Setelah meninggalkan kuliah selama satu minggu, Sarah kembali lagi ke kampus dengan keadaan yang jauh lebih sehat. Ia duduk dengan khidmat, menyimak teman-temannya yang sedang presentasi di depan. Perlahan, fokusnya beralih ke topik yang sedang dibahas oleh dua temannya itu.
"Dan ternyata Bagas yang nyelip duit buat Pekan Olahraga Mahasiswa," kata salah satu temannya.
"Padahal gue nyangkanya Zainal, soalnya dia ketua bidang Minat Bakat," timpal yang lainnya.
Sarah terdiam. Selama seminggu tidak masuk kuliah, banyak informasi yang tertinggal. Dengan hati-hati, ia mulai mencerna kalimat demi kalimat. Akhirnya, Sarah menyimpulkan bahwa dugaan sebelumnya tentang Zainal yang menggelapkan dana ternyata salah. Bagas, sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa, dan Windi, sebagai Bendahara Umum, terlibat dalam penyalahgunaan dana tersebut. Zainal sama sekali tidak bersalah.
"Gue pikir awalnya juga Zainal sih," Sarah menimpali.
"Iya kan? Gue sampai kesel banget sama Zainal. Gaya banget, pake mobil, penampilannya oke, gue langsung suudzon kalo semua harta Zaenal dari mengkorupsi dana organisasi," ujar temannya.
"Astagfirullah, Yu, kenapa lu mikir sejauh itu?" ucap Azzura, yang merasa tidak setuju.
"Lah, lu nggak kepikiran kesana? Sebenarnya nggak salah juga kalo gue nyangkanya Zainal, liat aja gaya hidupnya yang high-class. Kemarin aja kita lihat dia bareng ceweknya nongkrong di kafe samping kampus yang terkenal mahal itu, ya kan, Sya?" Yayu mencari pembelaan.
Sarah mengangguk, sependapat dengan Yayu.
"Lah, lu sama Sarah ngapain kesana? Emang punya duit buat jajan di kafe itu?" Azzura meragukan kedua temannya.
"Kita juga nggak semiskin itu kali, Zur," jawab Yayu, dengan nada jengah sambil memutar bola matanya.
"Tapi, btw, ceweknya Zaenal cakep banget. Kalo lu nggak percaya, tanya aja Sarah," ujar Yayu, melihat ekspresi Azzura yang penuh keraguan.
"Cantik abizz," Sarah mengacungkan jempolnya.
"Cantikan siapa, nih, sama gue?" tanya Azzura, penuh percaya diri, karena memang banyak orang yang memuji kecantikannya.
"Cantikan dia lah! Rambutnya sebahu, warnanya gradasi hitam-abu-abu. Tingginya lebih dari 167 cm, kulitnya mulus, pokoknya lu bakal merasa insecure deh kalo bersanding sama dia," jawab Yayu.
"Oh, nggak hijabannya?" tanya Azzura dengan nada agak terkejut.
"Dia nggak berhijab aja udah cantik, apalagi kalo hijab! Lu doang lewat," jawab Yayu.
"Masa sih? Masih cantikan gue kali," Azzura merapikan hijabnya dengan sedikit ragu.
"Iya, Zur, cantikan lu kok, tetap," jawab Sarah berusaha meyakinkan Azzura.
"Yu, dengerin, Yu. Kata Sarah masih cakepan gue," Azzura menyebut nama Sarah dengan nada bangga.
"Sarah sih pasti ngomong gitu karena kasihan sama lu, sebagai teman," balas Yayu dengan nada jahil.
"Terus aja berantem, gue videoin nih," Sarah mengklik ikon kamera pada ponselnya.
"Ustadzah Sarah nggak boleh gitu, takut nanti kita viral," Azzura meraih ponsel Sarah dan mengambil alih.
"Gemes deh sama cewek berkacamata, gigi behel, dan pake kerudung pasmina," ujar Yayu sambil mencubit pipi kiri Sarah sampai sedikit merah.
"Modelan ukhti kayak lu ini nanti harus dapet suami pimpinan pondok pesantren," Azzura tidak mau kalah mencubit pipi kanan Sarah.
"Awas lu ya, Sar, gue nggak bakal ngijinin lu deket sama cowok organisasi di kampus!" Yayu selalu mewanti-wanti teman-temannya untuk tidak tergoda dengan buaya kampus yang sering berkumpul di dalam organisasi.
Sarah termenung, berpikir dalam hati, "Tuhan, dengan sebegitu baiknya Engkau menutupi aib-aibku, sampai yang terlihat oleh orang hanyalah kebaikanku. Padahal, jauh di dalam hati, aku masih jauh dari kata sempurna."
Sarah merasa bahwa kejadian-kejadian ini adalah cara Allah mengingatkan dirinya. Beberapa waktu yang lalu, ia merasa sudah cukup baik dan bahwa kelak ia akan dipertemukan dengan pria yang taat agama dan saling mencintai. Namun, melalui peristiwa ini, Allah menegurnya dengan lembut bahwa semua yang terjadi, baik atau buruk, adalah bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya.
Kajian yang Sarah ikuti malam kemarin di salah satu masjid dekat kampus menyentuh hatinya. Rasa penyesalan datang begitu kuat, mengingat betapa banyak kelemahan dalam dirinya, baik sebagai anak maupun sebagai seorang istri. Sarah tahu, dia bisa saja menjadi istri yang berbakti, tetapi keadaan tidak mungkin dipaksakan. Zaenal masih memiliki dunia yang tidak akan pernah ia masuki. Zaenal dengan kekasihnya, dengan teman-teman tongkrongannya, dan banyak hal yang Sarah tahu, meskipun selalu berpura-pura tidak tahu.
Sarah melirik jam di pergelangan tangannya, yang menunjukkan pukul setengah satu siang. Sudah waktunya makan siang, namun kedua temannya masih berada di perpustakaan, entah sedang mencari buku atau malah sedang memantau seorang mhasiswa idaman mahasiswi berkacamata dengan tas ransel dan penampilan rapi yang hobi membaca di perpustakaan.
Sarah sudah menunggu di parkiran sejak tadi. Untuk mengusir rasa jenuh, ia mengelap kacamatanya yang mulai buram dengan ujung hijabnya.
"Obat lu ketinggalan di rumah?" tanya seseorang dari belakang.
Sarah mendongak, dan ia melihat Zaenal berdiri di depannya, sambil menyerahkan sebuah plastik klip berisi obat. Sarah terkejut. Dalam hati, ia berkata, "Berani sekali Zaenal menemui aku di area kampus. Bagaimana jika orang lain melihat kita?"
Sebelum Sarah menerima plastik tersebut, ia memastikan sekelilingnya kosong. Tak ada yang melihat mereka.
"Sarah," pekik Yayu dan Azzura berbarengan, memecah kesunyian.
Sarah menundukkan wajahnya, merasa bingung. "Tuhan, aku harus bilang apa pada mereka?" pikirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar buku pernikahan
Novela JuvenilPernikahan Zainal dan Sarah bukanlah hasil dari cinta, melainkan perjodohan. Zainal, pria dingin dan pendiam, telah lama menjalin hubungan dengan Tania, wanita yang tidak mengetahui keberadaan Sarah dalam hidup Zainal. Sementara itu, Sarah, yang tah...