisa sarah lakukan mengoreksi diri sendiri.

○○●○○
Cintanya aku apa kabar???
Aku berharap semuanya baik-baik saja
Guys kalo mau update tagih aja aku orangnya pelupa, cuma ngelupain dia aja yang rada susah heheheh













Lembar buku pernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang