Kampus menjadi tempat paling sering Sarah datangi. Waktunya lebih banyak habis di sana, mulai dari mengikuti mata kuliah hingga mengurus organisasi. Pukul lima sore, Sarah dan kawan-kawan satu organisasinya masih duduk di pelataran gedung fakultas, merapatkan persiapan untuk seminar akhir pekan ini.
Ting Satu pesan masuk.
Abi Sya, apa kabar?
Alhamdulillah, Sarah sehat. Abi apa kabar?
Syukurlah, Abi juga sehat alhamdulillah. Zainal kabarnya bagaimana?
Zainal baik.
Sarah nggak boleh kesel-kesel sama suami, pamali. Abi yakin Zainal anak yang baik. Makanya Abi mau Sarah dijaga Zainal di sana. Abi ini udah tua, nggak bisa selalu tiap minggu jenguk Sarah. Baik-baik sama Zainal, ya. Namanya juga rumah tangga baru, pasti banyak cobaannya. Sarah harus kuat, ya nak.
Iya, Bi.
Titip salam Abi ke Zainal, ya nak.
Iya, nanti Sarah sampaikan.
Sarah menghela napas ringan, muak dengan Abinya yang selalu menanyakan kabar menantunya itu—Zainal. Memang dari awal yang tergila-gila dengan Zainal itu Abi, bukan Sarah.
Sarah disuruh sabar menghadapi seseorang yang bahkan tidak menganggap keberadaannya. "Jangan ajarkan gue sabar. Gue tinggal satu atap sama manusia dingin dan menyebalkan." Sarah ingin sekali menulis kalimat itu sebagai caption di Instagramnya.
Siapa sih yang awalnya mengusulkan pernikahan ini, sementara kedua mempelai tidak pernah menyepakati? Kalau bukan demi Abi, demi Allah, Sarah akan memilih melanjutkan kuliah sampai setinggi-tingginya daripada menikah dengan Zainal. Kata orang-orang di fakultas, Zainal termasuk pria idaman kaum hawa. Mungkin dulu Sarah juga sempat kagum, tapi setelah hidup satu atap, sisi baik pria itu nyaris tidak terlihat.
Pukul delapan malam, Sarah baru sampai rumah. Melihat keberadaan mobil di garasi, mungkin Zainal sudah ada di rumah. Sarah memarkir motor Scoopy putih kesayangannya tepat di samping mobil Zainal.
"Assalamualaikum," ucapan wajib yang selalu Abi ajarkan.
"Sabar, Sarah. Ini bukan rumah Abi kamu, jadi mana mungkin ada yang menjawab salammu dan menyambut kepulanganmu dengan hangat," Sarah membatin, mengelus dadanya.
"Jangan sering-sering ngumpul sama Bagas." Suara berat itu hampir membuat Sarah terjungkal ke belakang. Untung di sampingnya ada pegangan tangga.
"Dia Ketua Umum SEMA. Mana mungkin gue nggak kumpul bareng dia," jawab Sarah ketus.
"Terserah juga sih." Zainal berlalu begitu saja di hadapan Sarah, secangkir kopi di tangan kanannya.
"Ihhhhh," Sarah mengepalkan tangan, menghentakkan kakinya ke lantai. "Bisa nggak sih sehari aja nggak ngeselin?
"Saraaaah!" panggil Zainal.
"Apa lagi?" jawab Sarah, dengan nada datar.
"Lu parkir motor dimana? Sini kuncinya, biar gue pindahin. Cewek gue mau ke sini malam ini."
"Ga usah repot-repot, malam ini gue juga mau keluar. Silakan bawa cewek lu ke sini setelah gue pergi," jawab Sarah sambil berjalan menuju kamarnya.
"Anak Abi masih boleh keluyuran malam?" Zainal menyindir.
Sarah memilih untuk segera pergi ke kamar dan tidak melanjutkan perdebatan yang tidak ada habisnya. Masih banyak pekerjaan lain yang perlu dia selesaikan. Berbicara dengan Zainal hanya membuang waktu dan tenaga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar buku pernikahan
Novela JuvenilPernikahan Zainal dan Sarah bukanlah hasil dari cinta, melainkan perjodohan. Zainal, pria dingin dan pendiam, telah lama menjalin hubungan dengan Tania, wanita yang tidak mengetahui keberadaan Sarah dalam hidup Zainal. Sementara itu, Sarah, yang tah...