#3 Di Ambang Karam

51 21 3
                                    

"Cara kerja dunia terkadang terasa berat sebelah."

-Lissy Allea-

Kini, Lissy berada di universitas negeri impiannya. Baru saja melakukan tes masuk ke perguruan tinggi. Namun, bukan di jurusan yang diinginkan. Kedua orang tua Lissy memaksanya untuk kuliah di fakultas kesehatan, sebagai perawat. Di dasar hati paling dalam, mimpi menjadi seorang graphic design harus dipendam. Sederhana, tetapi Lissy tak mampu memperjuangkannya untuk melawan permintaan kedua orang tuanya.

"Huft, capek juga ya ketika hidup bukan untuk diri sendiri," keluh Lissy.

Beberapa kali, jauh sebelum pelaksanaan SNBT. Lissy selalu mencoba untuk meyakinkan kedua orang tuanya dengan berbagai cara. Suaranya selalu dibungkam dengan dalih jika tetap melawan akan dianggap sebagai anak durhaka. Pada akhirnya, Lissy tidak dapat melakukan apa pun lagi selain menurut. Sesakit itu, Lissy tetap berusaha untuk patuh dengan kedua orang tuanya. Meski, pada realitanya, orang tuanya tidak pernah tahu-menahu tentang perkembangan akademik Lissy. Mereka menggunakan Lissy sebagai unjuk gengsi untuk disombongkan pada orang-orang.

Di rumah, ketika Lissy belajar saja terasa tidak pernah tenang. Panggilan ibunya selalu mengganggu waktu belajarnya. Menyuruh ini dan itu. Bahkan, Lissy tidak pernah mendapatkan word of affirmation baik dari Ayah maupun Ibunya. Word of affirmation hanya berlaku ketika Ayah Ibunya sedang ada tamu atau berbicara dengan orang lain, memuji dan membanggakan Lissy di depan mereka. Keluarga Lissy tampak 'sempurna' di depan orang-orang. Tetapi, pada kenyataanya, nyaris tiada interaksi. Bahkan, tidak pernah sekalipun ada deep talk dari hati ke hati antara semua anggota keluarganya. Beberapa masalah yang terbilang sepele. Terkadang di buat besar dan tak jarang terjadi pertengkaran hebat di dalamnya. Bagaimanapun, Lissy hanya bisa pasrah dengan takdirnya saat ini.

Saat akan keluar dari gerbang kampus, Lissy melihat dari kejauhan ada Elgard dan Fasya yang sedang makan cilok berdua di pinggir jalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Sepertinya, mereka juga baru saja selesai tes di kampus yang sama.

Semoga selalu bahagia ya kalian, batin Lissy sembari menatap sendu ke arah mereka.

•••

Tiga bulan berlalu. Seharusnya, hari ini adalah jadwal pengumuman lolos SNBT. Jantung Lissy berdegup tak karuan. Terlebih, kedua orang tuanya sudah menunggu hasilnya tepat di samping Lissy duduk menghadap laptop.

Semoga, kegalalan di SNBP kemarin terbayarkan lewat lolosnya SNBT hari ini, aamiin, batin Lissy.

"Lis, gimana hasilnya?" tanya Ibu yang sejak tadi memasang raut wajah penasaran.

"Pencet dong, Lis! Lama amat sih? Nunggu apa lagi?! Ayah udah nggak sabar nunggu hasilnya ini!" protes Ayah dengan nada bicaranya yang naik beberapa oktaf.

"Sabar, ini masih loading." Lissy beberapa kali mengetuk jari telunjuknya pada touchpad laptop.

Kemudian, terpampang pengumuman yang tertera di sana jika Lissy dinyatakan tidak lolos SNBT.

"Apa maksudnya ini, Lis!" bentak Ayah dengan nada tinggi ketika mengetahui hal tersebut

"Kok, bisa kamu nggak lolos? Kamu nggak belajar?! Iya?! Jawab, Lis?!" Ibu menunjuk-nunjuk Lissy dengan jari telunjuknya.

"Maaf, Yah. Maaf, Bu. Lissy gagal." Bibir Lissy bergetar ketika mengatakan itu.

"Apa kata orang nanti, Lis?! Mau di taruh di mana muka Ibu?!" bentak Ibu dengan emosinya yang meledak-ledak.

"Bikin malu aja kamu! Susah payah Ayah cari uang, ini hasilnya?! SNBP kemarin gagal, SNBT juga gagal!" imbuh Ayah tak mau kalah memarahi Lissy.

"Aku sudah berusaha, Yah," jawab Lissy dengan kepala menunduk.

The Second Breath [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang