Sembilan

397 15 1
                                        

Sudah lima hari Sarah menghabiskan waktu di tempat tidur sejak kecelakaan malam itu. Selama itu pula, Zainal berubah menjadi seseorang yang berbeda—lebih lembut dan perhatian. Ia rela turun naik tangga tanpa keluhan untuk memastikan semua kebutuhan Sarah terpenuhi. Luka-luka Sarah, bekas bergesekan dengan aspal, kini mulai mengering, menandakan proses penyembuhan yang perlahan berjalan baik.

Zainal tidak hanya memastikan kebutuhan fisik Sarah terpenuhi, tetapi juga membantunya merawat luka. Dengan sabar, ia membersihkan luka, mengganti perban, dan menyiapkan obat-obatan, baik yang diminum maupun dioleskan. Di mata Sarah, Zainal telah berubah menjadi seseorang yang membuatnya nyaman, meskipun laki-laki itu sering menyembunyikan perasaan di balik sikap dinginnya.

Namun, siang itu, Sarah mulai merasa kesepian. Biasanya Zainal menemani, setidaknya untuk mengurangi kejenuhan. Tapi kali ini, sejak pamit untuk salat Jumat, laki-laki itu belum juga kembali.

Krekk.

Zainal muncul dari balik pintu, membawa nampan berisi berbagai makanan. Tapi perhatian Sarah langsung tertuju pada hal lain—penampilan Zainal. Jubah yang dikenakannya membuat pria itu tampak lebih gagah, seperti pangeran dari negeri dongeng.

"Minimal ketuk pintu dulu kalau masuk kamar orang," protes Sarah sambil mendelik.

Zainal hanya menghela napas. "Lu nggak lihat tangan gue sibuk?"

"Kan bisa ditaruh dulu nampannya. Ketuk pintu dulu baru masuk kalau diizinin," sahut Sarah, masih bersikeras.

"Ya udah, kalau gue nggak diizinin masuk, makanan enak ini gue makan sendiri." Zainal pura-pura berbalik, hendak keluar kamar.

Sarah buru-buru turun dari tempat tidur, menjegal langkahnya. Bau makanan yang sedap membuat lidahnya terasa tergoda. "Jangan ngambek dong! Gue lapar banget nih." Ia mengambil alih nampan dari tangan Zainal dan melangkah kembali ke dalam kamar.

"Makan di balkon aja, ya. Lebih enak di sana," Sarah menunjuk area balkon kecil yang memiliki dua kursi dan satu meja.

Zainal mengangguk tanpa banyak bicara. Keduanya akhirnya duduk berhadapan di balkon. Piring-piring disusun rapi di meja, dan makanan mulai disantap dalam keheningan. Zainal punya satu aturan: tidak boleh berbicara saat sedang mengunyah. Jadi, suara sendok dan garpu beradu dengan piring menjadi satu-satunya musik pengiring makan siang mereka.

Tiba-tiba, ponsel Sarah bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk, dan nama yang terpampang di layar membuat suasana sedikit tegang: Bagas Calling...

Sarah melirik Zainal, seolah meminta izin untuk mengangkat panggilan itu.

"Angkat aja," Zainal menjawab datar sambil menghabiskan suapan terakhirnya.

Namun, Sarah malah membalikkan ponselnya, memilih mengabaikan panggilan itu. Ia tahu, sejak beberapa waktu terakhir, Zainal selalu kesal setiap kali nama Bagas muncul dalam percakapan mereka.

"Tega banget, nggak diangkat," Zainal berkomentar sambil menaruh sendoknya. "Padahal dia pasti kangen sama lu."

"Lu ada masalah apa sih sama Bagas?" Sarah menatapnya tajam.

Zainal tersenyum sinis. "Urusan cowok."

"Soal cewek, ya?"

Zainal tak langsung menjawab, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tak ingin ia bahas lebih jauh. "Tanya aja langsung ke Bagas. Bukannya dia deket sama lu?"

"Just friends," tegas Sarah, menekankan jawabannya.

Zainal tertawa kecil, tapi tidak menyembunyikan sindiran di baliknya. "Baguslah. Tapi gue tetep nggak suka liat lu akrab sama dia."

Sarah menghela napas panjang, mencoba menahan kekesalannya. Ia berdiri untuk membereskan piring kotor di meja, tapi Zainal menghentikan langkahnya.

"Jangan diemin gue kalau marah," Zainal menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut. "Gue nggak suka silent treatment."

Sarah memejamkan mata, mencoba meredam emosinya. Tapi ada sesuatu yang aneh. Tangannya menyentuh dahi Zainal. "Lu sakit?" tanyanya, merasa suhu tubuh pria itu jauh lebih panas dari biasanya.

"Nggak apa-apa," jawab Zainal, mencoba mengelak.

Namun, Sarah tidak mau mendengar alasan. Ia menarik Zainal masuk ke dalam kamar, memaksanya untuk berbaring di tempat tidur. Meski awalnya menolak, Zainal akhirnya menyerah pada rasa lemas yang melanda tubuhnya.

Sarah membiarkannya beristirahat, meski dari arah tempat tidur Zainal terus meracau. "Jangan pergi ke mana-mana... Gue nggak suka liat lu deket sama cowok lain....."

Sarah, yang awalnya hanya ingin fokus mengerjakan tugas, tiba-tiba berhenti. Kata-kata Zainal menusuk hatinya, meski ia tahu itu keluar dari mulut seseorang yang sedang demam.

Perlahan, Sarah mendekat. Ia duduk di samping Zainal, menatap wajah pria itu yang tampak lebih lembut dalam kondisi tak sadarnya. Tangan Sarah terulur, mengusap rambut Zainal dengan lembut.

"Makasih, Zainal," bisiknya, hampir tak terdengar. "Hari ini, gue ngerasa jadi orang paling bahagia."

Zainal menggumamkan sesuatu yang membuat Sarah tersenyum. "Sarah, ayo kita bulan madu"

Meski tahu itu mungkin hanya omong kosong dari seseorang yang sedang sakit, hati Sarah terasa penuh.

"Iya, Zainal," jawabnya dengan senyum tipis. "Ayo kita pergi."

Di tengah malam yang hening, Sarah memeluk Zainal dengan lembut. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehangatan yang berbeda. Bukan hanya dari genggaman tangan atau pelukan, tapi dari hati yang perlahan saling menyentuh.




Lembar buku pernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang