#8 Titik Terendah

42 18 8
                                    

"Untuk apa hidup, jika jiwaku saja telah lama mati,"

-Lissy Allea-

Di dalam kamar, kehidupan Lissy seperti berhenti total. Lissy tak seperti manusia pada umumnya lagi. Ia tak merawat dirinya sendiri, sekitarnya kacau dan berantakan. Tatapannya kosong sembari membawa cutter yang baru saja ia gunakan untuk membuat barcode pada tangannya. Lissy saat ini, benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sudah delapan hari, keadaanya seperti ini. Di kamar dengan tanpa penerangan apa pun. Merebahkan diri dengan mata yang sayu.

"Yang mereka butuhkan cuma uang dariku, bukan aku. Mereka nggak peduli apa pun tentangku. Aku nggak menerima cinta dalam bentuk apa pun dari mereka ketika aku gagal dalam semua hal yang terjadi dalam hidupku selama ini. Jadi, untuk apa aku berlama-lama di sini? Lebih baik aku pergi dari sini, hidupku nggak berarti lagi," gumam Lissy, air matanya kembali menetes.

Lissy bangun dari tidurnya, lalu mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ransel. Ia memutuskan akan pergi dari sini sebentar lagi. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit, keadaan rumahnya sudah sepi. Keluarga Lissy memang memiliki kebiasaan tidur lebih awal. Lissy menjaga langkahnya agar tidak menimbulkan suara yang nantinya akan membangunkan semua orang di rumah ini. Sebelum pergi, Lissy meninggalkan sepucuk surat terakhir untuk ayah dan ibunya yang ia taruh di meja ruang tamu.

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••


Malam ini, Lissy mengembuskan napasnya berat. Sebab, hari ini Lissy akan mengakhiri semuanya. Di taman, tempat favoritnya ketika sedih melanda, akan menjadi tempat terakhirnya menghirup udara. Air matanya lolos, tangisannya yang tanpa suara berhasil membuatnya merasakan sesak di dada. Tangan kanan Lissy menggenggam erat cutter yang telah biasa ia gunakan untuk membuat barcode di lengannya. Ia masih memandangi benda tajam itu dengan perasaan yang berat. Langit terdengar bergemuruh, kilatan petir juga beberapa kali terlihat. Seolah, alam turut bersungkawa atas apa yang akan terjadi dengan Lissy.

Hujan turun dengan derasnya, membasahi seluruh sudut kota ini. Termasuk di tempat Lissy berada. Air mata Lissy semakin menjadi-jadi, isak tangisnya terdengar menyayat hati sesaat akan mengarahkan benda tajam itu ke pergelangan tangan kirinya.

"Untuk apa hidup, jika jiwaku saja telah lama mati," ujar Lissy dengan suaranya yang penuh sesak.

Sesaat akan melakukan itu, seseorang tiba-tiba datang dan merebut paksa benda tajam yang berada di tangan Lissy.

"Hei, jangan!" ucapnya sembari menatap Lissy iba.

Lissy menoleh, ia mendapati seorang laki-laki yang mungkin sebayanya. Laki-laki itu berpostur tinggi dengan gaya rambut comma haircut dan kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Laki-laki itu menatap kedua manik mata Lissy yang di sana terdapat kekosongan yang sangat berarti.

The Second Breath [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang